24 April 2017 yang bertepatan dengan peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad juga memiliki makna penting lain. Tepat pada tanggal tersebut pada tahun 1924, lahirlah Ramang, salah satu nama paling legendaris di sepak bola Indonesia.
Federasi sepak bola internasional, FIFA, pernah mengangkat kisah hidup Ramang menjadi salah satu sorotan utama di situsweb mereka. Cover story yang dimuat di skeitar pertengahan tahun 2012 tersebut diberi judul mentereng, ‘Indonesian Who Inspired 50’s Meridian’ (yang kurang lebih berarti: Pemain yang Menginspirasi Puncak Prestasi Sepak Bola Indonesia di Tahun 1950-an).
Nama ‘Ramang’ memang terbilang familiar khususnya bagi orang-orang yang lahir dan besar di kota Makassar. Ada sebuah pertandingan spesifik yang mengukir nama Ramang menjadi legenda Indonesia, yaitu ketika Indonesia tampil di Olimpiade 1958.
Tim nasional kita menahan tim terkuat dunia saat itu, Uni Soviet dengan skor 0-0. Kiprah Ramang disanjung setinggi langit karena dianggap sebagai macan kotak penalti yang sempat membuat kalang-kabut barisan pertahanan negara adidaya di era Perang Dingin tersebut, termasuk kiper terbaik sepanjang masa, Lev Yashin.
Pertandingan ajaib itu mirip cerita film The Miracle Match atau yang terkadang disebut juga dengan judul The Game of Their Lives. Film Hollywood yang dibintangi Gerard Butler ini mengisahkan kisah heroik tim sepak bola Amerika Serikat di tahun 1950 yang berhasil mengalahkan tim raksasa dunia kala itu, yaitu Inggris.
Dengan semangat yang sama, hasil imbang melawan Uni Soviet yang akhirnya menjadi juara Olimpiade 1958 menjadi miracle match tersendiri bagi sepak bola Asia, yang pada saat itu masih dianggap anak bawang di kancah dunia.
Bagi anak-anak Makassar dan Sulawesi Selatan pada umumnya, sosok Ramang sendiri sudah dianggap manusia setengah dewa. Ia adalah protagonis dalam cerita heroik pengantar tidur yang terbawa sampai kami dewasa. Tidak jarang kami mendengar cerita-cerita yang lebih hebat dari cerita fiksi Fantasista sekalipun.
Konon, tiang gawang sampai bengkok dan kiper lawan pernah ada yang muntah darah akibat terkena bola tembakan Ramang. Entah apa benar atau tidak, tapi yang jelas saking hebatnya aksi Ramang di dekade 1950-an dan 1960-an, saat ini masih banyak ditemui orang bernama Ramang di daratan Sulawesi.
Ya, seperti halnya pengaruh nama tokoh-tokoh hebat seperti Maradona di tahun 1980-an atau Ronaldo di akhir 1990-an, nama Ramang juga sempat populer diberikan kepada bayi yang baru lahir sekitar lima puluh tahun lalu.
Saya sendiri masih ingat betapa sangat dalamnya nama Ramang merasuk ke berbagai aspek masyarakat Sulawesi Selatan. Sewaktu kecil dulu, setiap kali bermain bola, saya dan teman-teman masa kecil selalu berkhayal menjadi Ramang. Jika PSM Makassar berlaga di Stadion Mattoanging, dan penyerang-penyerang PSM gagal mencetak gol, bisa dipastikan akan ada penonton yang berteriak, ‘Masukkan Ramang!’
Entah tujuannya untuk bercanda iseng atau memang ingin menumpahkan kekesalan, yang jelas gambaran bahwa Ramang adalah jaminan mutu mencetak gol masih menghiasi benak warga Makassar dari masa ke masa. Jangan lupa juga bahwa julukan ‘Pasukan Ramang’ melekat bagi klub sepak bola PSM sejak lima puluh tahun lalu sampai sekarang.
Sayangnya, di luar semua cerita kehebatan di atas, kita hanya bisa sekadar berkhayal tentang sosok Ramang, si dewa bola. Namun, kita tidak pernah tahu persis bagaimana akselerasi, kontrol bola dan tembakan ke gawang Ramang itu seperti apa. Berbeda dengan aksi Pele di dekade 1950-an dan 1960-an yang masih bisa kita nikmati di berbagai rekaman dan video YouTube, kita tidak bisa menemukan video Ramang di manapun. Bahkan foto-foto hitam putihnya yang ada di internet pun bisa dihitung jari.
Padahal, nama besar Ramang sendiri bisa dijadikan pembelajaran pengembangan sepak bola nasional. Pertama, kita tidak boleh melupakan bahwa Ramang dibesarkan oleh lingkungan masyarakat menengah ke bawah. Sebelum berprofesi menjadi pemain sepak bola yang kehebatannya diakui di seantero benua Asia, Ramang muda sempat bekerja sebagai penarik becak.
Namun, seperti cerita di film-film, keteguhannya mengejar mimpi menjadi pemain sepak bola membawanya ke lapangan hijau. Harusnya kenyataan tersebut menjadi sinyal bagi petinggi sepak bola kita bahwa talenta sepak bola nasional yang sebenarnya, berasal dari masyarakat Indonesia itu sendiri.
Ada jutaan anak Indonesia seperti Ramang kecil yang memiliki mimpi dan bakat sepak bola yang besar, sehingga penggunaan pemain naturalisasi untuk memperkuat tim nasional hanya akan memperlihatkan kemunduran sepak bola nasional itu sendiri.
Yang kedua, akhir karier Ramang juga menjadi refleksi kondisi nasional yang kurang menghargai jasa-jasa pahlawan. Diberitakan bahwa setelah gantung sepatu, Ramang hidup di rumah yang sangat sederhana dan hidup seadanya. Bahkan, enam tahun dia menderita sakit paru-paru tanpa bisa membiayai pengobatan.
Penyakit itu pula yang mengantarkannya menghembuskan napas terakhir pada 26 September 1987. Tentunya ini merupakan salah satu sisi realita yang kejam, bagaimana kesejahteraan hidup seorang figur yang mengharumkan nama bangsa justru tidak diperhatikan oleh pemerintah.
Semoga dirimu tenang di alam sana, Daeng Ramang!
Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.