Ketika saya masih duduk di bangku SMP, salah satu pelajaran yang paling saya tunggu-tunggu adalah pelajaran olahraga. Alasannya bukan karena saya atletis dan jago olahraga, melainkan karena biasanya guru olahraga kami akan mengajak kami ke Stadion Mattoanging.
Saya duduk di bangku SMP pada tahun 2000 dan 2001, masa-masa ketika Mattoanging sangat bergairah. Stadion tersebut menjadi rumah kebanggaan bagi PSM Makassar. Setiap kali guru olahraga kami menginstruksikan pelajaran berenang untuk mengisi kelas pelajaran olahraga, bisa dipastikan beberapa siswa pria pasti akan pura-pura sakit.
Padahal, alasan itu hanya digunakan agar mereka bebas dari kolam renang, karena anak-anak SMP ingusan tersebut punya agenda lain yang lebih penting, yaitu menyelinap ke dalam stadion.
Tidak jarang, saya menjadi salah satu di antara anak-anak SMP yang menyelinap masuk ke stadion. Biasanya, para petugas penjaga stadion pun tidak berkeberatan mengizinkan kami masuk. Kalau pun petugas melarang kami masuk, biasanya kami akan patungan untuk mengumpulkan sogokan agar kami bisa masuk. Semua pengorbanan itu demi menyaksikan dari dekat para idola kami, yaitu pemain-pemain PSM.
Kami sudah cukup senang melihat para pahlawan lapangan hijau dari dekat. Siapa yang tidak senang menyaksikan langsung pemain-pemain tim nasional seperti Kurniawan Dwi Julianto dan Bima Sakti? Atau pemain asing terkenal seperti Carlos de Mello?
Pada awal dekade 2000-an, skuat PSM memang bertabur bintang, sehingga Stadion Mattoanging langsung terasa seperti Santiago Bernabeu, penuh Galacticos. Galacticos aroma Makassar, tentu saja.
Lalu, pada tahun 2001, Mattoanging memperoleh kehormatan untuk menjadi tuan rumah babak delapan besar Piala Champions Asia. PSM berhak menjamu klub-klub level atas Asia, yaitu Shandong Luneng (China), Jubilo Iwata (Jepang) dan Suwon Samsung Bluewings (Korea Selatan). Mattoanging pun bersolek, tembok-tembok stadion dicat cerah, kursi-kursi di tribun tertutup diganti, dan toilet direnovasi. Meski hanya berkapasitas 15 ribu penonton, Mattoanging akhirnya menjadi sorotan Asia.
Saya tentu saja tak ketinggalan. Bersama teman-teman lain, saya menyaksikan ketiga pertandingan PSM melawan klub-klub raksasa Asia tersebut. Bermodalkan uang pemberian dari orangtua kami, akhirnya kami bisa mengawal pemain-pemain idola kami berlaga di ajang bergengsi Piala Champions Asia.
Meskipun akhirnya Bima Sakti dan kawan-kawan gagal meraih satu poin pun, penyelenggaraan Piala Champions itu sendiri merupakan catatan sejarah membanggakan. Sayang, sekarang nyaris tak bisa ditemukan dokumentasi visual hari-hari meriah di Mattoanging pada ajang tersebut.
Sekarang, saya tidak berdomisili di Makassar. Namun, setiap kali saya pulang ke kampung halaman, saya pasti menyempatkan diri untuk menyaksikan PSM berlaga di Mattoanging. Meski nama resminya telah berubah menjadi Stadion Andi Mattalatta, nama ‘Mattoanging’ yang mengandung arti ‘mata angin’ sudah telanjur nyaman di hati warga Sulawesi Selatan.
Namun, meski punya banyak kenangan dengan Mattoanging, saya pribadi setuju dengan anggapan dan tuntutan bahwa warga Sulawesi Selatan butuh stadion baru yang lebih representatif. Sebagai tim besar yang sarat sejarah, rasanya PSM sudah perlu berkandang di stadion yang berkapasitas lebih besar dengan fasilitas yang lebih bagus.
Setiap kali musim kompetisi Liga Indonesia akan dimulai, para pendukung PSM pasti akan was-was menunggu apakah Mattoanging bisa digunakan sebagai kandang resmi atau tidak.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Pada Liga Indonesia 2013/2014, PSM harus mengungsi ke Gelora Bung Tomo di Surabaya akibat Mattoanging tidak lolos verifikasi. Stadion yang berdiri pada tahun 1957 ini dianggap tidak layak digunakan. Selama semusim penuh, warga Sulawesi Selatan, termasuk saya, harus puas menyaksikan tim kesayangannya berlaga di televisi, itu pun jika disiarkan secara langsung.
Setelah lebih satu dekade berlalu, Mattoanging memang sudah tidak elok lagi. Kondisi stadion tersebut memprihatinkan, baik rumput lapangannya maupun tribun penontonnya. Pada pertandingan pamungkas Torabika Soccer Championship (TSC) 2016 menjamu Persija Jakarta tahun lalu, terlihat jelas kapasitas Mattoanging tak mampu lagi membendung puluhan ribu penonton yang antusias menyaksikan penampilan PSM yang sedang menanjak.
Saya dan pendukung PSM lain pasti hanya bisa menahan rasa iri jika melihat stadion-stadion lain di Indonesia yang modern dan megah. Entah mengapa Makassar yang akhir-akhir ini diberi slogan ‘Makassar Kota Dunia’ memiliki bandar udara, pusat perbelanjaan dan hotel-hotel kelas dunia, tapi tak punya stadion bagus?
Mattoanging memang menyimpan banyak kenangan, tapi sudah saatnya Makassar memiliki stadion baru yang mewadahi banyak harapan.
Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.