Musuh dari musuhku adalah temanku. Pepatah kuno itu tampaknya tidak berlaku di kota pelabuhan, Liverpool. Dua rival sekota, Liverpool FC dan Everton FC memang terus jadi seteru abadi di atas lapangan. Tekel keras, umpatan kasar, hingga parade kartu merah merupakan pemandangan lazim pada derbi Merseyside.
Stanley Park dan identitas biru-merah telah lama memisahkan dua sisi kota Liverpool. Namun jika menyoal solidaritas, dua jempol patut kita acungkan. Seperti diketahui, suporter dan manajemen klub Liverpool FC sudah lama menutup akses untuk koran The Sun. Sikap ini cukup beralasan mengingat artikel kontroversial korang tersebut tentang tragedi Hillsborough, yang menewaskan 96 suporter The Reds, tahun 1989 silam.
Dalam situasi masih berduka, kota Liverpool dihebohkan dengan artikel The Sun yang mengungkapkan bahwa suporter adalah biang keladi kerusuhan. Tajuk utama berjudul The Truth itu menuduh pendukung Liverpool malah bersikap tidak kooperatif dengan aparat keamanan dan bahkan, disebut-sebut merogoh kocek para korban.
Tak pelak, amarah suporter Liverpool memuncak. Sementara bagi sebagian keluarga korban, sulit mengungkapkan perasaan sakit hati saat orang yang disayanginya pergi dengan tuduhan keji tersebut. Di fase ini, solidaritas semakin menguat. Suporter Liverpool dan Everton yang tak jarang berasal dari satu keluarga, bersatu mengutuk artikel tersebut.
Slogan “Don’t Buy The Sun” digemakan ke seluruh kota. Peringatan tragedi Hillsborough juga diadakan di kandang Everton, Goodison Park. Satu yang cukup monumental adalah dua anak kecil yang berjalan ke lapangan menggunakan jersey Everton dan Liverpool dengan nomor punggung yang membentuk angka 96.
Hingga akhirnya, laporan menyebutkan bahwa artikel The Sun tersebut adalah palsu dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Editor koran tersebut kala itu, Kelvin Mackenzie meminta maaf. Lebih dari itu, 96 korban tragedi Hillsborough dinyatakan tidak bersalah.
Tak pernah jera
Sayangnya, maaf hanya terucap di bibir saja. Sehari sebelum peringatan tragedi Hillsborough ke-28 pada 15 April 2017, kota Liverpool kembali dihebohkan dengan aktor yang sama. Mackenzie yang kini jadi kolumnis The Sun, menulis artikel kontroversial tentang gelandang Everton, Ross Barkley.
Awal pekan ini, Barkley jadi sorotan usai menerima pukulan saat menghabiskan waktunya di klub malam di kota Liverpool. Barkley yang mendapat serangan mendadak usai berbincang dengan sosok tak dikenal, jadi tajuk artikel Mackenzie.
Menurut Mackenzie, Barkley yang langsung terhuyung, bak gorila yang dikurung di dalam kebun binatang. Kritikan pedas langsung dilontarkan gelandang Burnley, Joey Barton. Sosok kelahiran Merseyside ini mengecam artikel The Sun tersebut karena bernada rasialis, mengingat Barkley berasal dari keluarga multiras.
“Semua tahu hubungan sang penulis dengan kota ini. Dia terkenal dengan kata-katanya. Sungguh benar-benar memalukan!” tulis Barton melalui akun Twitter miliknya. Masih dari Twitter, kali ini tak tanggung-tanggung, adalah Walikota Liverpool, Joe Anderson, yang meminta pihak kepolisian melakukan investigasi terkait artikel tersebut.
Memang dalam artikelnya, Mackenzie secara implisit membuat stereotip buruk tentang warga Liverpool yang dianggapnya lekat dengan kejahatan. Sang kolumnis menyatakan Barkley merupakan target empuk yang punya gaji selangit. Lebih lanjut, Anderson menuntut Everton untuk melakukan hal serupa Liverpool: Menutup total akses untuk The Sun.
“Everton, kelalaian dalam menutup akses untuk The Sun dalam konferensi pers seakan jadi pukulan telak di wajah untuk kota ini. Lihat (foto) di bawah dan putuskan sekarang,” kecam Anderson seraya menautkan cuplikan artikel tersebut. Tak hanya Barton dan Anderson, sudah jelas kemarahan juga dirasakan suporter Everton.
Kini, patut dinanti apakah Mackenzie akan kembali meminta maaf atau mempertahankan sikapnya. Namun satu yang pasti, dia telah salah dalam memilih kota untuk diserang lewat kolomnya.
Author: Perdana Nugroho
Penulis bisa ditemui di akun Twitter @harnugroho