Tak lama lagi Liga 1 akan bergulir. Sebagai liga resmi yang diharapkan menjadi tonggak bagaimana nasib sepak bola nasional, tentu liga tersebut akan ditunggu oleh masyarakat sepak bola. Berharap saja penyakit kambuhan ihwal jadwal yang biasa terjadi tak kembali terulang. Apalagi terdengar kabar sampai saat ini regulasi pertandingan serta jadwal tanding masih belum jelas.
Harapan tentang perbaikan tata kelola liga masih bersarang di dada tiap pencinta sepak bola tanah air. Hal itu mendapati sedikit titik terang setelah konflik yang beberapa tahun lalu melanda dunia sepak bola Indonesia berhasil diredam, walau dengan mengorbankan salah-satu punggawanya yang didera kasus rasua.
Namun, bukan berarti kejadian serupa tak akan pernah hinggap lagi, mengingat federasi terkait selalu susah move on, apalagi wajah-wajah lama masih juga bertengger di sana.
Tentu saya juga menginginkan sepak bola Indonesia mengarah ke arah perbaikan, tetapi tak salah juga bukan jika ada skeptisme dalam memandang hal tersebut. Dan bukankah skeptisme memang diperlukan dalam segala hal yang hendak bergerak maju?
Namun tenang saja, saya tak akan berbusa-busa berbicara tentang kebobrokan tata kelola sepak bola. Saya hendak berbicara tentang sesuatu yang mampu menjaga harapan akan masa depan sepak bola itu sendiri. Tentang di mana mimpi menjadi pemain sepak bola profesional bermula.
Kompetisi sepak bola tarkam atau antarkampung atau tarung kampung adalah ruang persalinan dari sepak bola nasional, karena dari sanalah semuanya bermula. Juga menegaskan bagaimana teori birokrasi ihwal sesuatu harus bermula dari bawah (bottom-up) bukan malah dari atas (up-down). Dan bagi saya tidak bisa tidak, bahwa sejatinya tarkam adalah nyawa dari sepak bola Indonesia.
Brasil, negara adidaya dalam sepak bola itu mempunyai ratusan atau mungkin bahkan ribuan turnamen amatir. Dari gang-gang sempit favela hingga di pedalaman hutan Amazon, kaki-kaki beradu menciptakan kisahnya sendiri.
Sebuah artikel dari penulis buku How Football Explains The World , Alex Bellos, pernah mengisahkannya. Artikel yang kemudian diterjemahkan oleh Darmanto Simaepa di blog pribadinya itu menceritakan secara apik bagaimana masyarakat di tengah hutan Amazon menghidupi sepak bola.
Seperti pada hakikatnya bahwa sepak bola semata-mata adalah sebuah permainan, dan dengan begitu, sepak bola juga menjadi ajang hiburan. Dan memang begitulah keistimewaan dari pertandingan amatir. Ada kebebasan mengutak-atik sistem pertandingan dengan seenaknya.
Di pedalaman Amazon sana, masyarakatnya mungkin berpandangan bahwa segala sesuatu yang mewakili keindahan serta kecantikan sudah sepatutnya digabungkan, yakni: sepak bola dan wanita. Di sana ada sebuah pertandingan sepak bola dipadukan dengan kontes kecantikan.
Jadi, setiap klub diwajibkan mengirimkan seorang perempuan secantik dan seseksi mungkin yang nantinya akan menjadi wakil dalam kontes kecantikan yang dilakukan sebelum kompetisi dimulai.
Keterbatasan memang kadang membuat sesuatu menjadi kaku, kering, dan tanpa warna. Sebaliknya, kebebasan membuat segala kemungkinan bisa terjadi.
Akhir-akhir ini, semenjak pulang kampong, hari-hari saya dihiasi oleh kompetisi tarkam. Maklum, seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, Ternate memang sedang kehilangan ikon sepak bola sebab ketidakjelasan nasib Persiter. Jadi satu-satunya wadah untuk memenuhi hasrat menonton sepak bola secara langsung, ya dengan menjadi wisatawan dari tarkam ke tarkam.
Di Ternate sendiri hampir setiap bulan ada kompetisi tarkam yang dilakukan oleh pelbagai pihak, dari mulai organisasi kepemudaan hingga instansi pemerintahan.
Pada saat menjadi pelancong tarkam itu saya menyaksikan bagaimana keriaan yang terkesan sederhana terjadi di pinggir lapangan. Dengan berbekal rokok dan air mineral bisa menikmati pertandingan yang kadang lebih seru daripada laga El Classico ala Spanyol yang semakin komersil dan membosankan itu.
Beberapa waktu lalu kawan-kawan di lingkungan rumah saya dengan begitu kurang ajarnya menunjuk saya sebagai pelatih mereka. Saya katakan menunjuk sebab tak ada dialog untuk hal itu, tanpa persetujuan bahkan tanpa sepengetahuan saya, mereka sudah mendaftarkan nama saya ke panitia kompetisi.
Jelas tak bisa menolak, dan jadilah saya seorang pelatih tarkam dadakan. Dan seperti yang saya duga sebelumnya, mengatur sebuah tim bukan persoalan mudah walau hanya tim amatir. Saya merasakan betapa sulitnya mengumpulkan pemain-pemain hanya untuk sekadar latihan, sebab sebagian besar pemain tim ini berprofesi sebagai tukang ojek.
Alhasil, kami tak pernah melakukan sekalipun sesi latihan pada kompetisi ini. Saya juga menyaksikan bagaimana pemain yang merajuk hanya karena diomelin pemain lain sebabnya adalah ia telat berkumpul dan karena itu tim harus menunggunya hingga hampir dinyatakan kalah walk out karena keterlambatan.
Dan saya yang harus membujuknya untuk mau bermain sebab saat itu dia sudah tak ingin bergabung dengan tim lagi, bahkan baju timnya sudah ia kembalikan. Saya kemudian membayangkan bagaimana rumitnya mengelola sebuah tim profesional kalau mengatur tim amatir saja sudab bikin pusing.
Pada kompetisi itu pula saya mendengar nama-nama tim yang aneh dan unik. Tak ada upaya untuk terlihat keren dan modern dengan membumbuhkan istilah macam united, FC, atau semacamnya. Ada sebuah tim yang bernama “edet” yang merupakan plesetan dari “edit”, entah apa maksudnya.
Ada juga tim yang entah dari mana inspirasinya bernama “8000 liter”. Ya Anda tak salah baca. Delapan. Ribu. Liter.
Selain itu, keunikan tarkam juga kadang berada pada hadiah yang diberikan. Ada yang menghadiahkan seekor sapi, ada juga yang memberikan bonus dibuatkan Surat Ijin Mengemudi gratis. Yang terakhir ini karena kompetisinya diadakan oleh satuan lalu lintas.
Saya sempat heran dengan hadiah yang diberikan untuk semua pemain dan ofisial yang timnya juara dan runner-up ini. Bagaimana jika salah-satu dari pemainnya tak bisa mengemudikan kendaraan lalu dengan menjadi juara, ia bisa mengantongi ijin mengemudi itu?
Namun bagaimanapun, dari sanalah saya mengamini bahwa tarkam adalah penyelamat sepak bola nasional. Dengan segala keunikan serta keanehannya, tarkam adalah pabrik awal pemain-pemain nasional, karena dari sanalah semua bermula. Pemain yang mempunyai talenta akan dilirik oleh para pencari bakat, yang kemudian mengikuti seleksi di tim-tim semi-profesional maupun yang profesional.
Tarkam adalah penyaringan. Bisa dibilang pemain-pemain nasional yang bermain untuk klub Liga 1 dan 2 semuanya bermula dari tarkam.
Selain menjadi penyelamat dalam hal mensuplai pemain secara terus menerus, tarkam juga menjadi penyelamat di kala kompetisi sedang dilanda masalah hingga harus dihentikan. Seperti yang terjadi pada tahun 2015 lalu.
Saat itu banyak sekali pemain profesional harus berlaga di level amatir atau tarkam. Misalnya di kompetisi tarkam Bina Jaya Cup. Tarkam yang digelar di lapangan Lotus Ciputat itu diramaikan oleh pemain sekelas Ramdani Lestaluhu, Achmad Jufriyanto, dan Titus Bonai.
Turnamen tarkam Liga Ramadhan di Makassar justru lebih banyak lagi. Ada pemain sekelas Zulham Zamrun, Cristian Gonzales, Evan Dimas, Hamka Hamzah dan masih banyak lagi.
Pemain sepak bola biar bagaimanapun adalah pekerja, dan jika kompetisi resmi berhenti maka mata pencaharian mereka pun ikut berhenti. Dan pada kondisi inilah tarkam menjadi malaikat penyelamat. Selain untuk mencari pundi-pundi uang, juga untuk menjaga stamina agar tetap dalam kondisi prima.
Selain itu, tarkam juga bertindak sebagai penyelamat untuk pemain-pemain yang sudah “habis” dan tenaganya tak dipakai lagi oleh klub-klub profesional namun masih mampu menggiring bola. Pada satu turnamen tarkam, saya menyaksikan seorang mantan pemain nasional, pernah juga membela timnas, yang sudah tak terdengar lagi namanya di dunia sepak bola tanah air. Ia sekarang rutin bermain di sepak bola tarkam.
Di sini kita bisa lihat bagaimana pentingnya tarkam dalam pengaruhnya terhadap sepak bola nasional. Tarkam adalah detak denyut nadi sepak bola Indonesia. Dari sini hasrat menonton sepak bola bisa selalu tersalurkan walau kompetisi resmi sedang rehat atau bermasalah. Namun bukan berarti dengan segala kesederhanaannya, tarkam bisa terlepas dari intrik kecurangan.
Sepak bola seperti juga kehidupan, selalu ada hal-hal yang tak adil terjadi. Hanya saja di sepak bola tarkam, wasit akan lebih paham akibatnya jika melakukan kecurangan. Sebab tak ada pihak (baik itu kepolisian maupun komdis) yang bisa menyelamatkannya.
Author: Rizal Syam (@rizArt_)
Pemain gelandang bertahan. Mencintai Persiter Ternate dan Chelsea FC. Anggota skuat narazine.co.