Nasional Suara Pembaca

Persiter Ternate dan Rindu yang Tak Kunjung Tuntas

Kenangan seperti udara yang merangsek masuk di celah jendela yang tertutup rapat, ia bisa menyelinap tanpa dipanggil. Dengan sifat seenaknya itu kenangan tak bisa disaring berdasar keutamaan, keunggulan, atau kebutuhan. Ingatan soal kepedihan yang tentu tak ingin ditemukan tiba-tiba bisa muncul dari sel-sel otak. Begitu pun dengan kerinduan. Bahwa kerinduan adalah anak kandung dari kenangan, mengenang kerap kali juga sekaligus menjadi laku merindukan.

Dan ingatan serta kerinduan berpilin-pilin di otak ketika saya membaca tulisan apik tentang cinta tanpa syarat yang bukan pada seorang gadis, melainkan pada tim sepak bola. Jika Fajar Martha saat itu menyinggung ihwal sepakbola yang berada bermil-mil jauhnya dari keseharian, saya malah teringat dengan tim sepak bola yang justru turut menjadi kepingan puzzle masa kecil.

Ada semacam kebingungan ketika menjelaskan jarak dengan tim ini. Di satu sisi ia begitu dekat, namun di sisi yang berlainan tim ini sekarang justru terasa jauh. Agak ironis juga ketika tim yang jauh bermil-mil itu malah yang menjadi penawar hasrat menonton kaki-kaki yang mengolah bola. Tim yang terasa dekat namun sejatinya secara fisik jauh ini bernama: Persiter Ternate.

Tak ada yang lebih indah rasanya dari kenangan masa kecil yang diisi dengan harapan menyaksikan pemain-pemain idola berlaga di akhir pekan. Saya masih sangat ingat dengan senyum bangga, ketika teman-teman bapak secara iseng menyuruh saya menyebutkan semua pemain (juga cadangan beserta nomor punggungnya) Persiter waktu itu. Sebagai bocah yang tak pernah melewatkan satu pun pertandingan kandang Persiter, saya melakukannya tanpa kesalahan.

Bagi anak kecil yang hidup di kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota lain yang masih bisa marasakan atmosfer stadion ketika tim kesayangnnya bertanding tentu beruntung. Karena nasib anak-anak itu tak seperti mereka yang hanya bisa mengais kenangan yang berserakan di masa lampau.

Persiter, seperti tim-tim era Perserikatan, adalah klub dengan keterwakilan daerah, menjadi klub kebanggaan tak hanya untuk masyarakat Ternate melainkan seantero Maluku Utara. Klub yang berdiri sejak 1958 ini pada 2008 lalu harus berhenti menciptakan kisah pada pecintanya. Berawal dari sebuah keputusan yang mengharuskan berhentinya penggunaan APBD untuk klub, maka dengan sendirinya juga menjadi momentum berhentinya aksi Laskar Kie Raha (julukan Persiter).

Persiter menunggu selama 10 tahun, hingga akhirnya pada tahun 2005, mereka menghirup atmosfer liga tertinggi setelah menjadi juara tiga divisi dua. Kehadiran Persiter di pentas tertinggi sepak bola Indonesia itu bagi saya turut manjadi penyembuh luka setelah tragedi berdarah mengepung Maluku waktu itu.

Konflik keyakinan tersebut memang berakhir pada titimangsa 2002, namun luka sebesar itu menganga hingga beberapa tahun setelahnya, dan ya, Persiter hadir dalam proses penyembuhan luka. Mengganti kenangan akan kewaspadaan siang-malam yang sebelumnya mengisi keseharian bocah-bocah di Ternate. Lupa bahwa saat itu kawan-kawan saya yang berbeda keyakinan masih belum bisa kembali ke Ternate.

Ketika itu orang-orang tak hanya bangga menyebut Ternate dalam lingkup sejarah awal penjajahan di bumi Nusantara saja. Saat itu, nama-nama seperti Rahmat Rivai atau Fandi Mochtar juga menjadi penyulut rasa bangga.

Lalu hidup harus terus berjalan, tak ada lagi akhir pekan yang menggembirakan dan juga terkadang menyesakkan. Hingga bertahun-tahun tak jelas bagaimana dan apa yang hendak menjadi jalan bagi Persiter. Sesekali memang terdengar kabar bahwa Persiter akan mulai bangkit, namun kabar itu terdengar sejak tahun 2011, dan kita semua tahu sampai sekarang kabar itu tak menunjukkan nyatanya.

Kadang memang sedikit disayangkan, kota dengan atmosfer sepakbola yang ciamik seperti Ternate tak mempunyai klub yang mesti didukung. Saya tak akan pernah lupa ketika tim nasional U-19 memenangi Piala AFF U-19 pada 2013 lalu, tanpa perlu komando, hanya dalam sepersekian detik, jalanan di kampung-kampung berubah menjadi perayaan. Kegembiraan itu berlanjut ke jalan-jalan utama kota Ternate, berubah menjadi karnaval.

Malam itu Ternate berisik. Segala macam benda yang bisa berbunyi dibawa serta dalam arak-arakan itu. Saat itulah mungkin pembuktian kecil dari apa yang dikatakan oleh Zen RS, bahwa sepak bola bisa menjelma menjadi sebuah kisah.

Saya menyaksikan dengan lirih bagaimana kegembiraan yang terjadi di tribun kala Persebaya berlaga baru-baru ini. Kerinduan yang mengisi dada arek-arek Suroboyo sejak 2012 memperoleh tebusannya sore itu. Menyaksikan bagaimana para Bonek dengan begitu konsisten berupaya mengembalikan klubnya semakin membuat saya iri.

Itu Persebaya, tim yang absen hanya dalam beberapa tahun saja. Bagaimana dengan tim yang absennya lebih lama lagi? Kerinduan macam apa yang terjadi pada mereka yang masa kecilnya dijejalkan oleh kisah-kisah lapangan hijau lantas kemudian kisah itu hilang dan hanya bisa dikais oleh kenangan?

Menyalahkan peraturan pelarangan menggunakan kas daerah sebagai faktor absennya Persiter adalah sebuah kekeliruan, tentu saja. Mempertanyakan pemerintah daerah yang menjadikan Persiter hanya sebagai alat saat Pilkada rasanya lebih masuk akal. Kerja pengurus yang tak terlihat tajinya, alasannya selalu ihwal pendanaan, tentang anggaran yang tak kunjung ada. Apakah alasan ini masuk akal ketika fakta menyebutkan Ternate sebagai kota dengan biaya hidup tertinggi di Indonesia, berada di bawah ibu kota negara dan Papua? Entah.

Belum lagi soal kekacauan pengelolaan kompetisi yang entah kapan sudahnya. Kisruh kepentingan yang terjadi beberapa tahun belakangan menjadi pelajaran nyata. Bahwa ketidakbecusan dalam mengelola kompetisi (dan klub) bisa berdampak pada pelbagai hal, termasuk pada para pendukung yang rindu pada kisah yang diciptakan oleh kaki-kaki di akhir pekan.

Beberapa hari lalu tulisan Fajar Martha menjadi perbincangan para pendukung klub ibu kota. Sebabnya adalah karena beliau ini dinilai memberikan pandangan yang kelewat berlebihan dan sedikit minim data riset. Tapi secara pribadi, saya malah mendapati hal berbeda ketika membaca artikel tersebut.

Bagi saya, yang begitu iri kepada pendukung yang masih memiliki klubnya, Jakmania patut bersyukur karena di tengah kekisruhan dan ketidakjelasan masalah yang timbul dalam kepengurusan, dari soal stadion hingga hal-hal manajemen lainnya, Persija masih mampu terus berkiprah di pentas tertinggi Liga Indonesia.

Dengan beberapa kali kasus penunggakan gaji pemain mestinya menjadi hal yang patut dikhawatirkan menyangkut keberlangsungan sebuah klub. Itu kalau kita mau berpikir menggunakan nalar yang tertib.

Bandingkan dengan kasus yang dialami oleh Persiter. Sekali masalah anggaran menerpa maka yang terjadi adalah mati suri yang entah kapan sudahnya. Memang kedua tim ini jelas mempunyai perbedaan. Persija bertempat di ibu kota negara, dan dengan begitu, akses ke segala hal begitu terbuka. Berbeda dengan Persiter yang mendiami pulau yang sisa-sisa romantisme masa lalu masih membekas.

Di sini perlu diingat bahwa saya tak hendak menyalahkan siapa-siapa. Namun yang ingin saya sampaikan adalah, dan ini sudah sering saya ucapkan ketika terlibat diskusi tentang sepak bola nasional, suporter mestinya mampu menilai bagaimana kinerja pengurusnya. Bagi saya, satu aspek yang mampu memengaruhi sepak bola Indonesia adalah bagaimana kesadaran suporternya dalam melihat klub kesayangan. Mempunyai perhatian pada jalannya kepengurusan dan memberikan tekanan untuk perbaikan, atau hanya suka menunjukkan eksistensi semu saja.

Saya berani membicarakan hal ini bukan semata-mata hanya karena artikel Fajar saja. Saya berbicara begini, sebab saya merasakan bagaimana ketidakbecusan pengurus dalam mengelola sebuah klub hingga berdampak pada kevakuman bertahun-tahun. Saya merasakan bagaimana kebanggaan lokal kami dalam wujud tim sepak bola harus direnggut dari kami dan dipaksa untuk hanya dikenang dalam bingkai sejarah belaka.

Author: Rizal Syam
Pemain gelandang bertahan. Mencintai Persiter dan Chelsea FC. Anggota skuat narazine.co