Eropa Jerman

TSG Hoffenheim: Sintetis yang Berbuah Estetis

Musim panas 2016, sorotan pencinta sepak bola Jerman tertuju pada hadirnya klub promosi Bundesliga 1, RasenBallsport (RB) Leipzig. Bukan menyambut, melainkan berharap klub ini segera hancur.

Suporter klub Bundesliga 1 merasa kehadiran klub yang dibentuk atas inisiasi perusahaan minuman berenergi itu tak sejalan dengan visi mereka. Leipzig dianggap semata-mata hanya strategi jualan produk tersebut. Penolakan pun terjadi hampir setiap Timo Werner dan kawan-kawan menjalani laga tandang.

Padahal jika menilik lebih jauh, klub ‘plastik’ di Bundesliga tercatat tak hanya Leipzig saja. Sebut saja TSG 1899 Hoffenheim. Mirip dengan Leipzig, Die Kraichgauer, julukan Hoffenheim, melesat cepat sebelum promosi ke Bundesliga 1.

Jika Leipzig punya Dietrich Mateschitz sebagai investor utama, di Hoffenheim ada Dietmar Hopp. Namun, jangan pernah samakan Mateschitz dengan Hopp. Meski jalan yang diambil serupa tapi tak sepenuhnya sama. Mateschitz yang juga pemilik Red Bull, memang berencana berinvestasi ke klub sepak bola dan mencari selama tiga setengah tahun sebelum berlabuh di Leipzig.

Bagaimana dengan Hopp? Ada ikatan batin antara konglomerat perangkat lunak komputer ini dengan Hoffenheim. Sekian tahun berkutat di kompetisi lokal amatir, jalan takdir kembali mempertemukan Hoffenheim dengan eks pemainnya, Hopp. Lewat perusahaan yang dibentuk bersama keempat rekannya, SAP AG, Hopp membantu perkembangan Hoffenheim lewat suntikan dana, mulai medio tahun 2000 silam.

Dalam dua tahun awal, dukungan Hopp membuat Hoffenheim promosi dua kali. Nama klub mulai terdengar setelah lolos perempatfinal DFB-Pokal musim 2003/2004 dengan mengalahkan klub besar Bundesliga 1, Bayer Leverkusen. Hanya berselang lima tahun, Hoffenheim akhirnya mencicipi kerasnya persaingan di level tertinggi sepak bola Jerman, Bundesliga 1.

Jika dikomparasikan dengan perjalanan klub Bundesliga 1 lainnya, terasa cukup cepat bukan? Tak pelak, cap plastik pun bermunculan. Apalagi setelah Hoffenheim yang dilatih Ralf Ragnick langsung menyabet status Herbstmeister atau juara paruh musim pada debut mereka di Bundesliga 1.

Sintetis tak selamanya palsu

Memang, keberhasilan Hoffenheim menembus Bundesliga 1 tak lepas dari sokongan finansial dari Hopp. Namun, bukan untuk kepentingan bisnis atau bahkan meraup keuntungan dari suporter.

Suporter yang jadi integral penting keberlangsungan klub di Jerman, memang sulit untuk jadi pasokan utama Hoffenheim. Bagaimana tidak, klub ini berbasis di desa yang penduduknya hanya sekitar 3.300 jiwa atau hanya satu per sembilan dari kapasitas Stadion Wirsol Rhein-Neckar Arena.

Selain itu, prestasi, walaupun penting, tetapi bukan segalanya. Hal ini bisa dibuktikan dengan strategi transfer Hoffenheim yang meski mendatangkan banyak pemain, tetapi tidak jor-joran. Rekor transfer Die Kraichgauer saja tercatat di bawah 10 juta euro atau ketika mendatangkan Andrej Kramaric sebesar 8,5 juta euro, awal musim ini.

Hoffenheim malah dikenal sebagai pengorbit pemain andal di Eropa. Sebut saja Gylfi Sigurdsson, Luiz Gustavo, Demba Ba, hingga Roberto Firmino. Semua pernah tampil membela klub asal Sinsheim ini.

Memang, semua dilakukan secara pelan namun pasti. Perjalanan Hoffenheim di Bundesliga 1-pun selalu pasang surut dan cenderung finis di papan tengah klasemen, meski tak pernah turun kasta sejak promosi sembilan musim lalu. Hingga pada akhirnya, estetis itu datang dengan sendirinya.

Estetis di atas lapangan, protagonis di klasemen

Awal musim ini, Hoffenheim sempat dilanda keraguan besar. Mengakhiri Bundesliga 1 2015/2016 tepat di tepi jurang degradasi, Die Kraichgauer membuat keputusan berani dengan mempertahankan pelatih termuda di liga, Julian Nagelsmann yang belum genap berusia 30 tahun. Menggantikan pelatih kenyang pengalaman, Huub Stevens, Nagelsmann dibebani pekerjaan berat.

Hal yang ditakutkan mulai terjadi. Hoffenheim ditahan imbang Leipzig pada laga perdana di kandang sendiri. Hingga pekan keempat, kemenangan tak jua diraih. Namun, momentum akhirnya tiba saat gol Lukas Rupp menyegel kemenangan timnya atas Schalke 04 yang sempat unggul terlebih dahulu. Sejak saat itu, Hoffenheim sukses mencatatkan lima kemenangan beruntun.

Hingga akhirnya pada Spieltag 27, kebangkitan itu benar-benar terlihat. Menjamu pemuncak klasemen sementara, Bayern Munchen, Hoffenheim sukses keluar sebagai pemenang. Gol tunggal Kramaric sudah cukup untuk mengamankan tiga poin langka dari sang hegemon tunggal Liga Jerman tersebut.

Hasil krusial ini juga yang membuat Hoffenheim kini bertengger di posisi ketiga klasemen, di atas Borussia Dortmund dengan perolehan 51 poin. Nada miring soal minimnya pengalaman dan kapasitas Nagelsmann menangani tim Bundesliga 1 perlahan memudar, berganti dengan pujian

Tak hanya melesat naik, Hoffenheim juga menyajikan permainan estetik nan ciamik. Keseimbangan tim amat dijaga meski memainkan strategi yang cenderung berani, dengan formasi tiga bek. Di situlah kekuatan tim sesungguhnya. Trio Niklas Sule, Kevin Vogt dan Benjamin Hubner terbukti amat kokoh, dengan hanya kebobolan 26 gol atau kedua terminim musim ini.

Sementara fleksibilitas terus ditunjukkan duet wingback Jeremy Toljan dan Steven Zuber. Keduanya memberikan pasokan sekaligus proteksi terhadap tiga gelandang, Sebastian Rudy, Nadiem Amiri, dan Kerem Demirbay, dengan kerap bergerak diagonal. Demirbay dan Amiri benar-benar menjelma jadi bintang baru Bundesliga 1 musim ini berkat performa apik menopang duet penyerang utama.

Sementara di depan, Sandro Wagner dan Kramaric terbukti langsung nyetel pada musim pertamanya dengan masing-masing mencetak 11 gol. Nagelsmann beruntung memiliki stok penyerang yang tak hanya berlimpah, tapi juga siap diturunkan kapan saja. Duet pelapis, Marc Uth dan Adam Szalai hingga saat ini telah mencatatkan total 11 gol.

17 tahun sudah berlalu sejak Hopp menggelontorkan dana untuk kemajuan Hoffenheim. Meski terdengar instan atau sintetis, Die Kraichgauer setidaknya menunjukkan bahwa uang tak selamanya membuat sepak bola jadi membosankan. Proses pasang dan surut yang terus dijalani, membuat orang seakan lupa bahwa rasa sintetis, bisa perlahan memudar dan berganti dengan estetis.

Author: Perdana Nugroho
Penulis bisa ditemui di akun Twitter @harnugroho