Eropa Inggris

Apalah Arti Sebuah Nama bagi Shakespeare dan Leicester City

Apalah arti sebuah nama? Andaikan Anda memberikan nama lain untuk setangkai bunga mawar, wanginya akan tetap sama. Tak perlu disebutkan namanya, Anda mungkin sudah tahu siapa yang punya kutipan itu. Lebih dari empat abad berselang, kutipan William Shakespeare tersebut benar-benar dibuktikan, oleh Shakespeare lain.

Kamis yang tenang, 23 Februari 2017, berubah menjadi muram setelah kabar mengejutkan datang dari juara bertahan Premier League, Leicester City. Sukses membuat dongeng The Foxes menjadi kenyataan, Claudio Ranieri malah didepak dari posisinya sebagai manajer klub.

Hampir semua pencinta sepak bola di dunia meratapi kepergian Tinkerman, julukannya, mengingat apa yang telah dia berikan kepada publik King Power Stadium musim lalu. Sebagian besar lantas menyebut dongeng Leicester akan sepenuhnya berhenti di sini, bahkan lebih buruknya: Ancaman degradasi benar-benar terjadi.

Sesuatu yang sangat memungkinkan memang. Tepat usai kalah dari Sevilla di leg pertama babak 16 besar Liga Champions, Leicester tanpa Ranieri bersiap menjamu salah satu tim dengan lini depan paling menakutkan di Liga Primer Inggris, Liverpool.

Tak hanya itu, manajemen The Foxes terkesan lamban mencari pengganti dan malah memberikan jabatan caretaker kepada sosok tak dikenal sebelumnya: Craig Shakespeare. Siapa Shakespeare? Well, mungkin ini memang takdirnya Leicester untuk kembali turun kasta.

Akan tetapi, Tuhan sepertinya masih senang memberikan dongeng indah untuk Leicester. Pada laga perdana Shakespeare sebagai caretaker, Leicester secara mengejutkan menjungkalkan Liverpool. Tak tanggung-tanggung, dengan skor mencolok, 3-1!

Tapi tunggu, mungkin itu hanya kebetulan belaka, bukan? Lagipula Liverpool memang sedang angin-anginan sejak Januari lalu. Namun, Shakespeare dan Leicester membuktikan bahwa kemenangan itu bukan kebetulan belaka, melainkan momentum berharga.

Sempat tertinggal atas Hull City di pekan selanjutnya, Leicester sukses kembali menang, dengan skor identik. Namun, Shakespeare tetap rendah hati. Alih-alih menyombongkan diri dengan pencapaian terkini, eks staf komunitas di West Bromwich Albion itu memilih terasing bersama timnya di Dubai, Uni Emirat Arab.

Momen jauh dari kandang membuat skuat Leicester lebih solid. Pertengahan Maret 2017,  Jamie Vardy dan kawan-kawan membalikkan keadaan saat menang 2-0 atas Sevilla dan lolos ke perempatfinal Liga Champions dengan agregat 3-2.

Kembali ke Liga Primer, Leicester terus garang dan mencatatkan lima kemenangan beruntun atau enam di semua kompetisi sejak tim diambil alih Shakespeare. Tak hanya hasil maksimal yang didapat, para pemain juga kembali tampil trengginas. Terutama Vardy yang tak pernah absen mencetak gol dalam tiga laga terakhir kontra West Ham United, Stoke City, dan Sunderland.

Sementara itu bagi Shakespeare, kemenangan teranyar atas The Black Cats akhir pekan lalu membuatnya melampaui nama tenar semisal Jose Mourinho dan Guus Hiddink dengan lima kemenangan beruntun di awal periode manajerial.

“Terkadang Anda perlu mencubit dan menyadarkan diri sendiri bisa sejajar dengan nama tersebut. Dianggap sejajar membuat saya sangat bangga,” ujar Shakespeare dilansir BBC.

Kini, sosok yang menjuluki dirinya sendiri The Lucky One itu mengincar posisi setinggi Carlo Ancelotti ketika di Chelsea tahun 2009 atau Pep Guardiola pada awal musim ini, dengan pernah meraih kemenangan beruntun enam kali di awal.

Akhir pekan ini (9/4), Leicester akan melawat ke markas tim yang nyaris mempermalukan Manchester United di Old Trafford, Everton. Dibebani target lolos dari degradasi, Shakespeare sementara malah melampauinya dengan membawa Leicester bertengger di posisi 11 klasemen. Cukup adil rasanya jika pria berusia 53 tahun itu diberikan waktu untuk lebih mengenalkan namanya, ketimbang menghakimi hanya dengan bermodal nama yang asing.

Ah! Anda membuktikannya sekali lagi, Tuan Shakespeare.

Author: Perdana Nugroho
Penulis bisa ditemui di akun Twitter @harnugroho