Beberapa minggu selepas berlabuhnya Michel Essien ke Persib Bandung, kita belum lagi mendengar pemain berstatus marquee player lain yang merapat ke klub-klub sepak bola nusantara. Ada nama Peter Odemwingie yang santer dibicarakan, tetapi sampai saat ini hal tersebut masih merupakan isu bursa transfer semata.
Marquee player sangat meragukan. Hal ini baru diputuskan PSSI setelah Persib merekrut Essien, bukan sebelumnya. Ada kesan PSSI sekadar ingin aji mumpung dari langkah Maung Bandung, dan menjadikan kebijakan marquee player sebagai proyek mercusuar.
Ada banyak hal kontradiktif dari kebijakan marquee player. Kita mengenalnya dari liga-liga lain seperti India dan Australia. Pemain berstatus marquee player disebut akan memopulerkan suatu kompetisi yang baru berjalan. Bukankah sepak bola Indonesia, meski masih jauh dari kata profesional, tidak membutuhkan hal itu?
Simak saja komentar manajer umum Arema FC, Ruddy Widodo. Dikutip dari Wearemania (20/3), Ruddy mengatakan, “Kehadiran marquee player di tim tentunya tidak sekadar membuat klub jadi terkenal klub, karena Arema sudah terkenal. Tapi, bagaimana pemain tersebut bisa memberikan keuntungan maksimal untuk Arema secara keseluruhan, secara teknis dan non-teknis.”
Ucapan sang manajer juga diamini gelandang Singo Edan asal Argentina, Esteban Vizcarra. Jika Ruddy melihatnya dari sisi popularitas, Vizcarra memandang sepak bola Indonesia lebih butuh untuk memberi kesempatan kepada bakat-bakat muda.
“Saya kira banyak tim yang tidak bisa memenuhinya, menurut saya banyak pemain muda yang ingin main, lebih baik berikan kesempatan kepada mereka. Untuk saat ini, Arema tak butuh marquee player, saya lebih setuju jika tim pelatih memberikan kesempatan kepada pemain muda untuk bermain,” kata pemain yang pada Piala Presiden 2017 lalu bermain ciamik ini.
Urgensi kebijakan ini memang dipertanyakan. Tapi kita tahu, PSSI telah sukses menjadikan marquee player sebagai tajuk berita beberapa hari terakhir. Sejatinya, yang harus kita dengar dari badan tertinggi sepak bola nasional ini adalah mengenai ihwal teknis dan non-teknis di kompetisi yang telah lama tertunda. Bukan regulasi tak berguna macam ini.
PSSI memang tak mewajibkan tiap klub untuk memiliki pemain berstatus marquee player. Tidak seperti di Indian Super League yang mengharuskan klub untuk merekrut pemain berstatus marquee player. Dengan menjadikannya regulasi resmi, tentu saja perhatian masyarakat kita berpaling padanya.
Sebagaimana lazimnya berita-berita mengenai transfer pemain, penggemar ingin klubnya juga mengikuti langkah yang telah diambil Persib. Selain Odemwingie, ada pula nama-nama semisal Marouane Chamakh, Douglas Maicon hingga Didier Drogba yang menghiasi tajuk-tajuk berita olahraga dalam negeri.
Penggemar dibuat lupa, bagaimana mayoritas klub yang ada masih kepayahan dalam mengatur urusan penggajian para pemain yang membela skuatnya. Mereka juga lupa bahwa baru beberapa tahun lalu ada pemain asing yang meninggal, dan ketika sakit, pihak keluarga harus tertatih-tatih mencari biaya pengobatan akibat gaji yang tertunggak.
Menepikan pemain muda
Ironisnya, hal tersebut juga terjadi di saat bibit-bibit muda Indonesia menunjukkan performa memikat. Tak hanya kegemilangan timnas Piala AFF 2013 didikan Indra Sjafrie, belakangan ini kita pun dijejali dengan begitu banyak bakat belia yang berasal dari seantero daerah di nusantara.
Nama-nama seperti Hanif Sjahbandi (Arema), Hansamu Yama (Barito Putera), Febri Hariyadi (Persib), Saddil Ramdani (Persela Lamongan) adalah segelintir dari bakat-bakat menjanjikan itu. Jika kita sebutkan seluruhnya tentu terlalu banyak. Pasalnya, dengan regulasi ini, jatah pemain asing di masing-masing klub pun bertambah menjadi empat pemain. PSSI memformulasikannya menjadi 2 (pemain asing)+1 (pemain asing Asia)+1 (marquee player).
Pelatih Bhayangkara FC berkebangsaan Inggris, Simon McMenemy, turut menyangsikan regulasi ini. Pria tersebut memiliki pengalaman buruk saat memiliki pemain asal Liga Primer Inggris, Marcus Bent, di klub yang dia asuh saat itu, Mitra Kukar. Bent yang pernah membela Crystal Palace dan Blackburn Rovers hanya bertahan setengah musim, akibat keberadaannya yang tidak mengoptimalkan permainan tim.
”Level permainan Marcus Bent jauh di atas pemain Indonesia, dia gagal maksimal. Artinya, pemahaman permainan sepak bola di negeri ini dan Liga Inggris jaraknya jauh. Itu akan jadi masalah. Berdasarkan pengalaman itu, saya tak butuh marquee player di Bhayangkara FC.
”Regulasi ini kontradiksi dengan misi menaikkan pemain muda di kompetisi. Saya pikir pemain dengan status marquee player justru bertentangan dengan kebijakan baru soal batasan usia pesepak bola,” tandasnya seperti dikutip dari Juara (23/3).
Belajar dari India
Indian Super League (ISL) adalah kompetisi di luar badan sepak bola negara yang pernah lama dijajah Inggris tersebut. Negara ini telah memiliki I-League yang telah bergulir sejak 2007. ISL hanya diikuti oleh 8 klub dan tidak mengenal sistem degradasi. Sistem kepemilikan klub mengikuti sistem yang ada di Amerika Serikat (Major League Soccer). ISL pun baru bergulir pada 2013.
Akhirnya India pun mengejutkan dunia. Nama-nama yang direkrut klub ISL adalah nama-nama yang tidak hanya berstatus mega bintang, tapi juga ikon global. Ada Alessandro Del Piero, Robert Pires, Freddie Ljungberg, hingga Roberto Carlos. Tetapi pemain-pemain tersebut tak bisa mengingkari umur. Kaki-kaki renta mereka tidak bisa mengikuti ritme permainan, bahkan di liga yang baru saja berdiri.
Klub-klub ISL sadar, tugas pemain-pemain ini memang semata sedikit memalingkan mata dunia kepada liga mereka. Akhirnya, banyak pemain-pemain marquee player yang hanya menjadi penghias bangku cadangan belaka. Menit bermain mereka begitu minim, karena memang fisik sudah lagi tak lagi mampu menyeimbangi permainan.
Namun, berkebalikan dengan Indonesia, India adalah salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tercepat menurut Central Statistics Organisation (CSO) dan International Monetary Fund (IMF). Dalam kurun dua tahun belakangan (2016 dan awal 2017), tingkat pertumbuhannya ditaksir akan mencapai 7% lebih.
Keberhasilan tersebut dinilai dapat terjadi karena reforma ekonomi yang diusung pemerintahnya. Para pebisnis India kini mencuri perhatian dunia sebagai pemain yang cukup sering melakukan aktifitas ekonomi berupa merger dan akuisisi (merger and acquisitions activity). Klub-klub ISL dan I-League dimiliki oleh para pebisnis dan bintang-bintang Bollywood.
Selain nama-nama pemain, pelatih, serta pihak manajemen yang telah saya cantumkan di atas, masih banyak lagi nada-nada bersifat syakwasangka dari berbagai kubu. Nama pemain bintang memang menggoda, tetapi saya pikir kita tidak membutuhkan itu. Yang kita butuhkan adalah bagaimana PSSI mengelola sebuah sistem yang padu, transparan, dan berkelanjutan.
Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com