Bila harus menyebutkan nama-nama besar dalam sepak bola, mungkin mereka inilah yang sekejap mencuat di benak: Pele, Lev Yashin, Diego Maradona, Johan Cruyff, Franz Beckenbauer, Paolo Maldini, Cristiano Ronaldo hingga Lionel Messi. Sebuah rentetan nama yang sudah pasti tak asing lagi di telinga khalayak umum.
Kini, coba tanya keluarga atau rekan-rekan kalian. Tahukah mereka, atau setidaknya pernah dengar, nama seperti Mia Hamm, Marta Vieira da Silva, Homare Sawa, dan Birgit Prinz? Bukan, bukan, bukan. Mereka bukan pacar atau istri pemain sepak bola pria. Bukan sama sekali.
Mereka adalah legenda sepak bola wanita bertalenta dengan prestasi mentereng yang sayangnya kurang dikenal secara luas oleh publik. Entah apa yang membuat mereka kurang ngetop. Mungkin permainan sepak bola wanita yang kala itu dianggap kurang seru, mungkin dicap membosankan (padahal belum pernah menonton), mungkin kurang diekspos, atau mungkin karena mereka……wanita.
Sudah menjadi sebuah stigma mengakar dalam masyarakat, di Indonesia salah satunya, bahwa kaum wanita lebih identik dengan hal-hal domestic seperti memasak, mengurus rumah tangga dan sebagainya. Atau diidentikkan dengan laku feminim seperti menari, memakai make up, atau mengurus fashion, dibandingkan bermain sepak bola.
Masih ingat dengan film ‘Bend It Like Beckham’? Jess, seorang gadis keturunan India pencinta sepak bola yang bermukim di London, harus menghadapi keluarganya yang kolot dan masih kuat dengan tradisi India. Film tersebut menggambarkan bagaimana sulitnya posisi Jess sebagai perempuan remaja ketika berkarya di arena yang bukan “seharusnya”, yakni bermain sepak bola.
Sang sutradara dan penulis skenario Gurinder Chadha tidak mengada-ngada. Pasalnya, sebagai seorang perempuan, saya pun sempat mengalami hal serupa. Saat mengajukan kepada beberapa guru agar diadakan ekstrakurikuler futsal perempuan di sekolah, kami dihadapkan peraturan yang sepertinya mengada-ada. Telah dititahkan bahwa kami tidak boleh berlatih dengan pelatih yang sama dengan murid laki-laki lain sehingga kami harus mencari pelatih sendiri. Ekstrakurikuler itu tidak pernah dilaksanakan sampai kami lulus.
Sebenarnya, permainan sepak bola wanita sendiri telah hadir lebih dari satu abad lalu. Namun, tidak ada gegap gempita seluruh dunia bagi mereka seperti yang sering didapatkan oleh para pesepak bola pria setiap dihelatnya Piala Dunia atau Piala Eropa empat tahun sekali.
Liga sepak bola wanita Amerika Serikat (NWSL) pun juga hanya disiarkan di beberapa negara. Tidak ada pembahasan besar-besaran oleh media, tidak semua orang tahu tahu, mungkin tidak terlalu peduli juga. “Emang seru ya nonton cewek main bola?” Itulah kalimat yang justru dulu kerap saya dengar dari orang lain.
Untungnya, beberapa tahun terakhir ini, zaman mulai berubah. Tuntutan kesetaraan gender antara pria dan wanita yang semakin marak di berbagai belahan dunia membuat pelbagai perubahan di dunia sepak bola. Kini mulai banyak penonton sepak bola yang akrab dengan nama-nama seperti Alex Morgan, Hope Solo, atau Tobin Heath, para pesepak bola berkebangsaan Amerika Serikat yang sukses menjuarai Piala Dunia Wanita tahun 2015 lalu.
Tak hanya itu, Sian Massey-Ellis, seorang wasit wanita asal Inggris, sempat menghiasi headline berita olahraga atas perannya sebagai asisten wasit Liga Primer Inggris di pertandingan antara Sunderland dan Blackpool tahun 2010 lalu.
Di Indonesia pun tidak kalah. Deliana Fatmawati dan Tita Puspita Sari telah disahkan sebagai wasit wanita Indonesia berlisensi FIFA. Dengan berhasilnya mengantongi lisensi tersebut, Tita (futsal) dan Deliana dapat memimpin beragam pertandingan internasional di bawah FIFA.
Tentu fakta-fakta ini bak sebuah angin segar bagi kaum wanita kini. Sama seperti halnya cinta, sepak bola merupakan sesuatu yang universal. Sepak bola tidak melihat usia, status pekerjaan, strata sosial, ataupun gender. Tak menutup kemungkinan di masa depan akan bertambah banyak perempuan yang berkarya dalam ranah olahraga si kulit bundar ini, suatu masa di mana mereka tidak akan lagi ditanya: “Mengapa wanita suka sepak bola?”.
Author: Kezia Saroinsong (@Keppuccino)
Penulis dan penikmat cappuccino yang terus optimistis kalau Milan bisa punya presiden wanita dan kembali juara Liga Champions.