Segala puja-puji bagi skuat Sevilla arahan pelatih Jorge Sampaoli seolah menguap begitu saja. Dalam hitungan satu pekan, kekecewaan merambat ke dua kompetisi. Vicente Iborra dan kawan-kawan tertinggal dari persaingan juara Liga Spanyol serta tersingkir dari babak 16 besar Liga Champions. Ini merupakan antiklimaks dari semua kegairahan yang sudah terbangun selama delapan bulan terakhir.
Jorge Sampaoli adalah pelatih dengan reputasi besar. Gelar juara Copa America mewarnai karier gemilangnya dan ia menularkan mental juara itu sejak minggu pertama ia bergabung dengan Sevilla. Hingga pekan ke-25 kompetisi, Sevilla berada di posisi tiga klasemen dengan posisi puncak masih berada dalam jangkauan. Perjalanan menuju papan atas pun dihiasi catatan bergengsi, antara lain menumbangkan Real Madrid dan Atletico Madrid.
Di Liga Champions, Sevilla berhasil lolos ke 16 besar Liga Champions setelah memenangi persaingan atas Lyon di pertandingan terakhir. Sampaoli seolah menunjukkan kepada dunia bahwa Sevilla-nya ini jauh lebih ambisius dan bermental baja dibandingkan Sevilla arahan pelatih sebelumnya, yaitu Unai Emery.
Seperti kita ketahui bersama, Unai Emery memang sukses membawa Sevilla menjuarai Liga Europa tiga tahun berturut-turut. Namun, selama tiga tahun itu pula, Los Nervionenses belum sanggup juga bersaing di papan atas.
Ketika undian Liga Champions mempertemukan klub kesayangan mereka dengan Leicester City di babak 16 besar, para Sevillistas kegirangan. Sebagai pendatang baru di Liga Champions, Leicester memang salah satu kontestan terlemah di antara keenam belas klub yang berlaga. Riyad Mahrez dan kawan-kawan terdampar di papan bawah klasemen Liga Inggris, sedangkan Sevilla bersanding gagah dengan Barcelona dan Real Madrid di papan atas klasemen Liga Inggris.
Namun, sepak bola memang bukan hitung-hitungan di atas kertas. Permainan indah ini adalah perpaduan antara perjuangan penuh keringat di lapangan dan keberuntungan. Sevilla seharusnya sudah bisa menyudahi perlawanan Leicester, terutama setelah menang 2-1 di kandang sendiri, serta memperoleh dua hadiah penalti di dua pertandingan. Sayang, kedua penalti tersebut disia-siakan, seperti halnya para pemain Sevilla menyia-nyiakan peluang mereka berprestasi gemilang di Liga Champions.
Perjalanan Sevilla-nya Sampaoli mirip sebuah film yang seru di awal, tapi berakhir antiklimaks dengan akhir yang payah. Ironisnya, ini bertolak-belakang dengan musim pertama Sevilla-nya Emery.
Pada akhir musim 2013/2014, Emery sukses mempersembahkan trofi Liga Europa dan finis di posisi kelima La Liga. Prestasi itu cukup membanggakan, mengingat skuat Sevilla ketika itu lebih lemah usai ditinggal bintang-bintangnya.
Ketika pertama kali menangani Sevilla, Emery mengambil alih posisi Michel Gonzalez yang dipecat di tengah jalan. Skuat Sevilla pada saat itu tidak dalam keadaan stabil setelah ditinggal Alvaro Negredo dan Jesus Navas, yang pindah ke Manchester City. Selain itu, mereka juga ditinggalkan Gary Medel dan Geoffrey Kondogbia. Keraguan atas kapasitas Emery mulai tumbuh ketika Emery hanya sanggup membawa Sevilla finis di posisi 9 klasemen akhir La Liga 2012/2013.
Untungnya, di musim tersebut Sevilla memperoleh rezeki manis. UEFA menghukum pemangku posisi enam La Liga, Malaga, untuk tampil di Liga Europa musim 2013/2014. Jatah yang sedianya dioper ke peringkat 8, Rayo Vallecano, pun urung diberikan, akibat klub tersebut mengalami krisis keuangan. Sevilla pun berhak tampil di kualifikasi Liga Europa sebagai peringkat 9.
Berbeda dengan Liverpool yang pada saat itu terang-terangan menolak tampil di kualifikasi Liga Europa demi memburu pemasukan melalui tur ke ngara-negara Asia, Sevilla rela melewati fase ‘hina’ tersebut demi berlaga di fase grup kompetisi kasta kedua Eropa itu.
Berbagai klub antah berantah mereka lewati di kualifikasi, dari Mladost Podgorica (Montenegro) sampai Slask Wroclaw (Polandia). Di fase grup, mereka melewati Freiburg (Jerman), Estoril (Portugal) dan SLovan Liberec (Slowakia). Setelah melewati Maribor (Slovenia) di babak 32 besar, langkah mulus mereka baru memperoleh hadangan berarti ketika berhadapan dengan Real Betis di perdelapanfinal.
Seperti yang kita ketahui bersama, Sevilla dan Real Betis adalah rival sekota, layaknya AC Milan dan Inter Milan. Derbi keduanya yang berlangsung di kota mereka pasti dipadati minimal 30.000-an penonton. Maka, bayangkan jika itu terjadi di level Eropa. Lebih dari puluhan ribu penonton di stadion Benito Villamarin menjadi saksi takluknya Sevilla dengan skor 0-2 dari rival abadinya itu.
Dua minggu kemudian, publik Ramon Sanchez Pizjuan, stadion Sevilla, membalas dengan penuhnya kapasitas stadion. Dukungan militan itu terbayar lunas, tim kesayangan melakukan comeback manis. Skor 2-0 memaksa keadaan sama kuat dan adu penalti. Sevilla pun melenggang lewat adu penalti.
Lepas dari hadangan juara Portugal, FC Porto, di perempatfinal, mereka ditunggu sesama wakil La Liga di semifinal, yaitu Valencia. Pertandingan dramatis nan emosional kembali terjadi karena Emery lagi-lagi berhadapan dengan klub yang membesarkan namanya.
Kemenangan 2-0 di pertandingan pertama ternyata belum menjamin, karena Valencia justru mengamuk di pertandingan kedua. Ketinggalan 0-3 sempat membuat Ivan Rakitic dan kawan-kawan ketar-ketir, sebelum gol Stephane Mbia di detik-detik terakhir pertandingan membawa Sevilla ke final.
Tak satu pun kemenangan dilalui pasukan Emery dengan penampilan atraktif, bahkan mereka hanya menang lewat adu penalti melawan Benfica di partai final. Meski demikian, Emery yang di awal musim dihina-hina oleh para Sevillistas berbalik menjadi pahlawan di final Liga Europa. Setelah menjuarai Liga Europa dua edisi berikutnya, Emery pun melampaui prestasi Juande Ramos, pelatih yang sukses membawa Sevilla menjuarai Liga Europa dua kali, yaitu tahun 2006 dan 2007. Perjalanan Emery di klub Andalusia itu bagaikan sebuah film buruk yang jadi terasa bagus karena ending yang berkesan.
Meski demikian, rasanya tak adil juga menyamakan tantangan yang dihadapi Sampaoli dan Emery di Sevilla. Sampaoli gagah berani menghadapi kerasnya Liga Champions, sedangkan perjuangan Emery di Liga Europa lebih lunak. Yang jelas, para Sevillistas memang harus bersabar karena musim ini adalah transisi Emery ke Sampaoli.
Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.