Secara pribadi, Persib Bandung adalah Barcelona versi saya. Ia yang memiliki manajemen yang bekerja secara profesional dan mampu menjaga kesinambungan timnya dengan baik. Walau terdengar klise, hal seperti ini tergolong langka di sepak bola Indonesia.
Takdir membimbing saya menjadi suporter Arsenal yang pelik dan menyedihkan, tapi Persib Bandung mengubah peruntungan saya untuk setidaknya punya sesuatu yang bisa dibanggakan sebagai suporter sepak bola. Sederhananya, tim kebanggaan masyarakat Jawa Barat ini menawarkan apa yang alpa ditawarkan Arsenal dalam satu dekade terakhir: Merayakan euforia juara liga.
Saya tidak terlahir sebagai suporter Persib Bandung, tapi perkenalan pertama saya dengan sepak bola nasional, dimulai dari tim ini. Saya bukan pengepul sejarah yang baik, yang bisa mendongeng kisah Aang Witarsa atau bercerita perihal kehebatan Robby Darwis dengan runtut ke kamu, tapi kalau kamu tanya kenapa tim ini spesial, saya bisa jabarkan alasannya.
Seperti laiknya tim besar Eropa, semisal Barcelona dan Bayern Munchen, Persib kaya dengan tradisi. Tradisi mungkin hal sepele bagi sepak bola modern, tapi dari Barcelona saja misalnya, kamu akan memahami bahwa tradisi adalah identitas yang akan selalu menyertai perjalanan hidup suatu tim sepak bola.
Tradisi itu terwarisi dari dongeng kehebatan Aang Witarsa, Indra Thohir, Adjat Sudarajat, Robby Darwis hingga pelatih Persib saat ini, Djajang Nurdjaman. Tradisi putra daerah Jawa Barat yang tak hanya hebat kala berseragam biru khas Maung Bandung, namun juga tersohor kala berbaju merah putih khas timnas Indonesia.
Trofi akan membuat timmu berjaya dan terkenal, tapi tradisi, akan membuat timmu abadi. Dan dengan menjadi abadi, waktu bukan lagi sesuatu yang perlu kamu takutkan bahwa tim sepak bola pujaanmu kelak akan hilang ditelan zaman. Di tengah maraknya upaya membeli lisensi klub seperti yang dilakukan Polri dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di kancah sepak bola kita, bukankah sebuah keistimewaan tersendiri jika kamu menemukan dirimu mencintai sebuah klub yang eksistensinya tak akan lekang oleh zaman?
Menjadi suporter Persib, bagi salah satu suporter Arsenal seperti saya, juga menawarkan rasa bangga menjadi pendukung sebuah tim besar yang selalu punya kehormatan untuk bisa dipegang teguh sebagai bukti eksistensi yang membanggakan. Kamu tentu tahu seberapa menyedihkannya menjadi suporter Arsenal belakangan ini, bukan?
Di titik itulah Persib menghadirkan sesuatu yang saya sulit menjelaskannya dengan kalimat ringkas, tapi jika kamu rasakan, sebagai Bobotoh, kamu akan paham perasaan bangga itu. Perasaan yang terwakili lewat liukan cadas Lord kita semua, Atep Rizal, lewat kaki-kaki kokoh Hariono, lewat lari kencang nan licin Febri Haryadi sampai ketampanan yang hakiki khas Makan Konate.
Bagi saya, meminjam slogan populer Barcelona, mes que un club, Persib ada di titik itu. Ia lebih dari hanya sekadar klub. Ia mewakili perasaan sentimentil saya tiap kali mengenang Bandung. Maka dari itu pula, Persib Bandung, lebih dari sekadar klub sepak bola. Di tengah dunia global yang sedemikian luas dan modern, menemukan dirimu menjadi suporter suatu klub sepak bola lokal sebagai identitas sejatimu adalah kemewahan tersendiri. Itu tidak ternilai harganya. Lewat Persib, saya menemukan kearifan lokal khas tanah Pasundan yang unik, kulinernya yang pedas nan gurih, yang semua itu mewakili beberapa keyakinan yang saya pegang teguh dalam hidup.
Saya rasa, memang seperti itulah harusnya kamu menyukai satu tim sepak bola. Bukan semata dari deretan trofinya yang banyak atau dari kehebatan dongeng-dongeng masa lalunya belaka, tapi kamu juga setidaknya mampu menemukan dirimu menjadi bagian dari tim itu secara tradisi dan prinsip hidup. Terdengar hiperbolis memang, tapi di tengah himpitan globalisasi dan tekanan arus modernisasi zaman yang semakin gila dan bergegas, memiliki identitas sejatimu sebagai manusia adalah kemewahan yang tidak layak kamu tukar dengan materi sebanyak apapun.
Dan saya, setidaknya sejak 2006 hingga saat ini, menemukan itu di Persib Bandung, yang hari ini, 14 Maret 2017, berulang tahun yang ke-84. Usia yang cukup tua, yang menunjukkan bahwa tim ini memiliki catatan historis tersendiri yang cukup layak membuatnya menjadi salah satu tim klasik yang paling disegani di tanah air.
Wilujeng milangkala, Sib!
Isidorus Rio – Editor Football Tribe Indonesia