Suara Pembaca Turun Minum

Menyoal Minoritas di Sepak Bola

Dewasa ini, dengan semakin banyaknya kesebelasan-kesebelasan Eropa yang besar akibat mendunianya industri sepak bola yang mengutamakan uang, telah berbanding lurus dengan kehadiran suporter yang berdecak kagum akan permainan menawan yang dilakukan para pemain bintang.

Yang dimaksud kehadiran suporter di sini tentu saja suporter layar kaca di Indonesia, yang hanya bisa menikmati pertandingan di televisi, dan tak jarang rela menghabiskan kuota internet mereka lewat layanan streaming yang tersebar di dunia maya.

Prestasi dan gelimangan uang yang diraih PSG, Manchester City, Real Madrid, Barcelona, Chelsea, atau yang belakangan muncul, RB Leipzig yang menggoyang hegemoni Bayern Munchen dan Borussia Dortmund di Bundesliga, sudah memunculkan banyak orang Indonesia yang tadinya baru mengenal sepak bola langsung mendapuk diri sebagai suporter klub-klub terebut.

Menjadi suatu hal yang biasa memang jika prestasi, juga uang mendatangkan rasa cinta, sekalipun sebelumnya tim yang ia bela bukanlah apa-apa. Seperti para wanita cantik yang memilih pria berparas pas-pasan tapi memiliki miliaran rupiah dalam genggaman.

Di balik kebiasaan suporter sepak bola di atas, satu fakta yang harus kita amini bersama adalah, di mana ada mayoritas di situ ada minoritas yang selalu mencuri perhatian. Minoritas, atau yang kini orang-orang nyaman menyebutnya sebagai hipster, muncul di antara menjamurnya suporter klub besar Eropa. Mereka berani melawan arus, dan mungkin melawan malu kala harus mencintai tim yang tidak kaya, tidak punya piala, pemain seadanya, dan tanpa sejarah yang bisa dibanggakan.

Munculnya basis pendukung semisal IndoTorino (suporter Torino), IndoBordeaux (suporter Bordeaux), IndoChievo (suporter Chievo Verona), IndoLeeds (suporter Leeds United), IndoMalaga (suporter Malaga) menjadi oase tersendiri dibalik gemerlapnya fanatisme pencinta sepak bola Indonesia yang membanggakan raihan gelar dan uang klub idolanya. Bahkan, baru-baru ini saya melihat secara tak sengaja keberadaan basis suporter CSKA Moskow di linimasa Twitter saya.

Kehadiran suporter CSKA Moskow di Indonesia tentu berbeda rasanya jika dibanding empat fans klub di atas, mengingat tidak ada satu pun televisi lokal dan berbayar yang menayangkan Liga Rusia. Tapi orang-orang ini, mereka rela membayar lebih untuk memenuhi kuota internet agar dapat menyaksikan tim kesayangan berlaga.

Di kancah sepak bola Rusia, CSKA memang bukan klub sembarangan, mereka merupakan salah satu klub besar daratan Eropa Timur berpredikat peraih gelar terbanyak di negeri Vladimir Putin tersebut. Masalahnya, di Indonesia, mungkin juga di banyak negara, tidak ada yang rela menyaksikan Liga Rusia yang lebih banyak diselimuti salju, ketimbang dihujani gol-gol dari pemain berkelas, sehingga membuat keberadaan basis suporternya di Indonesia terasa sangat spesial. Setidaknya, bagi saya.

Nyatanya, mencintai kesebelasan yang biasa-biasa saja tak membuat nyali mereka ciut, suporter Torino Indonesia misalnya, mereka bahkan sempat adu argumen di dunia maya dengan suporter Juventus yang selalu membanding-bandingkan gelar yang mereka miliki. Sebuah kebanggaan dari oknum Juventini yang tidak tepat sasaran saya kira.

Tidak ada trofi, tidak ada pemain bintang, membuat pendukung-pendukung ini menjadi kelompok manusia paling realistis dalam segala urusan sepak bola. Tanpa target yang muluk, mereka hanya ingin melihat tim yang dibela memberikan yang terbaik untuk mereka. Menang tentu akan menghasilkan kesenangan tidak terkira, dan ketika kalah, itu bukanlah sesuatu yang harus disesalkan. Mereka akan tetap mendukung klub seperti biasa, tanpa tedeng aling-aling.

Dan tentu saja, di atas itu semua, topi harus kita angkat setinggi-tingginya bagi Parmagiani Indonesia (basis suporter Parma) yang tetap teguh mendukung tim kesayangannya yang bangkrut dan harus memulai lagi laga perdana dengan menyandang nama baru, tak hanya itu, mereka juga terpaksa menjadi penghuni Serie D, sebuah kompetisi paling bawah dalam piramida sepak bola Italia.

Dengan segala kehancuran yang telah diderita, AC Parma, atau kini menjadi Parma Calcio, akan tetap bangga karena memiliki suporter berjarak jutaan mil yang tetap setia, yang orang lain belum tentu sanggup melakukannya.

Tentu bukan hanya tim-tim medioker di atas yang memiliki basis pendukung di Indonesia. Masih ada beberapa orang Indonesia yang bangga mengaku minoritas karena mengidolai tim antah berantah dengan beberapa alasan yang mungkin sukar diterima akal sehat.

Seperti salah satu penulis Football Tribe, Alicia Altamira, yang mengidolai klub Jerman, SC Freiburg. Atau sebagaimana saya yang sedang mendalami pengetahuan tentang klub 2. Bundeliga, St Pauli dan Segunda Division, Rayo Vallecano.

Seperti halnya kaum hipster di dunia mode yang rela merogoh kocek lebih dalam demi memaksimalkan hasratnya, para hipster (minoritas) di sepak bola juga rela mengeluarkan dana lebih dan mengupayakan segala cara demi hasrat besarnya yang ingin melihat pertandingan klub kesayangan.

Sebagaimana cinta sesama manusia yang tekadang di luar logika, cinta mereka pada sepak bola telah mengajarkan kita arti kesetiaan sesungguhnya. Ya, dari mereka, bukan dari suporter yang timnya selama 28 tahun bertahan tanpa piala. Tanpa mengharap gelar, memandang kasta, dan pemain bintang, bagi mereka, sepak bola telah menyatu dalam jiwa dan bersemayam di dalamnya.

Author: Wanda Syafii (@wandasyafii)
Kopites yang masih percaya timnya akan juara liga walau entah kapan. Sering bikin gaduh di wandasyafii.com