Saya mengamini kalau kamu menyebut Claudio Ranieri sebagai pecundang. Sebelum kisah surealisnya musim lalu di Inggris, saya ada di barisan mereka-mereka yang sangsi dengan beliau. Bagaimana mungkin, pelatih yang bahkan melawan timnas Kepulauan Faroe saja kalah, bisa dibebankan tugas menangani tim medioker yang setahun sebelumnya susah payah bertahan di divisi teratas Liga Inggris?
Tapi, kamu, juga saya, diberi jawaban lunasnya musim lalu. 2015/2016 adalah titik balik karier Ranieri. Ia menjawab semua kritikan yang dulu pernah dialamatkan padanya. Ia membungkam Jose Mourinho dan Chelsea dua gol tanpa balas dan mengantarkan pria Setubal itu ke pemecatan beberapa hari setelah kekalahan itu.
Hutang atas sebutan ‘pecundang’ yang dialamatkan Jose padanya tahun 2004 lalu, lunas sudah. Apakah Ranieri puas? Puas untuk kemenangan, tentu saja. Tapi ia tidak menyimpan dendam. Ranieri hanya bilang, ini hanya satu kemenangan dan berbuah tiga angka, tidak ada dendam untuk Jose, Chelsea atau Roman Abramovich.
Dan cerita selanjutnya, adalah sejarah. Leicester City menjuarai Liga Primer Inggris dengan selisih sepuluh angka dari peringkat dua, Arsenal. Ini fakta mutlak. Ini bukan mimpi. Ini adalah hasil kerja nyata. Tidak ada janji, tidak ada harapan, dan voila, Leicester dan Ranieri juara Liga Inggris musim 2015/2016. Di titik ini, kamu harus percaya: Orang-orang kaya pemilik klub itu tidak akan bisa memecat sejarah.
Mengkritik pemecatan Ranieri
Pemecatan Ranieri adalah satu hal, tapi sikap manajemen dan chairman Leicester di balik pemecatan itu, adalah hal lain. Untuk takaran seorang pelatih yang membawa tim kecil mampu juara setelah musim sebelumnya selamat dari degradasi, capaian Ranieri adalah fenomenal. Di atas fenomenal, bahkan. Di rimba Britania yang keras dan bebal, taktik khas Italia-nya dengan 4-4-2 dan kekompakan tim yang baik membawa hasil positif.
Manajemen seakan tutup mata bahwa hasil musim lalu hanya memori belaka. Tidak, kawan-kawan, kalian salah besar! Hasil musim lalu akan selamanya diingat masyarakat sepak bola dunia sebagai kisah dongeng paling luar biasa yang terjadi dalam satu dekade terakhir, dan menilik respon publik yang bersimpati kepada Ranieri, kita harus sepakat satu hal: Sepak bola modern ini memang bajingan.
Zaman menuntut hasil, dan Ranieri memberikan hasil. Zaman menuntut trofi, dan Ranieri memberinya trofi. Zaman menuntut gengsi dan Ranieri memberi Leicester City satu tempat di Liga Champions Eropa, liga para jawara. Seumur saya hidup, hanya angan gila dan pikiran sinting yang bisa membawa saya berani membayangkan Leicester City bisa mentas di Liga Champions Eropa bahkan kini, menapak hingga babak 16 besar.
Secara taktikal, Ranieri boleh dibilang gagal mereplikasi bentuk permainan terbaik Leicester musim lalu hingga terperosok dan hanya berjarak satu angka saja dari zona merah degradasi. Dan secara objektif, ia bisa diklaim gagal menangani ego para pemainnya seperti Riyad Mahrez dan Jamie Vardy yang meningkat usai hasil luar biasa musim lalu. Tapi untuk menganggap dua hal itu sebagai alasan pemecatan Ranieri, saya tidak bisa membayangkan sesakit apa otak manajemen Leicester City.
Dosa Ranieri musim ini
Eks pelatih Valencia ini memang tidak sepenuhnya tanpa dosa. Melepas N’Golo Kante dan mencadangkan Shinji Okazaki adalah blunder terbesarnya musim ini. Kepergian Kante sebenarnya wajar. Ia masih muda, walau termasuk pria pemalu, Kante bukan sosok yang tak ambisius. Ia tentu ingin main di klub besar. Kepergiannya ke Chelsea tidak mampu dihalangi apapun, kendati tim London itu tak menawarkan apa yang Leicester punya: Kesempatan main di Liga Champions.
Ranieri alpa bahwa mengganti mesin terbaik permainannya musim lalu, tidak semudah mengisi bensin kendaraan yang habis. Mesin adalah komponen utama dan menggantinya perlu pertimbangan yang baik dan keputusan yang tepat.
Itu yang kemudian menjadi kesalahannya. Nampalys Mendy dan Wilfred Ndidi tak memberi proteksi sebaik Kante. Dan mereka berdua, tak memberi kenyamanan dan ketenangan bagi Danny Drinkwater atau Andy King seperti yang Kante berikan.
Kesalahan kedua Tinkerman, julukan Ranieri, dan ini adalah yang cukup fatal: mencadangkan Shinji Okazaki. Penyerang asal Jepang ini adalah kunci kenapa Vardy mampu mendulang banyak gol dan membuka jalannya dari eks pekerja pabrik menjadi penyerang tim nasional Inggris di Piala Eropa 2016.
Islam Slimani dan Ahmed Musa tidak memberi garansi taktikal seperti yang Okazaki berikan. Peran defensive forward yang Okazaki perankan musim lalu, tidak mudah direplikasi pelari cepat macam Musa atau seorang poacher murni seperti Slimani.
Dua itu adalah blunder Ranieri, menurut saya. Tapi pembelian pemain adalah hal wajar. Ranieri paham bahwa timnya akan main di Eropa dan pemain yang mereka datangkan, memang untuk menyuntikkan pengalaman bertanding di Eropa bagi pria-pria macam Vardy dan Mahrez yang seumur hidupnya hanya berkutat di liga domestik.
***
Apapun itu, pemecatan Ranieri adalah sebuah contoh nyata yang benar-benar menunjukkan bagaimana sepak bola dijalankan zaman ini. Sepak bola masih dan akan selalu hebat, tapi ia mulai kabur dan luput dalam menghargai dan mengapresiasi seorang manusia. Ia mulai lupa cara memanusiakan manusia.
Selain itu, mengkritik mentalitas pemain Leicester yang turun drastis musim ini adalah kesalahan. Tidak ada yang salah jika mentalitas medioker mereka kembali muncul. Karena memang habitat Leicester sejatinya adalah papan bawah dan Ranieri tahu betul hal itu. Pertanyaan soal mentalitas itu harusnya untuk musim lalu: Kerasukan apa anak asuh Ranieri hingga mereka bisa menjuarai liga dengan selisih poin teramat besar?
Dengan segala pencapaian hebatnya dan sejarah emas yang ia goreskan di Leicester musim lalu, Claudio Ranieri bukan lagi seorang pecundang. Ia adalah juara sejati. Ia akan menjadi lebih besar dari Leicester City mengingat pemecatan ini menunjukkan satu hal, bahwa klub tidak mau menghormatinya sebagai figur penting yang krusial.
Ranieri adalah orang baik dan Tuhan bersama orang-orang baik. Kalau di akhirat nanti Anda tak menemui Ranieri di surga, kita semua sangat berhak untuk mempertanyakan Tuhan atas kepastian mutlak yang sering dijanjikan-Nya di kitab-kitab suci: Bahwa orang baik, pasti masuk surga.
Isidorus Rio – Editor Football Tribe Indoensia