“Siapa yang bilang saya dipanggil Ahok? Itu hanya candaan saja tapi saya tidak mempermasalahkannya,” kata Sutanto Tan seperti dikutip dari Tribunnews.com (12/10/2016).
Pemain Persija Jakarta tersebut menanggapi candaan teman-temannya dengan santai, menganggapnya sebagai wujud keakraban antarpemain. Meski begitu, kita tahu, kata “Ahok” selalu disertai dengan sentimen negatif karena hawa panas perpolitikkan belakangan ini. Akhirnya kata-kata seperti “Cina”, “aseng”, atau “kafir” turut hadir dalam keruhnya persaingan politik di Jakarta (lantas meruyak ke skala nasional).
Meski masih belum juga mengalami perkembangan signifikan, sepak bola Indonesia pasca-Reformasi menghadirkan suatu fenomena yang sempat menghilang, yakni munculnya pemain-pemain yang beretnis Cina. Selain Sutanto, kita juga mengenal nama-nama seperti Kim Jeffry Kurniawan atau Nova Arianto. Nama terakhir juga sempat dipercaya menjadi tulang punggung pertahanan tim nasional Indonesia.
Jauh sebelum kita merdeka, para pesepakbola Melayu, Arab dan Cina bahu-membahu mengalahkan Belanda di atas lapangan hijau. Seperti yang dituturkan Darmanto Simaepa dalam “Tiga Kisah Asosiasi #2”, nasionalisme menemukan gaungnya di lapangan hijau. Tokoh-tokoh pergerakan akhirnya menjadikan sepak bola sebagai arena perjuangan kultural.
Belanda, lewat NIVU (Nederlandsch Indische Voetbal Unie) mengetahui bahwa Indonesia telah memiliki asosiasi sepak bola, lalu berusaha memupus perjuangan kultural tersebut. Saat NIVB menyelenggarakan kompetisi sepak bola, golongan pribumi, Cina dan Arab melawannya dengan menghelat laga tandingan yang mempertemukan tim pribusi melawan tim Arab dan Cina.
Akhirnya, kompetisi NIVU menjadi sepi dan mereka kehilangan pemasukan sebesar 20 ribu gulden. Peristiwa tersebut terjadi pada 13 Mei 1932.
***
Colin Kaepernick, quarterback klub NFL San Francisco 49ers membuat geger. Ia menghasilkan gelombang protes sosial yang dilakukan di arena olahraga.
NFL (National Football League) memiliki tradisi menyanyikan lagu kebangsaan Amerika Serikat “The Star-Spangled Banner” sebelum laga dimulai. Seperti dalam sepak bola internasional, pemain diharapkan untuk berdiri dengan sikap hormat saat lagu berkumandang. Itu yang tidak dilakukan Kaepernick.
Ia memilih duduk di laga pramusim tahun lalu, dan ia lakukan sebanyak tiga kali (14, 20, dan 26 Agustus 2016). Di pertandingan ketiga itulah ia akhirnya menjadi pusat perhatian nasional.
Kaepernick melakukannya karena gelisah dengan brutalitas aparat polisi AS terhadap warga kulit hitam. Kita menyaksikan sendiri bagaimana polisi AS memperlakukan warga kulit hitam yang mereka curigai melakukan tindakan kriminal. Prasangka membuat aparat bertindak melampaui batas dan merenggut banyak nyawa warga kulit hitam. Ini pula yang memicu gerakan Black Lives Matter.
Sontak aksi Kaepernick tersebut mendapat reaksi pro dan kontra. Ia menggugat nasionalisme semu yang ada dalam seremoni pemutaran lagu kebangsaan, karena nasionalisme kerap memihak kepada warga kulit putih.
Gelombang protes menyebar hingga ke kompetisi American Football lintas level. Sama seperti Kaepernick, mereka juga menggugat ketidakadilan yang selama ini terus terjadi karena pembiaran.
Jika para atlet AS bisa menyuarakan aspirasinya, hal yang sama sulit terjadi di Indonesia. Zen R.S. dengan sangat baik memaparkannya dalam “Kita Berutang pada Bulu Tangkis” yang dimuat Tirto.id.
Susi Susanti, atlet pertama yang berhasil menyumbang emas bagi Indonesia di ajang Olimpiade, mengalami betul diskriminasi rasial yang ia alami. Baru enam tahun sejak tangisan bersejarah itu (Olimpiade Barcelona 1992), Susi mendapat perlakuan buruk saat kewarganegaraaannya diragukan saat huru-hara 1998 meledak.
Dengan ini, kita secara kolektif telah berlaku tidak adil terhadap sesama. Seorang Cina Indonesia dielu-elukan saat mereka memberikan kejayaan. Tetapi semua itu bisa hilang jika huru-hara politik kembali terjadi.
***
Narasi yang berkembang di tengah-tengah hawa politik ibu kota kembali membangkitkan hantu itu: sentimen terhadap etnis Cina.
Cina, lewat Ahok, dibayangkan sedang berusaha mencengkeram Indonesia, lantas mengalirlah berita-berita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara jurnalistik. Salah satunya mengaitkan Cina Indonesia dengan kebangkitan PKI.
Anda mungkin sama seperti saya, jenuh dengan liarnya prasangka yang disebar lewat grup-grup WhatsApp atau saluran komunikasi lain. Belum lagi jika kita perhitungkan kebencian yang melebar ke ruang-ruang publik lain.
Masyarakat gagal untuk berpikir secara jernih, lantas menganggap orang-orang Cina sebagai yang lain, para liyan (the other). Mereka lupa bahwa sebagian besar warga Cina Indonesia lahir, besar, dan menghirup udara yang sama dengan kita.
Kita juga belum bisa membedakan antara Cina sebagai bangsa dengan Cina sebagai negara. Jika saja kita rajin membaca (setidaknya berita-berita di koran), kita akan paham bahwa Cina (negara) tengah menjadi kekuatan besar geopolitik kontemporer. Mereka adalah negara yang telah beranjak meninggalkan komunisme dan memeluk kapitalisme-negara (state-capitalism), sehingga ekspansi mereka di pasar internasional adalah suatu hal yang niscaya.
Sementara itu, teman-teman kita warga Cina Indonesia bukanlah bagian dari Cina bangsa ataupun Cina negara. Sipitnya mata serta kuningnya kulit adalah sesuatu yang tidak mungkin mereka ubah.
Saya pernah mendengar bahwa yang terjadi di Indonesia bukanlah rasisme struktural, melainkan sentimen rasial. Saya rasa, tidak akan ada sentimen rasial jika rasisme struktural tidak menggejala. Orang-orang Cina Indonesia menjadi suatu entitas yang kita pahami (sebagai “yang lain”, “borjuis”, “nonpribumi”) karena bentuk diskriminasi yang berasal dari kebijakan pemerintah lintas zaman.
Seperti yang sudah banyak diberitakan, sepak bola Indonesia pernah dengan gagah menahan Uni Soviet di Olimpiade Melbourne 1956. Timnas yang dipimpin legenda Sulawesi, Ramang, juga diperkuat nama-nama Cina seperti Kwee Kiat Sek, Sian Liong Phwa, Tjiang Thio Him, dan Tan Liong Houw. Nama terakhir bahkan sampai mendapat julukan “Macan Betawi” karena menjadi pujaan Persija Jakarta.
Atlet-atlet berdarah Cina akhirnya tak lagi menjadi andalan tim Garuda sejak Tragedi 1965. Kudeta senyap Soeharto itu telah membuat orang-orang Cina dicurigai sebagai anggota (atau minimal simpatisan) Partai Komunis Indonesia.
Sebelumnya, di era Soekarno, diskriminasi juga telah terjadi dan menimbulkan gejolak sosial yang sampai merenggut korban jiwa. Pramoedya Ananta Toer merekam keganasan pemerintah dan militer saat itu di bukunya yang masyhur, Hoakiau di Indonesia.
Inilah yang menciptakan suatu segregasi sosial. Cina tidak boleh menempati posisi-posisi publik. Praktis, satu-satunya cara bagi mereka untuk mempertahankan hidup adalah lewat berdagang. Karena mereka memiliki jaringan yang kuat (guanxi), usaha dagang mereka dapat bertahan dan cenderung mengalami kesuksesan.
Meski demikian, hak-hak mereka seperti kebebasan memeluk agama, dilarang rezim. Mereka hanya boleh menganut salah satu agama resmi pemerintah. Ketidakmampuan memahami sejarah inilah yang kemudian membuat rasisme struktural terus mengancam kita, termasuk di bidang olahraga.
Dalam Komunitas Cina di Medan dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960 (2012), Nasrul Hamdani berusaha menerangkan penyakit ini:
“(…) permainan politik membuat orang Cina dan usaha perdagangannya tampak seperti borjuasi dagang dengan ciri kehidupan yang jauh lebih sejahtera dibanding kehidupan bumiputera. Situasi ini menumbuhsuburkan prasangka, stigma, stereotip yang berkembang lebih dulu, sebagai hasil diidentifikasi dan mengidentifikasi.”
Bila Anda memperhatikan,di Instagram ungkapan ‘koh’ sering disebut penggemar Persija kepada Sutanto Tan. Sepak bola telah sedikit melonggarkan ketegangan yang ada, tapi sampai kapan?
Ahok (bersama calon wakilnya, Djarot Saiful Hidayat) dipastikan melenggang ke putaran kedua Pilkada Jakarta, kebencian tanpa dasar akhirnya kembali beredar. Orang-orang kembali gagal memandang Ahok sebagai elite, bukan sebagai Cina. Isu yang bergulir akhirnya menggaungkan kembali bibit-bibit permusuhan terhadap sesama saudara yang telah sekian kali menimbulkan korban jiwa.
Di arena politik atau olahraga, Cina atau pribumi sama saja: kita harus membuka mata dan berpikir objektif terkait prestasi yang diperbuat seseorang. Toh meski diskriminatif terhadap mereka, Soeharto justru memelihara pengusaha-pengusaha beretnis Cina seperti Liem Sioe Liong atau Bob Sadino.
Manusia memang kerap plin-plan. Sikap kontradiktif Pak Harto ini juga dilakukan seorang fasis yang lain, Adolf Hitler. Menggaungkan ide kemurnian ras Arya dan menganggap sampah orang-orang Yahudi, padahal nyatanya, di tubuh militer Jerman pada Perang Dunia ke-2 kala itu justru diperkuat 150 ribu personil berdarah Yahudi.
Jika sesuatu bisa melanggengkan kepentingannya, elite memang kerap bermuka dua. Mari berharap agar sepak bola Indonesia terus melahirkan Sutanto Tan yang lain, sembari menunggu apakah olahraga ini bisa menjadi wahana protes sosial seperti yang telah dilakukan Kaepernick.
Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com