Di dunia sepak bola yang keras, tak banyak pesepak bola yang sanggup mengenakan satu seragam klub yang sama di sepanjang kariernya. Baik itu klub yang diperkuatnya sejak belia ataupun tidak. Terlebih di era modern seperti sekarang yang begitu kental dengan aroma kapitalisme, menjadi pemain setia adalah perkara yang amat sulit dilakukan.
Akan tetapi hal tersebut tak berlaku sama sekali bagi sosok kelahiran Livorno, 39 tahun silam, Alessandro Lucarelli. Namanya jelas kalah tenar dengan pesepak bola top Italia yang jarang berganti kostum seperti Gianluigi Buffon atau bahkan bahkan tak sekalipun berpindah klub macam Francesco Totti.
Adik dari mantan penyerang yang jadi top skor Serie A musim 2004/2005, Cristiano Lucarelli, ini juga tak sekalipun mencicipi istimewanya memakai seragam tim nasional Italia. Tapi bila berbicara perihal kesetiaan, jangan pernah memandang sebelah mata sosok yang satu ini. Darinya kita bisa menyelami dalam-dalam arti kesetiaan.
Di musim panas 2008 itu, Lucarelli sepakat hijrah ke stadion Ennio Tardini, markas Parma, dari klub asal kota pelabuhan, Genoa, dengan biaya transfer 1,2 juta euro. Beberapa kalangan menanyakan keputusan Lucarelli saat itu lantaran lebih memilih bergabung dengan Parma yang tengah mentas di Serie B ketimbang bertahan bareng Genoa di Serie A.
Apalagi di musim sebelumnya, Lucarelli juga menjadi bagian integral di lini pertahanan I Grifoni asuhan Gian Piero Gasperini saat berhasil finis di posisi ke-10 klasemen akhir Serie A musim 2007/2008.
Namun tekad bulat Lucarelli untuk pindah ke Parma dan bermain bersama saudaranya yang kebetulan sudah setengah musim berseragam I Gialloblu memang tak bisa diganggu-gugat. Dan sejak saat itu pula, Tuhan seolah menyiapkan sebuah takdir yang membuat Lucarelli dan Parma bak sepasang kekasih yang tak bisa dipisahkan oleh kondisi sesulit apapun.
Lucarelli jadi kepingan penting kesuksesan I Gialloblu mereguk tiket promosi ke Serie A di musim 2008/2009 usai finis sebagai runner up Serie B, di bawah Bari yang menjadi kampiun.
Walau digerogoti usia yang terus menua, peran sentral Lucarelli buat Parma seolah tak tergantikan. Keberhasilan I Gialloblu bertahan di Serie A sejak musim 2009/2010 hingga 2013/2014 tak bisa dilepaskan darinya.
Bahkan di musim 2013/2014, Parma sukses finis di peringkat keenam, posisi tertinggi mereka sejak naik kasta, serta berhak mendapat tiket ke Liga Europa. Sayangnya, utang klub yang menggunung membuat Lucarelli dan kawan-kawan gagal mendapat lisensi dari asosiasi sepak bola Eropa (UEFA) untuk pasang aksi di kompetisi kelas dua itu. Posisi mereka kemudian digantikan oleh Torino yang finis satu tingkat di bawah I Gialloblu.
Ujian terbesar dalam karier sepak bola Lucarelli dirasakan pada musim 2014/2015. Meski bermain di Serie A, kondisi finansial klub yang dibelanya sungguh-sungguh memprihatinkan. Semua pemain di skuat Parma saat itu bahkan sempat merasakan sesuatu yang lebih lazim diderita pesepak bola di Indonesia: tidak gajian berbulan-bulan!
Situasi carut-marut macam itu membuat kondisi psikologi para pemain juga terganggu. Maka tak perlu heran jika Parma kerap jadi bulan-bulanan kesebelasan lain. Bahkan sampai paruh musim Serie A 2014/2015 (sebelum libur Natal), I Gialloblu hanya mampu mendulang tujuh poin hasil dari dua kemenangan dan satu kali imbang serta terhempas di dasar klasemen.
Saat para penggawa lain mulai merasa gerah dan ingin hijrah, Lucarelli justru bersumpah setia tak akan meninggalkan stadion Ennio Tardini. Bahkan saat Parma resmi terdegradasi setelah finis di peringkat buncit dan dinyatakan pailit oleh badan administrasi, Lucarelli tak tergiur untuk mengganti seragam Parma dengan yang lain.
Status pailit itu sendiri akhirnya ‘mematikan’ status Parma sebelum kemudian dibentuklah sebuah tim baru yang juga bernama Parma serta berhak mengklaim seluruh titel yang pernah digapai I Gialloblu. Namun, Parma yang baru ini dan Lucarelli sebagai satu-satunya pemain yang dimiliki saat itu, mesti memulai perjuangannya di konstelasi sepak bola Italia dari kasta terendah, Serie D.
Pada pertengahan 2000-an silam, beberapa bintang yang dimiliki klub raksasa Italia, Juventus, semisal Buffon, Alessandro Del Piero dan David Trezeguet memilih untuk bertahan bersama La Vecchia Signora walau saat itu mereka harus bermain di Serie B sebagai akibat dari skandal Calciopoli.
Padahal, beberapa rekan mereka banyak yang memilih untuk hengkang seperti Fabio Cannavaro (menuju Real Madrid), Zlatan Ibrahimovic dan Patrick Vieira (Internazionale Milano) serta Lilian Thuram dan Gianluca Zambrotta (Barcelona).
Namun situasi yang dialami Buffon, Del Piero dan Trezeguet kala itu tentu jauh lebih ‘ringan’ ketimbang yang Lucarelli alami sendiri dengan Parma. Meski berada di Serie B, Juventus tak sekalipun menunggak gaji ketiga bintangnya tersebut.
Masih dengan jabatan kapten yang diembannya sejak tahun 2013, Lucarelli memimpin rekan-rekan anyarnya untuk berjuang semaksimal mungkin di Serie D musim 2015/2016 demi membangkitkan I Gialloblu.
Parma sendiri berhasil keluar sebagai juara grup D di musim itu (Serie D memiliki ratusan peserta yang kemudian dibagi ke dalam sembilan grup) sekaligus memperoleh jatah promosi otomatis ke Lega Pro (dulu Serie C).
Dan di musim 2016/2017 ini, Parma yang ada di Lega Pro grup B (seperti Serie D, Lega Pro juga memiliki banyak peserta yang kemudian dibagi-bagi ke dalam beberapa grup), tengah bercokol di posisi dua klasemen sementara dan tertinggal tiga angka dari rivalnya, Venezia. Kans I Gialloblu untuk lolos otomatis (hanya dengan keluar sebagai juara grup) maupun ikut play-off promosi ke Serie B jelas terbuka lebar.
Dengan serangkaian cerita yang penuh rintangan tersebut, pelan-pelan Lucarelli telah mematri namanya sebagai legenda I Gialloblu, setara dengan Antonio Bennarivo, Enrico Chiesa, Hernan Crespo dan Lorenzo Minotti. Kesetiaan Lucarelli bagi klub yang kini ditukangi oleh Roberto D’Aversa ini sungguh tak ternilai. Lucarelli adalah Parma dan Parma adalah Lucarelli.
Sampai akhirnya pada akhir pekan kemarin (19/2), Lucarelli yang rambut dan brewoknya semakin banyak ditumbuhi uban merayakan penampilan ke-300 berkostum Parma. Sebuah milestone nan berkelas dan heroik.
Lo striscione in Curva Nord dei Boys Parma 1977 per Cap @criale1991 “300 volte grazie Capitano!!!” #300Lucarelli pic.twitter.com/GmKP1Taa8Q
— Parma Calcio 1913 (@1913parmacalcio) February 19, 2017
Lucarelli sendiri tercatat sebagai satu-satunya pemain profesional di Italia yang berhasil menceploskan gol di empat divisi teratas kancah sepak bola Italia, yakni Serie A, Serie B, Lega Pro dan Serie D.
Berdasarkan data yang dihimpun dari transfermarkt.co.uk., kontrak Lucarelli bersama Parma akan habis di penghujung musim 2016/2017 ini. Masih belum diketahui apakah Parma bakal menyodorkan kontrak anyar bagi sang kapten atau Lucarelli yang malah memilih untuk pensiun di akhir musim nanti.
Namun satu yang pasti, Lucarelli adalah anomali di dunia sepak bola masa kini yang orientasinya kerap berujung pada bisnis dan uang. Kita semua, suporter klub sepak bola manapun, harus mengakui dengan jantan bila sosok yang satu ini memang pemain hebat yang dengan sikap low profile-nya justru mampu mengajari kita tentang arti kesetiaan yang sesungguhnya.
Forza Il Capitano Lucarelli!
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional