Sebagai produk budaya, sepak bola menjadi arena yang melibatkan banyak pihak. Pagelaran Piala Dunia, kita ambil contoh. Pesta sepak bola sejagat ini merupakan perkawinan kepentingan antara media, sepak bola, dan bisnis. Uang yang mengucur deras dari kompetisi sepak bola membuat statusnya tidak lagi dianggap sebagai ajang ‘cari keringat’ semata.
Terkait hal ini, saya ingin menengahkan kepada Anda bahwa institusi agama pernah menyikapi sepak bola dengan sengit. Ini seperti berkebalikan dengan Katolik yang lewat Clericus Cup di Vatikan mencerminkan bahwa agama bisa merangkul sepak bola. Tetapi dalam agama Islam, tercatat beberapa ulama yang memberi fatwa haram untuk sepak bola.
Akhir-akhir ini, masyarakat kita tengah dihadapkan pada perbenturan dua kutub yang menggelora akibat dugaan kasus penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama. Fatwa MUI menjadi sandaran untuk memenjarakan Gubernur DKI Jakarta itu. Terlepas dari meruncingnya perbenturan antarkelompok (baik di dunia nyata atau maya), agama menegaskan sekali lagi posisinya sebagai pedoman manusia.
Sebelum Anda menghakimi saya, tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengungkap keberadaan vital agama dan sepak bola terhadap kehidupan kita, bukan untuk menyudutkan agama tertentu. Ada banyak campur tangan agama (gereja Katolik abad 17-18) terhadap sains, misalnya, tetapi tidak kontekstual dalam tulisan ini.
Saya cenderung menganggap agama sebagai institusi per se. Maksudnya, agama menjadi salah satu dari institusi-institusi masyarakat yang memiliki peran penting dalam melanjutkan keberlangsungan sosial.
Dengan sudut pandang ini, agama adalah institusi yang berkecimpung dalam jerat dan jalinan relasi kekuasaan yang ada dengan institusi-institusi lain semisal ekonomi, politik, keluarga, dan budaya.
Sepak bola Arab dan paradoksnya
Arab identik dengan Islam. Kafiyeh, thawb, serban, adalah simbol-simbol masyarakat Arab yang kemudian dilekatkan dengan Islam. Walau pada kenyataannya, orang-orang Arab non-Islam pun memakai atribut tersebut.
Arab di sini adalah negara-negara yang berada di Timur Tengah yang mencakup Asia Barat dan Afrika Utara. Di kawasan inilah imperium Arab menancapkan pengaruhnya, sebagaimana Kristen di Eropa.
Sepak bola, yang merupakan produk kapitalisme, telah sanggup menembus sekat-sekat yang ada. Permainan yang disebarkan oleh para ‘evangelist’ Inggris di era kolonial ini kemudian dimainkan juga oleh bangsa yang mereka jajah. Tak peduli apa agama yang dianut, atau warna yang melekat pada kulit, sepak bola ada di mana-mana.
Seiring percepatan dan perkembangan teknologi informasi, berbagai medium media baru bermunculan. Sepak bola turut direkam, disiarkan, dan disebarkan secara luas ke seluruh dunia. Negara-negara Arab termasuk yang diterpa hiburan ini, lalu menjadi bangsa yang fanatik terhadapnya.
Saya pernah mendengar penuturan seorang kawan yang mengatakan, meski Arab Saudi membuka keran yang lebar bagi warga asing untuk berinvestasi, mereka tetap harus mendaftarkan warga Saudi sebagai pemilik usahanya. Satu-satunya golongan pekerjaan yang mendapat hak istimewa adalah pesepak bola. Kawan saya juga menuturkan bagaimana tren berbusana bocah laki-laki Saudi adalah seragam klub-klub Eropa seperti Real Madrid atau Barcelona.
Tetapi sebagai negara Islam, Saudi melarang perempuan untuk datang ke stadion. Ruang publik adalah milik laki-laki. Yang menarik, pada 2014 lalu ofisial pertandingan ‘kecolongan’. Beberapa perempuan Amerika Serikat bisa menyaksikan pertandingan antara Al-Nashr dan Shabab.
Seperti dilaporkan Arab News (23 Januari 2014), mereka dapat hadir di stadion karena presiden klub Al-Nashr, Pangeran Faisal bin Turki, yang mengizinkan mereka hadir. Hal itu dilakukan dengan maksud menunjukkan kepada AS bagaimana fasilitas mewah yang dimiliki negara mereka.
Tentu ini menyebabkan gejolak tersendiri. Warga pun mempertanyakan mengapa peraturan bisa dilanggar, sementara mereka pun menghendaki kehadiran pecinta sepak bola perempuan di stadion. Jawaban sang presiden agak aneh karena perempuan-perempuan tersebut bukanlah wakil dari organisasi sepak bola apapun.
Terlebih, ada fatwa ulama yang ia langgar. Majelis ulama Arab Saudi mengharamkan sepak bola dimainkan jika demi mendapatkan uang. Olahraga yang diperkenankan untuk memburu hadiah adalah balap kuda atau unta, serta lomba memanah. Sepak bola juga diharamkan untuk ditonton, kecuali jika pertandingan itu diselenggarakan bukan untuk mendapatkan uang. Selain itu para pemain yang berlaga wajib memakai busana menutup aurat.
Lalu mengapa ada liga profesional (Saudi Professional League)? Di titik inilah muncul paradoks. Dari segi pembiayaan (yang melibatkan sponsor) dan penggajian pemain saja, sudah bisa dipastikan liga ini menyalahi aturan otoritas agama.
Selain di Saudi, di Mesir pernah ada juga ulama yang mengharamkan sepak bola. Seperti dilansir Al Arabiya News (7/2/2012), juru bicara Al-Dawaa al-Salafiya, Syekh Abdul Moneim al-Shahat, mengatakan olah raga ini haram karena sisi komersialnya. Ia juga menambahkan bahwa para korban tragedi Port Said tidak meninggal dalam keadaan syahid (martir).
ISIS, kolektif yang menganggap mereka pemurni titah Allah, tercatat pernah membunuh 13 remaja yang menonton pertandingan Piala Asia 2015 antara Jordan versus Qatar. Para remaja asal Mosul, Irak tersebut kedapatan menyaksikan pertandingan tersebut di TV. Mereka dibunuh dengan cara ditembak di depan umum.
Saya tahu kekuasaan ISIS secara wilayah terbatas, tetapi mengapa mereka hanya berani pada anak kecil yang tidak berdaya sementara di Irak sendiri ada kompetisi sepak bola (Dawri al-Mumtaz) yang telah berjalan sejak 1974? Dan, ini pertanyaan utamanya, mengapa harus dibunuh?
Di bagian dunia lain, tepatnya di Jerman, majelis ulamanya mengeluarkan fatwa yang berbunyi bahwa pesepak bola Jerman diperkenankan untuk tidak berpuasa selama Ramadan. Lalu, meski sangat terlambat, FIFA pada 2012 telah membolehkan para pemain untuk mengenakan hijab atau serban.
Sejumlah kontradiksi ini, terus terang, sangat mengganggu kepala saya. Saya Muslim dan sangat tahu bahwa di pesantren-pesantren, sepak bola merupakan salah satu hiburan utama para santri. Entah sebagai pemain, atau sebagai penonton. Maka sangat aneh jika ada penggemar sepak bola Indonesia (yang beragama Islam), namun bersimpati dengan ISIS dan fatwa haramnya tentang sepak bola.
Petrodollar dan ‘pembangkangan’ terhadap ulama
Posisi ulama di Arab Saudi sangat penting karena konstitusi mereka menetapkan diri sebagai negara Islam. Banyak hukum yang dibuat atas dasar teks kitab suci Islam (Alquran dan hadis). Negara-negara teluk seperti Qatar, Kuwait, Jordan, Uni Emirat Arab, juga demikian.
Negara-negara ini dilimpahi kekayaan sumber daya alam melimpah, terutama minyak dan gas. Belanja negara kemudian banyak bersumber dari fulus hasil penjualan minyak, yang dikenal dengan istilah ‘petrodollar’, istilah yang dicetus ekonom, Ibrahim Oweiss.
Karena warganya terlalu sedikit, negara-negara ini akhirnya memutar uang tersebut ke negara-negara lain. Tahun demi tahun, kekayaan terus bertambah, tetapi hanya beredar di genggaman segelintir kelompok, terutama keluarga para Emir atau keluarga kerajaan.
Kini dengan jelas kita bisa melihat bagaimana para Emir, raja, serta pangeran Arab bermain-main dengan sepak bola demi keuntungan komersial: sesuatu yang bertentangan dengan otoritas agama di negara mereka.
Ada nama Qatar di seragam Barcelona. Di London, Manchester, Paris, Milan, dan Hamburg, kita melihat nama Fly Emirates terpajang di seragam klub-klub kota tersebut. Terutama di Manchester City, kita juga tahu bagaimana Mansour bin Zayed Al Nahyan atau kamu kenal sebagai Sheikh Mansour memamerkan nafsunya menguasai sepak bola dengan mengucurkan limpahan dana ke klub tersebut.
Nampaknya, sebagaimana institusi lain seperti politik dan pendidikan, mereka yang berada di pucuk tertinggi selalu mendapatkan banyak kemudahan. Hal tersebut juga terjadi di institusi agama (Islam), terlebih lagi, mereka yang berada di negara-negara Arab. Peraturan dibuat hanya untuk ditaati rakyat biasa, namun tidak berlaku untuk mereka yang berasal dari klan (atau bani) tertentu.
Saya pikir terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 bisa kita jadikan pertimbangan (khususnya bagi pembaca yang Muslim). Sepak bola telah menembus sekat-sekat yang ada, tetapi di beberapa golongan, ia dianggap haram dan secara ironis menjadi halal bagi para pemimpin.
Seorang kerabat pernah kuliah di Madinah. Ia bercerita bahwa suatu hari, ia dipanggil oleh petugas asrama karena menempel foto anak dan istrinya di lemari pakaian. Ketimbang berdebat panjang, ia lalu mengeluarkan suatu majalah lokal, dan menunjukkan kepada petugas gambar pemimpin Saudi yang terpampang begitu besar di majalah tersebut.
Sepak bola di negeri yang ruang publiknya eksklusif seperti Arab begitu menghibur layaknya oase di gurun pasir. Akan tetapi kontur, ragam, dan pemanfaatan sepak bola belum meliputi seluruh warganya.
Kalau sudah begini, saya teringat akan salah satu kutipan dari Gus Dur:
“Bukankah kita akan diperkaya dalam pemahaman kita tentang kehidupan manusia oleh sesuatu yang terjadi di lapangan sepak bola? Sepak bola merupakan bagian kehidupan atau sebaliknya, kehidupan manusia merupakan unsur penunjang sepak bola?”
Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com