Eropa Jerman

Ironi Alemannia Aachen  

Bundesliga musim 2006/2007 adalah satu dari sedikit keganjilan yang pernah terjadi di kompetisi tertinggi negeri Angela Merkel tersebut. Di penghujung musim, sosok yang mendapat kesempatan mengangkat tinggi-tinggi trofi juara liga adalah Fernando Meira, pemain belakang berkebangsaan Portugal sekaligus kapten Stuttgart.

Gelar juara itu sendiri merupakan titel kampiun liga yang kelima di sepanjang sejarah klub berjuluk Die Schwaben tersebut. Uniknya, rival berat Stuttgart dalam memperebutkan status sebagai yang terbaik di Bundesliga musim itu bukan Bayern Munchen atau Borussia Dortmund, melainkan Schalke 04 dan Werder Bremen.

Stuttgart berhasil finis hanya dengan koleksi 70 angka saja, berselisih dua dan empat poin dari Schalke dan Bremen yang mengekor di peringkat dua dan tiga.

Namun ada satu hal yang terasa lebih menarik ketimbang kesuksesan Stuttgart ketika itu. Di papan bawah klasemen, ada tiga klub yang dipastikan terdegradasi ke Bundesliga 2. Dua diantaranya adalah Alemannia Aachen dan Borussia Moenchengladbach.

Degradasi ke divisi yang lebih rendah adalah sebuah persoalan yang bisa membuat segala urusan jadi semakin sulit. Hal itu pula yang dialami oleh Aachen dan Moencengladbach. Setelah dipastikan terdegradasi, manajemen kedua klub pun sama-sama punya visi yang sama, sesegera mungkin kembali ke Bundesliga. Namun, takdir menyediakan jalan yang jauh berbeda untuk kedua tim ini.

Die Fohlen, julukan Monchengladbach, berhasil naik kembali ke Bundesliga setelah keluar sebagai kampiun Bundesliga 2 musim 2007/2008. Kolaborasi Rob Friend dan Olivier Neuville di sektor depan jadi salah satu faktor utama keberhasilan Monchengladbach naik kasta.

Pascakembali ke Bundesliga, pelan-pelan Die Fohlen berusaha mengubah stigma klub yoyo. Ada cukup banyak pembenahan yang dilakukan oleh klub yang jadi kekuatan besar di Jerman pada era 70-an silam.

Hal itu juga yang membuat Moenchengladbach, walau belum sanggup menjadi kandidat juara liga, setidaknya bisa bersaing di papan atas. Die Fohlen pun terhitung rajin lolos ke kompetisi regional di benua biru seperti Liga Champions dan Liga Europa dalam beberapa musim terakhir.

Di sisi lain, beberapa nama pesepak bola pun ikut terangkat kariernya setelah mengecap penampilan bersama Die Fohlen antara lain Mahmoud Dahoud, Dante, Marco Reus, Yann Sommer, Marc Andre Ter-Stegen, Ibrahima Traore dan Granit Xhaka. Sebagian dari mereka masih mengenakan jersey Moenchengladbach ketika pemain-pemain lain sudah bergabung dengan klub yang lebih mapan.

Sebaliknya, situasi tragis justru dialami oleh Aachen. Nasib klub yang punya sebutan Kartoffelkafer ini malah makin buruk dari tahun ke tahun.

Setelah terdegradasi dari Bundesliga di akhir musim 2006/2007, Aachen tampil di Bundesliga 2. Termasuk bersaing dengan Monchengladbach yang tak butuh waktu lama buat kembali ke kasta sepak bola tertinggi di negeri penghasil mobil-mobil mewah ini.

Namun prestasi yang ditunjukkan Aachen tak sebaik Moenchengladbach, bahkan terkesan amat stagnan. Tim yang memiliki kostum utama berwarna kuning ini terus berkutat di papan tengah dan bahkan terjerembab di wilayah bawah.

Lucunya, saat kondisi tim tengah acak-acakan begitu, pihak manajemen malah bersikeras membangun stadion anyar guna menggantikan kandang lawas mereka, Old Tivoli. Sebenarnya hal ini cukup wajar mengingat stadion tersebut memang sudah tua dan kurang layak. Akan tetapi manajemen seolah tak memperhitungkan dengan baik resiko membangun stadion anyar.

Membangun markas baru jelas butuh biaya yang sangat besar, sementara keuangan klub sendiri sedang tidak sehat. Di sisi lain, dewan kota Aachen juga tak bisa membantu banyak dalam proses ini.

Akhirnya, proyek ini dapat tetap berjalan setelah manajemen Aachen meminta bantuan pemerintah negara bagian North Rhine Westphalia dan sponsor tim, lembaga asuransi Aachener Munchener. Tak lupa juga, manajemen klub meminta pinjaman ke beberapa bank lokal.

Stadion baru yang kemudian diberi nama Neu Tivoli itu sendiri akhirnya dibuka pada musim panas tahun 2009. Kapasitas stadion ini sanggup menampung 31.000 penonton. Sepuluh ribu lebih banyak dari markas lama mereka, Old Tivoli.

Apa yang diperbuat manajemen Aachen seolah menjadi metode mereka untuk bunuh diri. Jumlah utang yang menggunung pada akhirnya memperkeruh krisis finansial yang melanda tim. Harapan manajemen bahwa keberadaan markas anyar bakal ikut mendongrak keuangan klub justru meleset.

Roda operasional klub berjalan dengan tersendat-sendat akibat masalah finansial. Dari tahun ke tahun biaya operasional klub selalu ditekan sedemikian rupa agar klub tidak bangkrut. Situasi macam ini tentu saja membuat khawatir fans. Ketakutan mereka bahwa klub kesayangannya bakal makin ambruk seolah tampak jelas di pelupuk mata.

Padahal di tahun 2010, walikota Aachen sampai meminjami klub ini dengan dana lumayan, 5,5 juta euro agar klub ini selamat.

Sampai akhirnya, hal yang ditakutkan suporter Aachen datang di akhir musim 2011/2012. Aachen secara resmi terdegradasi ke 3. Liga (nama untuk divisi tiga di Liga Jerman) lantaran hanya finis di posisi ke-17. Penampilan Aachen bak tim ayam sayur yang mudah digebuk oleh siapa saja. Fans Kartoffelkafer pun meradang melihat klub kesayangan mereka terjun bebas.

Akan tetapi, ironi yang dialami klub ini belum berhenti sampai disitu. Serentetan hasil buruk yang diraup Aachen kemudian, membuat mereka terperosok di dasar klasemen 3. Liga hampir di sepanjang waktu. Terlebih di musim itu Aachen juga mendapat pengurangan poin sebanyak lima angka akibat tak bisa melunasi pinjaman yang mereka lakukan ke pihak asosiasi sepak bola Jerman (DFB) tepat waktu.

Di akhir tahun 2012, perusahaan induk Alemannia Aachen GmbH, akhirnya benar-benar tak terselamatkan dan dinyatakan bangkrut. Klub pun akhirnya menjual stadion anyar mereka itu kepada dewan kota hanya dengan harga 1 euro! Ironis memang, tapi ini harus dilakukan lantaran manajemen sudah tak bisa lagi mengelola akibat keterbatasan dana!

Kondisi ekstra pelik macam itu membuat Aachen mesti menerima kenyataan jika mereka harus turun kasta sekali lagi ke Regionalliga West (Divisi Empat) setelah finis di posisi buncit klasemen akhir 3. Liga musim 2012/2013. Bercermin pada kondisi Aachen, saya bahkan terpikir soal bangunan megah yang dibangun susah payah dan makan waktu namun cuma butuh bahan peledak dalam jumlah sedikit untuk meluluhlantakkannya.

Klub yang berada di wilayah barat Jerman dan berbatasan langsung dengan Belanda dan Belgia ini bahkan begitu kesulitan bersaing dengan klub-klub yang menghuni Regionalliga West. Padahal, sebagian dari mereka ‘hanya’ tim kedua dari klub-klub tenar macam Borussia Dortmund II, Borussia Monchengladbach II dan Schalke 04 II.

Situasi pelik yang dialami Aachen ini memang sangat aneh buat ukuran tim-tim sepak bola di Jerman yang selama ini jarang terkena masalah keuangan. Pertanyaannya, mampukah eks anggota Bundesliga ini lepas dari jerat utang dan mampu bangkit?

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional