Nilai atau value adalah suatu sistem ide yang membuat manusia bertindak dalam kehidupannya. Di ranah sepak bola, kita mencintai suatu klub karena nilai-nilai yang melekat pada klub tersebut. Nilai tersebut bisa membaur dengan tradisi, prestasi, dan sejarah klub.
Beberapa suporter Manchester United ada yang benci dengan klubnya karena nilai yang mereka punya secara perlahan meluntur, seperti kepercayaan pada pemain akademi, gaya sepak bola menyerang, dan lain-lainya.
Ada pula suporter yang mendukung suatu klub karena nilai-nilai politis yang terkandung di klubnya. Sebut saja para suporter St. Pauli di Hamburg, atau FC United of Manchester. Para pendukung Tottenham Hotspur membenci Arsenal bukan hanya karena torehan trofi yang lebih banyak, tapi juga disebabkan faktor sejarah di mana Arsenal sebenarnya tidak berasal dari London Utara.
Filsuf eksistensialisme Perancis, Jean-Paul Sartre dalam naskah drama “Les Mains Sales” menulis,
“I wanted pure love: foolishness; to love one another is to hate a common enemy: I will thus espouse your hatred. I wanted Good: nonsense; on this earth and in these times, Good and Bad are inseparable: I accept to be evil in order to become good.”
Dialog tersebut menyaratkan suatu gagasan mengenai konsep “musuh bersama” (common enemy). Dengan adanya musuh bersama, berbagai kelompok yang secara definitif berlainan dan berlawanan bisa berbaur bersama untuk menjungkalkan musuh tersebut.
Di negara kita sendiri, Reformasi 1998 telah menjadi bukti bagaimana kebencian terhadap suatu sistem (baca: musuh bersama) telah menyatukan berbagai elemen politik dan kemasyarakatan yang ada.
Di Jerman, tidak ada klub yang lebih pantas mendapat predikat “musuh bersama” selain RB Leipzig.
Asal mula
Di kesempatan sebelumnya saya menulis bagaimana Jerman mereformasi sistem sepak bolanya di segala level dan aspek. Upaya ini membuat liga mereka menjadi salah satu acuan tentang bagaimana menjalankan kompetisi yang melibatkan suporter sehingga nilai-nilai klub tetap lestari.
Sistem kepemilikan klub-klub Jerman berbeda dengan liga-liga yang lain karena formula “50+1”, yang membuat saham mayoritas klub harus dimiliki oleh anggotanya.
Ini membuat tidak adanya sosok-sosok seperti Sheikh Mansour di Bundesliga. Dengan sistem ini, pemilik tunggal menjadi tidak ada karena individu hanya bisa memiliki saham sebanyak 49%. Keputusan-keputusan klub diambil dengan demokratis, menyertakan seluruh pemilik saham yang kebanyakan merupakan anggota klub.
Nilai yang selama ini melekat terus mereka jaga, sambil tetap memikirkan bagaimana caranya bersaing secara marketing di level global. Klub hanya bisa membeli dan menggaji pemain sesuai ketersediaan dana yang mereka punya, bukan oleh suntikan fulus seorang sugar daddy.
Namun sebagaimana rekaan manusia lain, sistem ini juga memiliki lubang atau celah (loophole). Sebelumnya, di Bundesliga telah terdapat dua klub yang dimiliki oleh individu atau perusahaan. Dua klub tersebut adalah Bayer Leverkusen dan VfL Wolfsburg.
Bayer Leverkusen adalah klub yang dibentuk oleh perusahaan farmasi Bayer. Nama kota tempat mereka bernaung, Leverkusen pun diambil dari nama pendiri perusahaan tersebut: Carl Leverkus.
Wolfsburg, adalah klub yang dimiliki perusahaan otomotif Volkswagen. Keberadaan kota Wolfsburg pun bisa tumbuh karena pemerintah menetapakan daerah tersebut sebagai tempat bermukim para pekerja di pabrik perakitan Volkswagen. Merek ini adalah kebanggaan Jerman yang di awal pembentukannya (1932) diharapkan menjadi penyedia mobil untuk rakyat.
Kedua klub ini memiliki status istimewa karena peraturan baru itu menyatakan, klub yang dimiliki oleh perusahaan atau individu boleh tetap beroperasi dengan sistem tersebut asalkan telah berjalan selama 20 tahun atau lebih, terhitung sampai 1 Januari 1999.
Namun lubang itu perlahan dimanfaatkan klub-klub lain yang di mata masyarakat sepak bola Jerman tidak memiliki tradisi seperti klub-klub yang lain.
Klub pertama adalah TSG 1899 Hoffenheim yang didukung secara finansial oleh raja industri software, Dietmar Hopp. Dia ‘memodali’ klub ini pada tahun 2000 dan dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun, berhasil membawa Hoffenheim naik derajat menjadi klub peserta Bundesliga. Padahal sewaktu dibeli Hopp, Hoffenheim lebih banyak berkutat di liga amatir.
Nama kedua, dan ini yang paling mencolok, adalah RB Leipzig.
Kebencian publik terhadap Hoffenheim tidak seberapa dibanding kebencian mereka terhadap Leipzig. Mereka menganggap Leipzig bukanlah klub yang membawa nilai-nilai kelokalan, tetapi sekadar klub ‘penjual minuman’.
Ya, Leipzig dimodali oleh perusahaan minuman asal Austria, Red Bull. Red Bull benar-benar memanfaatkan celah dengan mengganti nama stadion menjadi Red Bull Arena, menjadi sponsor pada seragam tim, serta mengakali regulasi sehingga dua banteng yang identik dengan minuman itu tetap terdapat di logo.
Mereka juga menambahi nama tim dengan RB yang merupakan abreviasi dari RasenBallsport, yang merupakan siasat marketing untuk melekatkan citra Red Bull.
Red Bull merupakan perusahaan yang memiliki dedikasi di bidang olahraga, dan menjadikan industri ini sebagai batu lompatan untuk mendongkrak penjualan Red Bull.
Selain di arena sepak bola, publik telah akrab dengan Red Bull di kancah balap Formula 1 ketika bersama pembalap mereka, Sebastian Vettel merajai formula satu selama empat musim berturut-turut, 2010 hingga 2013.
Di arena sepak bola, Red Bull telah merentangkan sayapnya di empat negara, yakni FC Red Bull Salzburg (Austria), New York Red Bulls (Amerika Serikat), Red Bull Brasil (Brasil), dan Red Bull Ghana (Ghana).
Leipzig, yang secara geografis terletak di Jerman timur, menjadi klub kelima Red Bull yang berhasil mereka akuisisi dengan segenap daya. Sebelumnya, telah banyak klub yang coba mereka akuisisi, tapi selalu terbentur oleh penolakan dari klub atau resistensi suporter.
Upaya tersebut akhirnya membuahkan hasil melalui klub liliput SSV Markranstädt. Mereka mengakali sistem “50+1” dengan menyebar kepemilikan ke ‘anggota’ klub yang notabene merupakan pegawai perusahaan Red Bull.
Reaksi
Leipzig kembali menjadi sorotan setelah minggu (5/2) lalu bertemu Borussia Dortmund, dan segenap suporter Dortmund kompak meneriakkan dan merentangkan banner yang menyindir Leipzig. Tak hanya itu, suporter Dortmund pun akhirnya diberi sanksi karena sebelum pertandingan berlangsung banyak terjadi kekerasan yang menargetkan suporter Leipzig.
Di pertemuan pertama musim ini, suporter Dortmund juga memboikot pertandingan dengan tidak mengunjungi Red Bull Arena. Aksi tersebut tentu dilakukan demi menunjukkan sikap penolakan mereka akan eksistensi Leipzig.
Kebencian sebelumnya pernah juga dilakukan suporter Dynamo Dresden, klub yang terkenal memilik ultras yang loyal dan fanatik, tak peduli prestasi tim mereka seperti apa.
Di pertandingan DFB Pokal yang berlangsung pada 20 Agustus itu, selain membentangkan banner yang menyuratkan kebencian, mereka juga melempar kepala banteng ke dalam lapangan. Suporter Dresden yang sama-sama dari Jerman Timur ini juga menyambit pemain Leipzig dengan koin. Hal itu membuat mereka diberi denda sebesar 60 ribu euro.
Leipzig sendiri, dengan keberadaan Red Bull yang telah malang melintang di dunia olahraga, tidak sekadar mengandalkan kekuatan finansial. Mereka memiliki kebijakan perekrutan bakat-bakat muda, dengan arahan direktur tekniknya, Ralf Rangnick. Orang ini juga memiliki portofolio sebagai tulang punggung keberhasilan Hoffenheim di kiprah awal mereka di Bundesliga.
Leipzig pada dasarnya memiliki sejarah panjang di sepak bola Jerman. Di kota inilah, tepatnya pada 28 Januari 1900, asosiasi sepak bola Jerman Deutscher Fussball Bund (DFB) dibentuk. VfB Leipzig menjadi klub pertama yang menjuarai kompetisi sepak bola profesional Jerman.
Selain itu, pasca reunifikasi Jerman (yang ditandai secara simbolis dengan peruntuhan Tembok Berlin), Jerman Timur belum mampu bersaing dengan klub-klub Jerman Barat. Kebanyakan klub dari Jerman Timur lebih banyak mencicipi liga 2. Bundesliga ketimbang kompetisi utama. VfB Leipzig menjadi salah satu dari empat tim yang pernah naik promosi ke Bundesliga selain Dynamo Dresden, Hansa Rostock, serta FC Energie Cottbus.
Tentu masyarakat sepak bola Jerman memiliki pandangan lain. VfB Leipzig adalah tim yang memiliki tradisi: suatu syarat yang tidak dimiliki RB Leipzig. VfB juga memiliki riwayat panjang di kancah sepak bola Jerman Timur, memenangi Piala Intertoto 1966, juga pernah melaju ke final Piala Winners 1987 meski takluk 1-0 dari Ajax Amsterdam.
Musim ini, total belanja pemain RB Leipzig berada di angka 111,3 juta euro dan berada di urutan ketujuh dari 18 klub yang ada. Bukan jumlah yang bisa dikatakan boros. Tetapi dari sudut pandang lain, orang-orang Jerman tampaknya tidak akan peduli berapa nilai yang dihamburkan suatu klub di bursa transfer, asalkan sesuai dengan ‘kemampuan’ mereka. Bukan dari injeksi perusahaan.
Inilah nilai yang digugat seluruh suporter sepak bola Jerman. Ke mana pun Leipzig bertandang, mayoritas tim menyambutnya dengan sikap mencemooh.
Apalagi, Leipzig memiliki banyak syarat untuk menjadi musuh bersama. Selain model finansialnya, Leipzig juga berada di Jerman Timur yang bisa dibilang masih menyisakan sentimen ideologi politik era Perang Dingin.
Selain itu, sepak bola yang mereka peragakan juga atraktif dan ofensif, mampu bermain tanpa kalah sepanjang 13 pertandingan Bundesliga musim ini. Leipzig menjadi satu-satunya tim yang merongrong Munchen. Hal itu tidak bisa dibanggakan karena mereka mendapatkannya lewat cara-cara yang menurut sepak bola Jerman tidak ‘layak’.
Hans-Joachim Watzke, chief executive Dortmund berkata pedas soal kegemilangan Leipzig di musim ini, dan apakah mereka setara dengan Leicester City yang menjuarai pentas EPL:
“Mereka tidak memiliki tradisi, berbeda dengan Leicester City. Klub ini didirikan untuk menggenjot pemasukan bagi Red Bull, tidak lebih.”
Oke, ini baik untuk liga karena persaingan menuju tangga juara semakin ketat.”
“(Tapi) di sepak bola Jerman, klub-klub itu dimiliki oleh penggemar dan kami mematok mereka dengan tarif yang sangat murah. Banyak penggemar dari Inggris yang datang ke sini untuk menyaksikan laga Dortmund dengan tarif 11 euro,” katanya seperti dilaporkan BBC (9/12/2016).
Di balik segala kontroversinya, Leipzig telah sedikit mewarnai Bundesliga. Yang patut kita cermati adalah bagaimana nilai-nilai yang ada dipegang teguh oleh segala pihak (klub maupun suporter). Leipzig pun tidak sepenuhnya salah karena mereka ‘hanya’ mengakali regulasi.
Selain itu, dapat dipastikan bahwa sepak bola Jerman adalah medium untuk publik yang demokratis, meski ada pula yang melakukannya dengan cara-cara tidak terpuji. Nilai, tradisi dan kebanggaan (pride) suatu bangsa terpampang dari perbenturan-perbenturan yang ada.
Menciptakan sepak bola yang kompetitif, sehat, inklusif, dan berprestasi ternyata susah susah gampang, ya. Bagaimana dengan Indonesia?
Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com