Pilkada serentak hanya menunggu hitungan hari. Terlepas dari riuhnya perdebatan publik di Pilkada DKI, seharusnya kita tetap ingat bahwa proses pemilihan kepala daerah tidak hanya terjadi di ibu kota semata. Selain itu, Pilkada selayaknya dibayangkan sebagai proses pendewasaan dalam berdemokrasi.
Sepak bola juga mengenal proses pemungutan suara langsung. Proses tersebut dilakukan guna memilih presiden klub yang nantinya akan memiliki wewenang dan tanggung jawab besar dalam menjalankan klub.
Klub-klub La Liga yang memiliki budaya ini adalah Barcelona, Real Madrid, Athletic Bilbao, dan Osasuna. Jika klub-klub lain memilik status “private limited company” (PLC), empat klub ini memiliki status tersendiri, yaitu “organisasi olahraga non-profit yang dimiliki anggota-anggotanya”.
Sebenarnya, mayoritas klub di Spanyol memiliki struktur organisasi di kategori kedua. Namun, itu berubah di tahun 1992 ketika pemerintah Spanyol menerapkan kebijakan yang mewajibkan mengganti struktur organisasinya menjadi PLC. Hal ini dilakukan demi menjaga keberlanjutan finansial klub-klub yang berlaga di La Liga atau Primera Division.
Mengapa empat klub di atas tidak berstatus PLC? Mereka mendapatkan keistimewaan karena mampu memenuhi syarat Liga de Futbol Profesional (LFP) yang menyatakan bahwa klub-klub tetap diperbolehkan berstatus tradisional bila dapat membuktikan dalam neraca keuangan klub masing-masing selalu mendapatkan keuntungan di lima musim terakhir (sejak musim 1985/86).
Keanggotaan klub-klub di atas, terutama Madrid dan Barcelona tentu begitu besar. Akan sulit dalam mengadakan proses pemungutan suara. Fan yang tergabung dalam jenis keanggotaan ini dinamakan socios. Per Juni 2015, Barcelona memiliki anggota sebanyak 144.756 socios. Sementara Madrid, per laporan dari klubnya tahun 2014 mempunyai sekitar 90.000 anggota.
Apa yang membedakan mereka dengan penggemar biasa? Tentu ada. Seperti halnya organisasi-organisasi lain, mereka diwajibkan membayar iuran dengan jumlah tertentu. Hak yang mereka punyai adalah hak untuk mencoblos calon presiden klub, mengetahui kebijakan-kebijakan klub per musim, serta kemudahan dalam mengakses tiket pertandingan.
Dengan struktur dan skema seperti ini, tak heran bila kita sering mendengar Presiden Madrid atau Barcelona mengomentari performa klubnya. Ini tidak kita temui di klub-klub EPL di mana para pemilek seperti berjarak dengan penggemar. Pelatih EPL adalah sumber satu-satunya dalam mengetahui berjalannya klub. Posisi direktur teknik (di beberapa negara atau klub istilahnya bisa berbeda) klub EPL pun tidak sebanyak manajer.
Maka kata “tradisi” benar-benar diterapkan oleh empat klub ini. Meski, terutama dalam kasus Madrid dan Barcelona, kita sering melihat konflik kepentingan yang melibatkan tokoh-tokoh elite, hal itu saya rasa wajar dalam mencapai kemaslahatan bersama (common goods).
Di Bilbao dan Osasuna pun, saya pikir, perdebatan antara manajemen dengan penggemar tetap ada, namun kadar dan skalanya memang bukan tandingan dua klub besar itu, sehingga jarang kita dengar beritanya di media-media nasional.
Bagaimana caranya agar seseorang bisa mencalonkan diri sebagai presiden klub? Di Barca, semua socio berhak untuk itu, dengan syarat ia mampu mengajak sekitar 2.500 anggota yang lain untuk menandatangani petisi pencalonan dirinya.
Selain itu, ia juga harus mampu menyediakan uang garansi yang dikenal dengan istilah aval. Ini menjadi jaminan jika nantinya terpilih, lalu klub mengalami kerugian, mereka dapat menggunakan uang garansi untuk menambal kerugian itu.
Aval yang harus disediakan seorang kandidat presiden Barcelona berada di kisaran 76 juta euro. Aval merupakan produk hukum negara, lagi-lagi untuk menjamin keberlangsungan empat klub berstatus istimewa ini.
Di tengah-tengah guyuran petrodolar miliarder Timur Tengah dan Rusia di klub-klub sepak bola, proses rumit ini menjadi oase tersendiri. Klub-klub tidak bisa lagi abai terhadap brand marketing, tapi tetap menjaga tradisi sehingga tetap ‘waras’. Sistem keanggotaan yang juga berlaku di Jerman ini membuat klub tidak bisa sewenang-wenang dalam menjalankan roda aktivitas klub.
Kita tidak mendengar jeritan fan Madrid, Barcelona, atau klub-klub Jerman mengenai harga tiket yang mencekik. Tiket menonton Arsenal sepuluh kali lebih mahal ketimbang tiket menonton aksi Lionel Messi di Camp Nou.
Untuk Madrid dan Barcelona, masa kampanye calon presiden juga tidak kalah dengan proses kampanye presiden negara. Ada wawancara-wawancara panjang dengan media (yang dengan senang hati meliputnya), polling/survei yang mengukur elektabilitas masing-masing calon, juga debat terbuka dengan kontestan lain di media.
Dalam meyakinkan calon pemilih, mereka sering berjanji untuk mendatangkan pemain bintang. Florentino Perez, yang telah menjabat sebagai presiden Madrid di dua masa jabatan, terkenal dengan proyek Galacticos-nya. Tahun 2000, saat masa kampanye, ia berjanji akan mendatangkan Luis Figo dari rival berat mereka Barcelona, dan akan terus merekrut pemain nomor wahid tiap musimnya.
Perez kini telah menjalani masa keempat sebagai presiden. Proyek Los Galacticos jilid II kembali ia terapkan dengan hasil trofi melimpah, khususnya, trofi si Kuping Caplang, supremasi tertinggi di Eropa.
Namun, sebagaimana produk-produk buatan manusia lainnya, sistem ini juga memiliki ‘lubang’, yakni kepentingan pribadi (private interest) yang sering menyandera tiap kandidat. Presiden-presiden klub di Madrid dan Barcelona kerap mencampuri terlalu dalam persoalan di atas lapangan.
Perez sendiri pernah berkonflik dengan pelatih Madrid Vincente del Bosque, yang kemudian turut melebarkan friksi di antara pemain. Pemain-pemain Madrid terbelah menjadi dua kubu. Padahal Bosque berhasil menyatukan ego para pemain besar sehingga tim menjadi kohesif dan memenangi banyak gelar.
Di Katalan, ambisi mengalahkan pesaing membuat mereka bernafsu merekrut bintang dengan segala cara. Barcelona pernah dihukum larangan bertransaksi pemain akibat cara curangnya di perekrutan Neymar dan 10 pemain asing muda. Neymar direkrut dengan menyogok ayah sang pemain Brasil, juga dengan penipuan pajak. Kesepuluh pemain muda dibeli Barca sambil menyalahi aturan UEFA (larangan jual-beli pemain di bawah umur).
Sistem ini penuh riak, juga berliku. Tetapi klub sebagai ‘wacana publik’ tidak tergadaikan seperti Arsenal, Manchester United, Manchester City, Chelsea, dan klub-klub Inggris lain.
Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com