Kolom Eropa

Menengok Sejenak Krisis La Liga

Bersama EPL dan Bundesliga, La Liga menjadi tontonan utama masyarakat sepak bola dunia. Ada banyak perdebatan yang tak kunjung mencapai titik temu mengenai liga mana yang terbaik. Parameternya pun beragam. Ada yang menilainya dari kekompetitifan liga, ada pula yang menyebut pencapaian masing-masing klub di Liga Champions Eropa.

Satu gugatan besar terhadap La Liga adalah: Liga tersebut terlalu didominasi oleh Barcelona dan Real Madrid. Bahkan laga yang mempertemukan keduanya, El Clasico, disiarkan begitu megah. Uraian analisis, berita-berita sarat rivalitas serta kebencian, dan sebagainya disajikan kepada penggila bola.

Magnet La Liga adalah Barcelona dan Madrid. Camp Nou dan Santiago Bernebeu adalah perwujudan coliseum bangsa Romawi abad 21. Para gladiator yang saling baku hantam kini bereinkarnasi dalam diri Lionel Messi, Luis Suarez, Neymar, Cristiano Ronaldo, Gareth Bale, James Rodriguez, dan para kompatriotnya.

Bersama Manchester United, dua klub ini masuk dalam apa yang disebut Jimmy Burns (2012) sebagai merek super global, ‘global superbrands’. La Liga adalah El Clasico, El Clasico adalah La Liga.

Mungkin Anda seperti saya, bosan dengan La Liga dengan hanya melihat jadwal tim yang bertanding di akhir pekan. ‘Madrid lagi, nih, bos? Kok Barcelona terus, hoi, SCTV?’ Padahal kita tahu persis, di La Liga terdapat tim-tim yang memiliki permainan asik atau tradisi unik. Terdapat pula derbi-derbi selain El Clasico yang sarat akan permainan menawan.

Beruntung, La Liga masih memiliki tim seperti Atletico Madrid yang dalam empat musim terakhir sanggup sedikit memangkas dominasi dua tim itu. Atau Sevilla yang bersama Unai Emery mampu mewakili Spanyol dengan meraih gelar Liga Europa tiga musim berturut-turut.

Dominasi Madrid dan Barcelona mencerminkan duopoli yang acapkali ‘menyulitkan’ klub-klub Spanyol lain yang memiliki sumber finansial terbatas. Ini disebabkan karena kedua tim telah melampaui legitimasi asosiasi sepak bola negeri Matador, Liga de Fútbol Profesional (LFP). Hal itu tercermin dari tidak meratanya pembagian fulus hak siar di antara klub-klub La Liga.

Sayang, justru itu hal paling penting dalam menjalankan suatu kompetisi olah raga di tengah riak industri hiburan global.

LFP seperti tidak punya kuasa dalam menahan keduanya. Terlebih, dengan berlimpahnya pemain bintang di masing-masing klub, membuat La Liga masih dapat bersaing dengan EPL dan Bundesliga untuk menjadi tontonan dunia.

Ini  hal klasik, yakni pembiaran. Mereka tahu hal tersebut perlu sedikit diubah, namun terlalu enggan untuk melakukannya. Lalu, seperti kepindahan Luis Figo dari Barcelona ke Madrid, pembiaran ini lantas menggegerkan sepak bola Spanyol lima tahun lalu.

Badai krisis dan perubahan

Bagi saya, laga El Clasico adalah sapi perah industri. Bila fokus utama hanya mereka, untuk apa diadakan liga yang melingkupi klub-klub lain? Menjadi orang Indonesia pendukung Athletic Bilbao? What’s the point? Liga Spanyol tidak menawarkan apa-apa selain keangkuhan dua klub raksasa tersebut.

Sebenarnya, apapun liga yang Anda tonton, didominasi oleh segelintir klub saja. Anda tak membutuhkan jari ekstra untuk menyebut klub-klub yang menjuarai Liga Inggris dalam 20 tahun terakhir: hanya ada 5 klub (Man. United, Arsenal, Chelsea, Man. City, dan Leicester). Bundesliga mencatat hanya ada 6 klub yang mampu menjadi kampiun dalam kurun waktu yang sama: Bayern Munchen, Kaiserslautern, Borussia Dortmund, Werder Bremen, VfB Stuttgart, dan VfL Wolfsburg.

Keindahan sepak bola adalah ia akan terus berjalan berjalan meski klub-klub yang ada hanya menjadi figuran. Namun disparitas La Liga terlalu menganga. Kuasa penyelenggara liga (LFP) agak kecil karena berbeda dengan Inggris, saat itu (periode krisis, 2011) hak siar TV tidak dikoordinasi penyelenggara, melainkan oleh masing-masing klub.

Madrid dan Barcelona mempunyai kuasa tertentu sehingga lebih dari 50% pendapatan hak siar berada dalam genggaman mereka. Di Inggris, uang hak siar dibagi rata antara 20 klub yang ada. Bonus baru diberikan kepada klub yang menjuarai liga di akhir musim.

Sementara di Jerman, 65% uang dari hak siar TV dibagikan secara ke 18 klub peserta, sementara 35% dibagi berdasarkan posisi masing-masing klub di lima tahun terakhir.

Pada 2008, diawali oleh krisis properti di Amerika Serikat, resesi turut melanda Eropa. Dampak paling signifikan dari krisis ini adalah inflasi yang tinggi dan melonjaknya tingkat pengangguran.

Efek domino kemudian menimpa sepak bola Spanyol karena klub-klub di sana memiliki hobi mengutang kepada pemerintah. Selain itu, mereka juga gemar menunggak pajak.

Aljazeera (19/4/2012) menyebutkan bahwa klub-klub di dua level kompetisi teratas di Spanyol, La Liga dan Segunda Liga, menunggak pajak hingga $988 miliar. Klub-klub yang berada di level bangkrut justru mendapat anugerah bail-out dari pemerintah.  Dampak paling menyakitkan dari krisis ini adalah banyaknya klub yang tidak menggaji para pemainnya.

Contoh paling terkenal adalah Malaga. Miskalkulasi yang dilakukan Abdullah Al-Thani membuat klub tersebut mendapat sanksi dari UEFA dan timnya dilarang tampil di kompetisi Eropa selama satu tahun karena gagal memenuhi syarat-syarat Financial Fair Play. Al-Thani berinvestasi di pembelian pemain-pemain top, namun tidak mengindahkan prinsip sustainability.

Atletico Madrid juga hampir mendapatkan sanksi serupa. Tahun 2012, mereka memiliki utang lebih dari 500 juta euro. Pemasukan klub pun 90 persennya akan habis untuk menggaji pemain dan staf. Sulit bagi mereka untuk memenuhi tenggat waktu yang ditetapkan pemerintah Spanyol. Pada titik inilah kita perlu memberi apresiasi berlebih kepada Diego Simeone.

Berikut adalah catatatn perekrutan Diego Simeone di Atletico, dalam kurs euro:

Musim Total transfer pembelian Total transfer penjualan
2012/13 4,50 juta 19,35 juta
2013/14 36 juta 70,6 juta
2014/15 118,95 89,30
2015/16 136,11 160
2016/17 81 38,50

*sumber: transfermarkt.com

Yang saya cetak tebal adalah musim di mana jumlah pembelian melebihi jumlah pendapatan dari penjualan. Jika dihitung secara keseluruhan, Simeone menghabiskan €376,56 juta untuk membeli pemain, dan mendapatkan €377,75 juta dari penjualan.

Keuangan Atletico bisa dibilang sehat. Ini didukung pula oleh kemampuan Simeone menyulap Atletico sehingga mengekor dua klub dominan Spanyol. Pendukung Arsenal seharusnya bertanya-tanya mengapa manajemen klub kebingungan mencari pengganti Arsene Wenger.

Hal yang sama juga dilakukan Valencia. Klub berlogo kelelawar hitam ini menjual para pemain bintangnya untuk sedikit memangkas utang klub. Beberapa pemain tersebut adalah David Villa, David Silva, dan Juan Mata.

Yang menyesakkan, pemerintah turut menginjeksi klub-klub agar tetap mampu berkompetisi, sementara uang tersebut merupakan uang rakyat yang didapat dari pajak.

Namun tidak semua klub memiliki tradisi, perencanaan, dan keberuntungan seperti Atletico Madrid dan Valencia. Klub-klub papan tengah yang terkena imbas krisis pun kolaps. Malaga pun masih bisa dikatakan selamat karena hingga kini masih beraksi di La Liga.

Hal demikian tidak berlaku untuk Deportivo La Coruna dan Real Mallorca. Musim 2011/12 menjadi pelajaran bagi kedua tim sehingga setelahnya hanya mampu bolak-balik sebagaimana yoyo dari Segunda ke La-Liga.

Kasus Deportivo menjadi ironi tersendiri karena La Liga pernah mencatat kegemilangan mereka yang mampu menjuarainya di musim 1999-2000, serta mendapat predikat megah “Super Depor”.

Sepak bola sebagai painkiller

Jose Maria Gay, profesor ekonomi dari Universitas Barcelona mengatakan bahwa walaupun pemerintah tidak bersikap terlalu tegas terhadap klub-klub Spanyol, hal itu dimaklumi karena biar bagaimana pun, sepak bola menawarkan hal yang penting di tengah krisis ekonomi: stabilitas.

Di tengah tingkat pengangguran paling tinggi dalam sejarahnya (26%), banyak pemerintahan provinsi di Spanyol yang memberikan subsidi kepada klub-klub di daerah mereka. Kota Valencia memberi suntikan dana sebesar 169 juta euro bagi empat klub yang terdapat di wilayah mereka: Valencia, Elche, Levante dan Villareal.

Sepak bola dianggap merupakan distraksi yang ‘sehat’ bagi rakyat Spanyol di tengah krisis. Terlalu ketat menerapkan peraturan akan berimbas pada ketidakpopuleran mereka di mata rakyat pun sama artinya dengan menambah masalah baru.

Gay berkomentar, “Sepak bola di akhir pekan dan tiga hari di tengah-tengah minggu membantu untuk mengalihkan masyarakat dari realitas permasalahan yang sebenarnya,” katanya seperti dikutip Aljazeera.

Sikap ini turut dibantu oleh berjayanya tim nasional Spanyol di jagat sepak bola Eropa dan dunia. La Furia Roja menjadi tim dominan pada periode 2008-2012 ketika mereka mampu menjadi kampiun Piala Dunia 2010 dan dua trofi Piala Eropa secara berturut-turut.

Apalagi Atletico juga mampu mewarnai kancah sepak bola Eropa dengan menjadi langganan Liga Champions. Bahkan, dalam gelaran Liga Champions di tiga musim terakhir, tiga klub Spanyol selalu menjadi wakil di partai final dan menjadi pemegang si Kuping Besar di tiga kesempatan itu.

Hal demikian juga terjadi di Liga Eropa di mana Sevilla menjadi klub yang mampu menjadi juara selama tiga musim berturut-turut meski awalnya harus rela menjual Alvaro Negredo dan Jesus Navas.

Saya langsung teringat kepada sineas Spanyol kontemporer yang disebut-sebut sebagai penerus Luis Bunuel: Pedro Almodovar. Dalam film-film garapannya, tema yang diusung adalah tragicomedy yang dihiasi banyak ornamen-ornamen glamor seperti set design yang penuh warna-warna pastel mencolok; pendobrakkan batas-batas seksual; juga komedi gelap yang membuat penontonnya hanya tersenyum getir, tidak terbahak-bahak.

Begitu saya menyebut La Liga. Dalam hati, mereka seharusnya tahu bahwa ada yang tidak beres. Tetapi, terkadang sesuatu harus terus dibiarkan berjalan agar tidak mengganggu stabilitas. Madrid dan Barcelona akan terus menari-nari di pentas sepak bola dunia. Dan kita semua, masyarakat dunia ketiga, hanya bisa terpana.

Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com