Kolom Eropa

Parma yang Ingin Segera Kembali

Di era 90-an, stadion Ennio Tardini dikenal sebagai salah satu kandang paling angker yang mesti dikunjungi klub-klub Serie A. Pasalnya, sang empunya stadion, Parma, merupakan salah satu klub yang paling disegani ketika itu.

Mulai bertempur di Serie A per musim 1990/1991, I Gialloblu menjelma sebagai salah satu kekuatan anyar yang mengganggu dominasi tim-tim tradisional seperti AC Milan, Internazionale Milan dan Juventus.

Pada periode itu juga, banyak sekali pesepak bola papan atas yang membela panji I Gialloblu. Sebut saja Faustino Asprilla, Gianluigi Buffon, Fabio Cannavaro, Hernan Crespo, Nestor Sensini, Hristo Stoichkov, Lilian Thuram, Juan Sebastian Veron hingga Gianfranco Zola.

Dengan pemain-pemain berkualitas macam itu, tentu tidak sulit bagi Nevio Scala (manajer dalam rentang 1989-1996) dan Alberto Malesani (1998-2001) untuk membawa Parma meraih total tujuh trofi dalam rentang waktu yang berlainan. Mulai dari Piala Italia, Piala Super Italia, Piala UEFA, Piala Winners sampai Piala Super Eropa. Satu-satunya gelar yang tak sanggup dicicipi Parma di periode tersebut hanyalah scudetto, Liga Champions dan Piala Interkontinental.

Pencapaian ini pula yang kemudian membuat media-media Italia memasukkan Parma ke dalam barisan Il Sette Magnifico bersama AC Milan, AS Roma, Fiorentina, Internazionale, Juventus dan Lazio.

Era 90-an sendiri dikenal sebagai masa keemasan sepak bola Italia, baik soal prestasi klub-klubnya di Eropa, berjubelnya pemain bintang yang mengais rezeki di Italia, sampai tingkat popularitas yang jauh di atas liga-liga lain.

Sial bagi Parma, peruntungan mereka berubah drastis di era 2000-an. Bangkrutnya Parmalat, perusahaan milik keluarga Tanzi yang memegang 98% saham Parma, menjadikan klub ini terjun bebas dan akrab dengan papan bawah.

Neraca keuangan mengalami defisit parah sehingga tim sarat sejarah ini harus rela dilikuidasi pada pertengahan 2000-an. Sampai akhirnya Tommaso Ghirardi datang dan “menebus” Parma dari badan administrasi supaya tetap bisa mentas di Serie A.

Akan tetapi kondisi Parma, terutama sektor finansial, di era Ghirardi tak benar-benar bisa sekuat di era Tanzi dahulu. Sebagai konsekuensi dari situasi tersebut, I Gialloblu pun lebih banyak mengandalkan pemain-pemain kelas menengah di dalam skuatnya. Hal ini berujung pada prestasi mereka yang seakan mandek. Status sebagai salah satu kekuatan di Serie A pun memudar dengan sendirinya.

Berselang sepuluh tahun usai kebangkrutan pertama, Parma harus menerima kenyataan jika situasi keuangan yang begitu pelik lagi-lagi membuat mereka menemui periode kebangkrutan yang kedua. Keadaan kali ini bahkan jauh lebih parah ketimbang yang dialami saat Parmalat bangkrut dahulu.

Meski berhasil finis di posisi enam pada akhir musim 2013/2014, Parma tidak diizinkan induk organisasi sepak bola Eropa (UEFA) untuk berlaga di kompetisi regional akibat tak mendapatkan lisensi.

Manajemen Parma juga tak sanggup melunasi hutang pajak yang telah menggunung. Selama beberapa bulan, para penggawa I Gialloblu bahkan tidak gajian lantaran manajemen sudah tidak berdaya lagi guna membayar kewajibannya. Hutang-hutang Parma bahkan mencapai nilai yang sangat luar biasa, 218 juta euro. Persoalan ini pula yang kemudian membuat Parma harus menjual begitu banyak aset tersisa. Mulai dari penjualan sebagian pemain hingga fasilitas latihan.

Sampai akhirnya pada tahun 2015, Parma “lahir” kembali setelah FIGC di bawah pedoman artikel N.O.I.F pasal 52, menyetujui berdirinya sebuah entitas baru. Entitas ini pula yang kemudian menggunakan nama Parma sekaligus mendapat hak untuk mengklaim gelar-gelar yang telah didapat I Gialloblu sebelumnya.

Akan tetapi, Parma harus memulai perjuangan mereka dari titik nol alias berlaga di kasta terendah sepak bola Italia, Serie D. Tentunya ini adalah sebuah resiko yang mesti ditanggung Parma akibat kebangkrutan yang mendera. Sungguh tak seperti klub-klub siluman di sepak bola Indonesia, bukan?

Usai hadir kembali ke kancah sepak bola Italia, pelan-pelan I Gialloblu terus membenahi segala kekurangan yang ada pada tim. Kesalahan-kesalahan yang terjadi saat masih berada di bawah pimpinan Tanzi atau Ghirardi tak boleh lagi diulangi.

Usai semua urusan administrasi kelar, manajemen Parma bergerak cepat dengan menunjuk Scala sebagai presiden klub yang baru. Sementara eks pemain belakang Parma, Luigi Apolloni, ditunjuk sebagai manajer anyar. Geliat Parma kembali ke Serie A pun dimulai sejak saat itu.

Tak butuh waktu lama untuk I Gialloblu guna menjadi tim yang paling kuat di level amatir tersebut. Alessandro Lucarelli dan kawan-kawan cuma butuh waktu satu musim untuk bisa meraih satu tiket promosi ke Lega Pro (dulu bernama Serie C).

Satu catatan fantastis berhasil dibukukan anak asuh Apolloni saat itu yakni tak sekalipun menderita kekalahan sepanjang musim 2015/2016. Dari 38 laga yang dijalani, Parma sukses memenangi 28 diantaranya, sedang di 10 pertandingan tersisa, Parma memperoleh hasil imbang.

Setelah mendapat tiket promosi ke Lega Pro, Parma dimasukkan ke dalam grup B. Banyaknya peserta Lega Pro, mencapai 60 kesebelasan, membuat FIGC membagi seluruh klub itu ke dalam tiga grup dengan masing-masing grup berisi 20 tim. Grup-grup itu sendiri dibagi berdasarkan letak geografis setiap peserta.

Lebih lanjut, perlu diketahui jika jatah promosi ke Serie B hanya bisa didapat oleh empat kesebelasan saja. Mereka adalah tiga juara grup plus pemenang babak playoff promosi yang melibatkan tiga tim berstatus runner up dari masing-masing grup.

Ketentuan tersebut jelas bukan syarat yang mudah sebab satu-satunya cara mengenggam tiket promosi hanyalah finis di papan atas. Bila tidak, jangan pernah berharap untuk naik kasta.

Dan sampai tulisan ini dibuat, Parma yang saat ini diasuh oleh Roberto D’Aversa tengah duduk di peringkat kedua klasemen Lega Pro grup B dengan koleksi 46 angka. Tertinggal tiga angka dari klub yang menempati peringkat pertama, Venezia. Kesebelasan asal kota air itu sendiri musim ini ditukangi oleh legenda hidup Italia, Filippo Inzaghi.

Mengingat perjalanan di Lega Pro masih amat panjang, tersisa empat belas partai lagi, potensi berhasil maupun gagal tetap bisa menghampiri Lucarelli dan kawan-kawan kapan saja. Dibutuhkan usaha ekstra keras, konsistensi tinggi dan sedikit keberuntungan agar I Gialloblu bisa merengkuh apa yang mereka cita-citakan, yaitu kembali ke pentas Serie A.

#ForzaParma

 Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional