Apabila berbicara soal kisah kepahlawanan tim yang baru promosi kemudian langsung menjadi juara, tentu yang muncul adalah Kaiserlautern di sepak bola Jerman. Atau dongeng Nottingham Forest di sepak bola Inggris era klasik. Meskipun sebenarnya, sepak bola Indonesia memiliki kisah dengan heroisme yang hampir serupa melalui tim asal Jawa Timur, Persik Kediri.
Generasi saat ini mungkin tidak banyak yang tahu soal Persik Kediri. Tetapi apabila Anda bertanya kepada generasi yang menikmati sepak bola Indonesia era lam, mereka akan menjawab bahwa dulu di awal millennium, sempat ada tim kuat dengan seragam kebanggaan berwarna ungu yang menebarkan teror dan membuat siapapun lawan mereka gentar.
Juara, juara dan juara
Awal kisahnya sedikit hampir serupa ketika Silvio Berlusconi mengambil alih AC Milan. Yang berbeda adalah Berlusconi dalam kisah Persik ini sendiri adalah H.A. Maschut, walikota Kediri periode 1999-2009.
H.A. Maschut merasa bahwa Persik yang mewakili Kediri di kancah sepak bola Indonesia harusnya bisa berprestasi lebih baik lagi. Apalagi saudara mereka, Persedikab Kabupaten Kediri, sudah sempat merasakan atmosfer level tertinggi sepak bola Indonesia sebanyak dua kali. Sementara Persik belum sama sekali.
Akhirnya pada tahun ketiga periode kepemimpinannya, H.A. Maschut yang merangkap ketua umum Persik, karena kala itu klub masih merupakan bagian dari pemerintah daerah melakukan banyak terobosan besar. Sang menantu, Iwan Budianto yang sebelumnya bekerja di Arema, ia bawa ke Kediri untuk mengurusi sisi manajerial klub.
Sementara untuk itu untuk urusan teknis, Persik kemudian mempromosikan Jaya Hartono dari posisi asisten pelatih setelah mereka sebelumnya sempat ditangani oleh pelatih legendaris, Sinyo Aliandoe.
Menghadapi divisi satu Liga Indonesia tahun 2002, Persik yang tergabung ke di Grup 3, mengontrak tiga pemain asing asal Cile yaitu Fernando, Juan Carlos, dan Alejandro Bernard. Keperkasaan Persik sudah terlihat sejak babak penyisihan.
Mereka memuncaki klasemen Grup 3 dengan lima kemenangan dari lima kali bertanding. Di fase kedua yang diadakan di Kediri, Persik juga tidak terhentikan. Sempat ditahan imbang Persma Manado dengan skor 2-2, kemenangan atas kontestan lain yaitu Persiraja Banda Aceh dan Persijap Jepara sudah cukup untuk memastikan langkah Persik ke babak empat besar yang akan dilaksanakan di Manado.
Hanya tinggal beberapa langkah lagi saja sebelum Persik kemudian melangkah ke level tertinggi sepak bola Indonesia, Persik saat itu harus bertahan di dua peringkat teratas klasemen akhir babak empat besar divisi satu pada musim tersebut.
Mimpi rasanya sempat akan kandas ketika mereka dikalahkan Persma di pertandingan perdana dengan skor 2-0. Namun, Persik kemudian bangkit dan menyapu bersih dua laga terakhir. Kemenangan tipis 2-1 di partai terakhir melawan Persegi Gianyar memastikan Persik menjadi pemuncak klasemen sekaligus juara divisi satu Liga Indonesia tahun 2002. Hasil ini juga membuat Persik berhak lolos ke divisi utama pada musim berikutnya.
“Kami memang tim kampung, tidak memiliki pemain-pemain bintang. Pernah pula suatu waktu para pemain merasa minder jika harus berhadapan dengan tim besar di sebuah stadion yang cukup ternama” – Jaya Hartono
Inferioritas betul-betul dirasakan oleh skuat Persik Kediri ketika mereka berlaga di Divisi Utama Liga Indonesia tahun 2003. Kostum warna ungu mereka sering sekali menjadi ledekan penggemar tim lain atau dianggap sebagai imitasi dari tim lain yaitu Persita Tangerang.
Apalagi laga-laga awal mereka di Divisi Utama berakhir dengan sulit. Lima laga awal mereka lalui tanpa kemenangan.
Pertandingan keenam melawan PKT Bontang yang digelar di kandang mereka stadion Brawijaya seakan menjadi sebuah titik balik. Klub berjuluk Macan Putih tersebut menang besar 4-0 atas tim asal Kalimantan tersebut.
Empat gol dicetak oleh Aris Susanto, wonderkid Johan Prasetyo, dan penyerang asing Frank Bob Manuel. Setelah laga ini Persik kemudian melaju kencang dan sulit terkejar oleh tim lain. Duet penyerang Bob Manuel dan Musikan menjadi ancaman besar bagi pertahanan tim lain. Total dari 72 gol yang disarangkan Persik Kediri pada musim itu, 69% diantaranya dicetak oleh duet penyerang asing-lokal tersebut.
Akhirnya pada 10 November 2003, Persik memastikan gelar juara Liga Indonesia setelah kemenangan besar 4-0 atas Persib Bandung di Brawijaya. Mereka berhasil meninggalkan rival terdekat mereka saat itu, PSM Makassar, dengan jarak lima poin di klasemen akhir Divisi Utama Liga Indonesia 2003.
Pesta juara baru digelar pada pekan pertandingan terakhir yang Persik tutup dengan kemenangan 3-0 atas Persikota Tangerang.
Pesta juara tersebut menutup cerita legendaris soal tim yang baru promosi ke level tertinggi lalu dengan luar biasa bisa mengakhiri musim sebagai kampiun.
Ini menjadi sangat manis karena dalam kurun waktu dua tahun mereka berhasil meraih tiga gelar bergengsi. Kampiun Divisi Satu 2002, Piala Gubernur Jawa Timur 2003, dan yang terbaik tentu gelar juara Divisi Utama Liga Indonesia tahun 2003. Sementara itu, sang pelatih Jaya Hartono masih tetap bersahaja meskipun timnya sudah dimahkotai gelar juara.
“Jelas saya terkejut bisa menjadi juara. Pada awal musim, saya tidak pernah terpikir untuk meraih gelar juara. Membayangkannya saja saya tidak berani. Kami ini kan tim dari kampung, bukan saingan tim-tim besar seperti Persija, PSM, dan Persita.”, ujar Jaya di sela-sela perayaan juara waktu itu.
Kembali juara pada tahun 2006
Setelah gelar juara yang mengejutkan pada tahun 2003 tersebut. Persik kemudian mulai diperhitungkan sebagai salah satu kekuatan besar di kancah sepak bola Indonesia. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2006, Persik kembali berhasil menjadi juara nasional.
Berbeda dengan ketika mereka juara di edisi sebelumnya, pada tahun 2006 skuat Persik jauh lebih mewah dan lebih matang. Skuat Macan Putih pada tahun 2006 memiliki komposisi yang luar biasa.
Trio bek tengah merupakan para pemain dengan pengalaman yaitu Suroso, Aris Indarto, dan bek asing, Leo Guttierez. Lini tengah sendiri ditopang oleh kapten tim Hariyanto, lalu Jefri Dwi Hadi, dan Danilo Fernando yang sempat membawa Persebaya menjadi juara Liga Indonesia.
Barisan penyerang lebih mengerikan lagi. Kala itu penyerang-penyerang Persik adalah Musikan, Johan Prasetyo, Budi Sudarsono, dan tentunya Cristian Gonzales yang kemudian mencetak gol tunggal di partai final Liga Indonesia 2006 di Stadion Manahan, Solo.
Lawan Persik di final malam itu adalah PSIS Semarang yang diperkuat oleh Emanuele De Porras dan Gustavo Hernan Ortiz.
Sayang, setelah kesuksesan di awal milenium baru, prestasi Persik seakan terus merosot. Permasalahan karena gagal meraih sponsor besar ketika harus lepas dari APBD yang merupakan syarat kompetisi baru dianggap menjadi penyebab utama penurunan prestasi Persik. Bukan hanya masyarakat Kediri, tetapi penikmat sepak bola Indonesia juga tentu berharap sang Macan Putih bisa mengaum sekali lagi di level tertinggi sepak bola Indonesia.
Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia