Dalam hidup, yang namanya persaingan sudah pasti ada dan (mungkin) bersifat kekal. Melalui persaingan, manusia mengekspresikan ego yang mekar di dada atau ide-ide liar yang kerapkali beranak pinak di kepala. Lewat persaingan juga, manusia acapkali menunjukkan jati dirinya bahwa yang kuat akan selalu lebih baik dibanding yang tak berdaya. Ya, homo homini lupus.
Tak hanya bagi mereka yang memang berada di pihak yang berlawanan, persaingan bahkan sanggup membuat ikatan darah antar saudara jadi suatu hal yang samar dan bahkan tak berharga.
Ingatkah Anda tentang hikayat Qabil dan Habil? Dua anak lelaki Nabi Adam dahulu yang kisahnya kesohor dan abadi sampai detik ini. Begitu pun dengan legenda si kembar, Remus dan Romulus, yang tumbuh besar karena disusui oleh induk serigala.
Meski memiliki ikatan darah, nyatanya kisah persaudaraan tersebut begitu tragis dan menyesakkan. Qabil menjadi manusia pertama yang mengotori tangannya dengan darah lantaran membunuh saudaranya sendiri akibat persembahannya kepada Allah, berupa hasil pertanian yang agak busuk, tidak diterima. Disisi lain, Habil yang menggembalakan hewan ternak justru memberi persembahan berupa hewan-hewan terbaik.
Kecemburuan ini yang kemudian merangsang pikiran jahat Qabil sehingga membunuh saudaranya sendiri. Padahal, tujuan Allah meminta keduanya memberi persembahan tak lain tak bukan adalah untuk mengajarkan tentang ketulusan dan keikhlasan.
Sementara itu, kisah tragis diantara Remus dan Romulus yang hidup di zaman Romawi dahulu terjadi hanya karena silang pendapat mengenai di wilayah mana sebaiknya mereka membangun sebuah kota baru yang kelak akan menjadi besar dan memiliki pengaruh hebat dalam peradaban dunia. Sebuah kota yang kemudian populer dengan nama Roma serta berjuluk Kota Abadi.
Remus saat itu ingin membangun kota di bukit Aventine tatkala Romulus bersikeras membangunnya di wilayah utara, tepatnya di bukit Palatine. Ketidaksamaan persepsi inilah yang kemudian membuat Romulus mengangkat pedang dan membunuh saudaranya tersebut.
Berselang jauh dengan masa di mana Qabil dan Habil atau Remus dan Romulus hidup, terjadi pula sebuah persaingan maha panas antar dua saudara. Adalah kota kecil bernama Herzogenaurach yang terletak di sebelah barat laut kota Nuremberg, Jerman, yang menjadi latar rivalitas panas antara kakak beradik bernama Rudolf dan Adolf, dengan nama belakang, Dassler.
Di tahun 1920-an, kedua saudara yang akrab dipanggil dengan nama Rudi dan Adi ini menghabiskan waktunya untuk membuat sepatu di dapur ibunda mereka. Sepatu-sepatu tersebut kemudian dilego dengan merek Dassler Brothers.
Perbedaan watak dan keterampilan keduanya pun sudah tampak saat itu. Adi, merupakan sosok yang rela menghabiskan harinya hanya untuk menjahit sepatu-sepatu buatannya. Sementara Rudi, adalah seorang salesman ulung yang siap berkeliling kemana saja demi menjual sepatu-sepatu yang mereka buat.
Pada akhirnya, berkat ketekunan dan ketelitian Adi serta kemampuan Rudi dalam melakukan persuasi agar barang dagangannya laris, kesuksesan pun menghampiri tanpa malu-malu. Produk sepatu yang mereka buat dianggap memiliki kualitas yang sangat bagus di era tersebut.
Kualitas sepatu yang ciamik plus lihai dalam melakukan penjualan berujung pada bersedianya pelari Amerika Serikat, Jesse Owens, mengenakan sepatu Dassler Brothers saat beraksi di ajang Olimpiade Berlin tahun 1936. Pada kejuaraan tersebut, Owens sendiri berhasil membawa pulang empat buah medali emas. Pangsa pasar sepatu Dassler Brothers pun makin luas, begitu pun dengan nilai penjualan yang terus merangkak naik.
Akan tetapi, keberhasilan itu juga yang menaikkan “ bibit perpecahan” diantara mereka. Terlebih, walau tinggal satu atap, istri Rudi dan Adi juga tidak cocok satu sama lain. Belum lagi kecurigaan antar saudara yang meninggi kala Nazi berkuasa di Jerman sampai meletusnya Perang Dunia II. Situasi keduanya pada saat itu bak dua orang yang bukan berasal dari rahim perempuan yang sama.
Rudi dan Adi pun kemudian sepakat untuk “bercerai”, walau tetap bergerak di bidang bisnis sepatu. Adi, kemudian mendirikan sebuah perusahaan yang kini kita kenal dengan nama Adidas, berasal dari gabungan nama depan dan belakang Adolf “Adi” Dassler. Sementara Rudi, pada awalnya juga mengikuti langkah sang adik pasca meluncurkan brand Ruda (dari nama Rudolf Dassler) sebelum kemudian putar haluan dan memilih nama yang lebih sporty, Puma.
Sejak saat itu juga, sekitar penghujung 1940-an, Herzogenaurach yang dilintasi Sungai Aurach “terbagi” dalam dua blok. Wilayah utara sungai merupakan area di mana pabrik Adidas berdiri. Sementara zona selatan sungai, menjadi kepunyaan Puma.
“Peperangan” antara Rudi dan Adi pun semakin sengit, mereka berlomba-lomba menghasilkan produk yang lebih baik. Ranah persaingan tersebut tak hanya sebatas pada sepatu saja tapi juga beraneka produk lainnya. Banyak atlet maupun tim olahraga yang kemudian yang di-endorse guna mengangkat citra masing-masing sebagai brand peralatan olahraga unggulan.
Lebih dari itu, konon katanya Rudi kerap cemberut apabila tamu yang datang ke kediamannya mengenakan produk Adidas. Begitupun Adi yang gemas melihat kliennya justru memakai barang dengan merek Puma.
Namun dibalik cerita panas kakak beradik yang mangkat pada era 1970-an ini, terdapat kisah-kisah menggelikan yang terjadi di Herzogenaurach. Selayaknya Rudi dan Adi yang berpisah hingga membentuk dua entitas berbeda dalam wujud Puma dan Adidas, masyarakat Herzogenaurach pun begitu.
Warga utara sungai Aurach kebanyakan adalah pemuja Adidas sehingga pakaian, alas kaki hingga peralatan olahraga yang mereka kenakan adalah buatan pabrik milik Adi tersebut. Sebaliknya, orang-orang selatan yang lekat dengan Puma kepunyaan Rudi juga melakukan hal serupa. Begitu juga dengan bar atau toko-toko di Herzogenaurach yang cuma melayani orang-orang yang mengenakan produk tertentu, entah itu khusus bagi pemakai Adidas atau Puma saja.
Bahkan terdapat semacam aturan tak tertulis bahwa menikah atau berkencan dengan orang-orang yang berbeda kiblat produk yang dikenakan dan disukai adalah hal yang dilarang. Peristiwa ini pula yang kemudian membuat Herzogenaurach dijuluki sebagai “The Town of Bent Necks” lantaran penduduknya akan melihat pakaian atau sepatu merek apa yang Anda kenakan sebelum kemudian mengajak Anda bicara.
Di Herzogenaurach sendiri terdapat dua klub sepak bola yakni ASV Herzogenaurach dengan lekat dengan warna merah dan 1.FC. Herzogenaurach yang identik dengan warna biru. Sepanjang sejarah berdirinya kedua klub tersebut, mereka memiliki kiblat sendiri perihal sponsor peralatan olahraga yang mereka pakai. ASV Herzogenaurach merupakan “jatah” Adidas sedangkan 1.FC Herzogenaurach merupakan “ladang” bagi Puma.
Setelah memutuskan untuk membangun brand-nya sendiri-sendiri, dua saudara ini memang tak pernah mencoba untuk merekonsiliasi hubungannya. Hal itu pun sampai dibawa hingga keduanya tiada, buktinya adalah liang lahat Rudi dan Adi yang terletak amat berjauhan meski berada di kompleks pemakaman yang sama di Herzogenaurach.
Keturunan dari masing-masing kakak beradik ini pun dikabarkan tidak pernah menghubungi satu sama lain. Seolah hubungan Rudi dan Adi sebagai saudara dan keluarga benar-benar sudah terputus.
Walau sudah terjadi sekian lama, sinisme kembali merebak di Herzogenaurach saat cucu dari Rudi, Frank Dassler, yang tumbuh dalam lingkungan pemakai Puma justru bekerja di Adidas. Koran-koran lokal bahkan sampai mengangkat berita tersebut.
Begitu juga dengan keluarga Frank yang tak begitu suka dengan keputusan yang diambil Frank. Anggapan bahwa Frank telah mengkhianati sang kakek pun mengemuka. Namun Frank, menanggapi hal tersebut dengan tenang.
“Rivalitas tersebut boleh saja tetap ada. Namun tak sepatutnya memengaruhi kita (keluarganya) yang hidup saat ini. Cukuplah itu menjadi bagian dari sejarah”, papar Frank seperti dikutip dari dw.com.
Kini, persaingan sengit Adidas dan Puma untuk menjadi brand olahraga papan atas dunia masih terus terjadi. Masing-masing mengembangkan bisnisnya dengan cara dan pendekatan yang berbeda guna menarik minat konsumen.
Walau begitu, kehidupan di Herzogenaurach takkan sepanas dan segila dahulu yang begitu jelas terkotak-kotak. Anda akan dengan mudah menjumpai orang-orang yang bersepatu Adidas namun mengenakan polo bermerek Puma begitu juga sebaliknya. Bahkan sekarang, mata Anda pun akan sangat gampang melihat produk-produk buatan rival keduanya asal Amerika Serikat, Nike, berseliweran di Herzogenaurach.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional