Sabtu pagi ini, usai menarik tangan ke atas dan menggeliat dengan nikmat di kasur, saya sigap meraih gawai yang tergeletak beberapa senti jauhnya dari kasur. Dulu, saya tidak sering melakukan ini: meletakkan gawai jauh dari kasur.
Gawai yang tiap hari semakin lebih cerdas dari otak manusia itu, selalu setia berada di dekat jangkauan tangan saya. Sampai suatu hari, sebuah artikel kesehatan menyadarkan saya bahwa meletakkan gawai dengan jarak yang bisa digapai tangan kita dari kasur bisa merusak otak manusia. Mengerikan membayangkan alat kecil itu bisa mendalangi rusaknya otak manusia dan ribuan sel-sel cerdas di dalamnya.
Ketika membuka tampilan home, gawai pintar ini langsung menampilkan info menarik: nanti malam akan ada pertandingan sepak bola. Untuk informasi itu, saya patut berterima kasih kepada Google Calendar dan bagaimana mereka memanfaatkan teknologi untuk membantu kaum-kaum urban pemalas seperti saya. Saya penonton sepak bola yang kaffah, tapi yang pasti, saya bukan orang yang rajin mengecek jadwal pertandingan.
Line dan Twitter mengabari bahwa ada beberapa pesan dan mention yang masuk. Menyenangkan menyadari sedari pagi ketika kamu bangun dan menemukan banyak pesan masuk di gawai pintarmu. Hal-hal kecil itu memberi tanda bahwa kamu masih diakui eksistensinya sebagai manusia yang ada dan hidup.
Sebagai bagian dari generasi milenial yang bergegas, saya lekas membuka Twitter. Linimasa ini adalah favorit saya. Walau pengikut akun Twitter saya hanya ratusan, setidaknya membuat saya gembira membayangkan tiap kicauan saya nantinya akan dibaca 500-an orang lebih. Hal sederhana yang kalau kamu syukuri benar, hidup menjadi terasa lapang dan tenteram. Cobalah sesekali.
Di Twitter, kamu tidak akan menemui orang-orang dengan nama akun yang panjang seperti lokomotif kereta. Itu sisi positifnya. Dulu saya menemukan beberapa orang yang cukup kreatif memberi nama yang ajaib untuk akun Facebook pribadinya. Di Twitter, kamu tidak bisa merdeka sepenuhnya dalam hal memberi nama akun yang panjang dan surealis. Selain itu, saya suka Twitter karena tampilannya yang simpel dan sederhana. Tidak cukup banyak iklan, dan tentunya, tidak ditempati para maniak-maniak penggila Facebook yang radikal.
Hal pertama yang saya cek pagi ini adalah kepastian tentang siapa kira-kira gelandang tengah yang akan diturunkan Arsene Wenger malam nanti. Beberapa akun media dari Inggris yang saya ikuti di Twitter menurunkan prediksinya. Hal yang walau tidak benar-benar saya sukai, tapi acapkali membantu memberi info yang bagus di pagi hari.
Prediksi pertandingan di media sosial adalah hal fana. Kamu tidak bisa memprediksi jalannya laga. Sepak bola, seperti juga jodoh, rezeki dan kematian, adalah rahasia hidup. Saya pernah kenal beberapa orang yang merasa hebat karena tepat dalam menebak skor akhir sebuah pertandingan sepak bola. Dan karena orang-orang seperti ini, saya seringkali mempertaruhkan beberapa rupiah uang untuk digandakan jumlahnya. Beberapa kali sukses, tapi seringkali gagal. Wajar, namanya hidup, tentu tidak akan menang terus. Real Madrid dan Chelsea saja akhirnya kalah usai serentetan laga unbeaten, apalagi saya.
Telegraph mengabarkan bahwa Arsene kemungkinan akan menurunkan Alex-Oxlade Chamberlain di pos gelandang tengah malam nanti. Saya suka berita ini. Jeorge Bird, kolumnis Squawka dan juga seorang Gooner, bilang bahwa Arsene perlu coba Jeff Reine-Adelaide atau Ainsley Maitland-Niles sebagai tandem Francis Coquelin di tengah. Kepala saya mulai perlahan mencerna informasi ini. Memakai pemain-pemain muda untuk melawan Antonio Conte dan pasukannya yang buas itu?
Chelsea memang diunggulkan malam nanti, walau di pertemuan pertama di Emirates, Arsene Wenger mengajari betul tim London Barat ini cara untuk bermain sepak bola dengan efektif dan efisien. Tapi selayaknya hidup yang naik-turun, beberapa bulan usai kemenangan tiga gol tanpa balas itu, Arsenal justru mengekor Chelsea dengan selisih sembilan angka.
Melihat informasi itu di Twitter, saya merasa mual. Ditambah sedikit rasa pusing dan kantuk yang kembali menyergap. Saya tentu ingin sekali menyaksikan laga Arsenal nanti malam. Bukan hanya sebagai seorang Gooner, tapi juga sebagai penikmat sepak bola. Tapi membayangkan Arsenal yang datang ke Stamford Bridge dengan lini tengah hanya menyisakan pemain-pemain muda dan seorang Francis Coquelin, perut saya tiba-tiba mual.
Usai menimbang apakah sebaiknya saya ke kamar mandi untuk cuci muka atau berbaring kembali di kasur, saya memutuskan mengambil opsi kedua. Kasur memberikan apa yang tidak Arsenal berikan kepada suporternya dalam satu dekade terakhir: Perasaan nyaman dan sandaran yang empuk.
Tapi beginilah sepak bola, perasaan waswas membuat olahraga ini disukai banyak orang. Kamu perlu merasa waswas agar tahu bahwa hidup pun sewaktu-waktu bisa merenggut nyawamu dalam sekejap, persis seperti sepak bola. Kamu akan mendominasi jalannya laga selama 90 menit penuh untuk kemudian kebobolan di menit 91 atau 92 dan kemudian kalah. Sesederhana itu.
Sabtu pagi di akhir pekan adalah saat-saat menyenangkan. Akhir pekan adalah waktunya untuk sepak bola, sekaligus eskapisme terbaik usai kepenatan kerja di hari Senin sampai Jumat yang menghimpit tubuh dan otak manusia. Mengadakan pertandingan sepak bola di akhir pekan adalah pemenuhan makna dari apa yang sebenarnya kita yakini sebagai makna penting dari sepak bola.
Sepak bola adalah permainan, tidak semata hanya soal pertandingan. Menang dan kalah membuat olahraga ini mutlak sebagai pertandingan, tapi euforia yang ia berikan tiap pekannya, membuat ia memenuhi maknanya sebagai sebuah permainan. Dan dengan memainkannya di akhir pekan, persis ketika banyak orang mendapatkan banyak waktunya untuk bersantai di depan layar kaca atau pergi ke stadion, sepak bola memenuhi tugasnya sebagai pembawa kebahagiaan bagi sebagian besar penduduk Bumi.
Saya masih mencoba menimbang apakah sebaiknya lanjut untuk tidur sampai siang atau bergegas mandi. Tapi membayangkan Arsenal akan melawan Chelsea dengan performa yang tak memuaskan tengah pekan kemarin kontra Watford, saya memutuskan untuk bangkit dari kasur, membuka layar laptop dan menuliskan catatan ini. Setelahnya, mungkin saya akan tidur. Setidaknya, sampai kick off laga Chelsea melawan Arsenal nanti malam.
Isidorus Rio Turangga – Editor Football Tribe Indonesia