Kolom Eropa

Apakah Semua Salah Frank De Boer?

Pada 8 Agustus 2016 kemarin, sebuah kabar mengejutkan sekaligus dinanti-nantikan oleh Interisti, pendukung setia Internazionale Milano, akhirnya muncul juga. Usai dibungkam Tottenham Hotspur di laga pramusim dengan skor tenis 6-1, manajemen Inter secara resmi mendepak Roberto Mancini dari kursi pelatih via “kesepakatan bersama”.

Kepergian pelatih yang akrab dipanggil Mancio tersebut merupakan angin surga bagi mayoritas Interisti. Pasalnya, di periode keduanya menukangi Inter setelah musim 2004/2005 hingga 2007/2008, La Beneamata dianggap tak menampilkan sesuatu yang layak buat ukuran klub besar meski Inter dibawanya finis di peringkat empat klasemen akhir musim 2015/2016. Posisi itu sendiri merupakan yang terbaik bagi klub asal Milan dalam kurun lima musim ke belakang.

Sehari berselang, Inter yang telah diakusisi konsorsium asal Tiongkok, Suning Group, mengumumkan nama bekas pelatih Ajax Amsterdam, Frank de Boer (FdB) sebagai nakhoda anyar. Harapan Interisti kepada sosok asal Belanda ini pun menyeruak. Terlebih, rapornya cukup baik kala membesut De Godenzonen dengan menyumbang empat titel juara Eredivisie secara beruntun dari musim 2010/2011 sampai 2013/2014.

Untuk membantu FdB, manajemen mengucurkan dana yang lumayan besar guna merekrut beberapa nama penggawa anyar seperti Ever Banega, Gabriel Barbosa, Antonio Candreva dan Joao Mario. Untuk memboyong mereka ke stadion Giuseppe Meazza, Inter mesti merogoh kocek sebesar €77 juta. Jelas itu sebuah nilai yang terbilang fantastis.

Debut FdB di Serie A 2016/2017 dilalui dengan bertandang ke markas Chievo Verona. Sial buat sang pelatih anyar, Inter justru dibuat bertekuk lutut oleh Valter Birsa dkk. dengan skor 0-2. Walau kecewa, Interisti setidaknya memaklumi kondisi ini mengingat FdB belum lama melatih La Beneamata.

Saat bertemu Palermo di pekan kedua Serie A 2016/2017, FdB masih belum mampu memberikan kemenangan yang ditunggu-tunggu Interisti. Sebab di partai itu, I Rosanero sukses menahan imbang Inter dengan skor 1-1.

Kemenangan yang ditunggu-tunggu itu akhirnya hadir saat Inter melawat ke kandang tim promosi, Pescara. Brace Mauro Icardi sukses membuat senyum merekah di kalangan Interisti maupun manajemen. Sepekan berselang, giliran sang rival bebuyutan, Juventus, yang dibungkam dengan skor 2-1 di kandang sendiri. Asa di dada Interisti menggelegak karena hal tersebut.

Suka tidak suka, Interisti harus mengakui jika hasil tersebut melahirkan rasa jemawa dalam sanubari. Terlebih di laga berikutnya Inter berhasil memetik angka penuh sekali lagi pasca membungkam Empoli dengan kedudukan akhir 2-0. La Beneamata pun merangsek ke papan atas klasemen sementara.

Namun sial, di empat laga Serie A berikutnya plus tiga partai di Liga Europa, Inter seolah kehabisan amunisi. Icardi dkk. hanya sanggup memetik satu kemenangan, sekali imbang dan lima kekalahan. Yang teraktual tentu kekalahan dari Atalanta di pekan kesembilan.

Nada-nada sumbang bermunculan, Interisti menuding FdB tidak becus dalam menangani Inter. Sebagian Interisti yang tak sabaran bahkan mulai menyebut jika FdB mesti dipecat. Adaptasi sang pelatih terhadap iklim Serie A dianggap lamban, belum lagi keengganannya untuk memaksimalkan tenaga pemain baru, terutama Gabriel Barbosa. Di linimasa saya semalam (23/10) bertebaran cacian, umpatan dan hestek #FdBOut sebagai pelampiasan rasa kesal Interisti.

Namun apakah performa buruk Inter, khususnya di tujuh partai terakhir semata-mata karena kelalaian FdB dalam meracik strategi? Sebagai Interista, saya pribadi kecewa dengan penampilan Inter akhir-akhir ini. Akan tetapi menyalahkan kebobrokan tersebut kepada FdB seorang sungguh perbuatan yang kurang elok.

Setiap pelatih memiliki filosofi permainannya sendiri, dan setiap filosofi itu jelas membutuhkan sumber daya (pemain) yang sesuai. Skuat Inter yang kini diasuhnya jelas tidak dibangun dengan filosofi FdB. Sialnya, barisan penggawa ini juga yang membuat Mancio kesulitan mengembangkan apa yang diinginkannya selama kurang lebih satu setengah musim kemarin.

Hal tersebut pasti menyulitkan pelatih untuk bisa meramu strategi sesuai keinginan mereka. Ingat, meskipun sanggup menyesuaikan, setiap pelatih akan selalu berpegang teguh kepada filosofi yang dianutnya.

Manajemen Inter memang membenahi sektor tengah dan depan yang dirasa punya masalah. Tapi pembenahan apa yang sudah dibuat manajemen perihal lini belakang yang kerap disorot Interisti sebagai titik paling lemah jelang musim ini bergulir? Bukankah Interisti dengan cara berjamaah sudah sering menghujat Danilo D’Ambrosio, Yuto Nagatomo, Andrea Ranocchia dan Davide Santon sebagai pemain kelas tarkam?

Lalu, apakah salah jika FdB sampai detik ini masih menurunkan mereka di medan laga akibat tak memiliki opsi yang lain? Manajer sekelas Pep Guardiola pun bisa mencak-mencak jika hanya empat nama itu yang dimilikinya untuk diturunkan secara reguler tiap pekannya.

Manajemen Inter sendiri berkali-kali menggemakan bahwa mereka sedang mengusung proyek penting. Salah satunya adalah membangun tim yang solid agar mampu bersaing. Namun bila setiap kali hasil-hasil minor menghampiri dan pelatih selalu dijadikan kambing hitam lalu dipecat, jangan bermimpi proyek tersebut akan berjalan. Karena jelas, Inter hanya menyasar hasil instan.

Jadi, mau menyalahkan FdB terus?