Eropa Inggris

Penyakit Kronis Arsenal dan Arsene Wenger

Kekalahan dari Stoke City sudah menjelaskan banyak hal, terutama soal diri Arsene Wenger yang kelewat bebal. Bebal, kronis, sebuah penyakit yang sudah menahun, menjangkiti pola pikirnya. Dan akhirnya, ketika dipermalukan Liverpool, penyakit kronis itu sudah berbahaya, tinggal menunggu waktu malaikat pencabut nyawa menghukum Arsenal.

Ketika ditundukkan Stoke City, seharusnya Wenger bisa memahami bahwa beberapa pemainnya tak berada dalam performa terbaik. Ayah yang baik akan memberi anak mereka teguran, bahkan hukuman ketika bertingkah buruk. Ayah yang buruk adalah secara buta menaruh kepercayaan dan berharap anak dengan tabiat buruk itu memperbaiki diri.

Sekali lagi, seperti yang pernah saya singgung, tak ada salahnya memberi kepercayaan. Tapi, sebagai pelatih, Anda harus menetapkan garis batas dengan jelas. Sebagai pelatih, Anda tak boleh mengorbankan perjalanan klub demi mengakomodasi pemain-pemain yang belum bisa membayar kepercayaan besar itu.

Minimal adalah mencadangkan mereka. Dengan duduk di bangku cadangan, pemain-pemain yang tengah berada dalam performa buruk mendapat kesempatan untuk memperbaiki diri. Terutama, mengamati rekan-rekannya yang tampil lebih baik. Namun, bagi Wenger, pemain-pemain yang bermain baik justru tak diberi kepercayaan.

Sejak melawan Leicester City, Hector Bellerin sudah tak berada dalam situasi yang ideal untuk bertanding. Bahkan, Anda boleh menarik waktu jauh ke belakang, ke paruh akhir musim lalu, ketika Wenger mengubah skema menjadi 3-4-2-1. Buruknya performa Bellerin berdampak langsung kepada cara bermain tim.

Puncaknya adalah gol Mohamed Salah. Bingung, Bellerin tak bisa mengontrol bola dengan baik. Kecerobohan itu merupakan wujud paling jelas tentang isi kepala Bellerin yang kesulitan fokus. Saat ini, jika Anda mencabut kelebihan akselerasi Bellerin, bek asal Spanyol tersebut menjadi seperti bek medioker saja.

Ia tak bisa melepas umpan silang dengan baik. Pun Bellerin selalu salah mengambil keputusan. Hal ini diperparah dengan keputusan buta Wenger untuk menempatkan Bellerin sebagai bek sayap kiri. Wenger memainkan pemain yang tengah tidak fokus, di posisi yang ia tak terbiasa, dan berharap yang terbaik. Sungguh memuakkan.

Apa guna membeli Sead Kolasinac, bek kiri terbaik Bundesliga musim lalu, jika ia selalu saja mempercayai pemain yang salah secara buta?

Di lini depan, lelucon terlontar dari mulut Arsene Wenger. Ia, dengan keras kepala terus memainkan Danny Welbeck. Alasan yang ia gunakan adalah lantaran Alexandre Lacazette tengah berada dalam tahap adaptasi dan trio Welbeck, Mesut Özil, dan Alexis Sanchez cukup sukses musim lalu. Sebuah pandangan yang sangat naif.

Sejak pramusim, hingga dua pertandingan awal Liga Primer Inggris, Lacazette terlihat sudah padu dengan rekan-rekannya. Keberhasilannya ini menjadi bukti tinggi level determinasi Lecazette untuk segera beradaptasi. Ini tipe pemain yang dibutuhkan di pertandingan berat seperti melawan Liverpool tempo hari.

Dan jelas, melawan Stoke City, Welbeck membuang jutaan momentum untuk mencetak gol. Welbeck bisa bermain melebar dan merenggangkan pertahanan lawan? Lacazette juga bisa dan lebih efektif. Lacazette membuat berbagai macam peluang bisa menjadi gol, bahkan di tengah situasi sulit, seperti golnya ke gawang Leicester City.

Apa yang dilakukan Wenger ketika kesulitan membobol gawang Stoke? Ia memasukkan Theo Walcott dan memilih menggantikan Lacazette. Welbeck, yang sepanjang pertandingan menjadi pecundang, bisa menikmati kemewahan bermain selama 90 menit. Buruknya performa Welbeck terbawa ke Anfield.

Ketika ia menerima umpan terobosan Alexis Sanchez, Welbeck langsung berhadapan dengan kiper. Ia membuang peluang emas di depan mata, peluang emas yang sangat bisa mengubah jalannya pertandingan. Tendangannya melambung tinggi, padahal sisi kiri kiper Liverpool terbuka cukup lebar.

Bagaimana jika Lacazette yang berada dalam situasi yang sama? Ketika Lacazette dipepet bek Stoke, ia bisa mempertahankan bola, berkelit, dan melepaskan tembakan. Gol terjadi, meski dianulir oleh wasit karena dianggap offside, meski sebetulnya dalam tayangan ulang, Lacazette berada dalam posisi onside.

Penyakit Wenger untuk terus-menerus memercayai pemain yang salah sudah terjadi sejak dua musim ke belakang. Saya tak perlu mengulang lagi bukan perihal perlakuan Wenger kepada Joel Campbell dan Lucas Perez? Dua pemain yang selalu bermain dengan kesungguhan dan dengan keterbatasan kesempatan, mereka memberi hasil maksimal.

Kini, keduanya berada di ambang pintu kepergian. Dan melihat sikap bau anyir Wenger, memang sebaiknya Joel dan Lucas angkat kaki. Bakat dan kontribusi mereka lebih dihargai di tempat lain. Jangan membuang waktu dengan Wenger.

Ya, beberapa pemain pun tak mau membuang waktu lagi untuk berurusan dengan Wenger. Sikap Alexis, Mesut Özil, dan Alex Oxlade-Chamberlain yang berpikir sangat panjang sebelum memperpanjang kontraknya seharusnya menjadi alarm bagi manajemen Arsenal. Manajemen yang terlalu lembek, terlalu pengecut untuk memecat Wenger.

Wenger yang takut dengan status pensiunan dan manajemen yang lembek, takut kehilangan keuntungan karena melepas manajer keuangan mereka yang berhasil membangun stadion.

Keberadaan dua entitas ini yang kini membawa Arsenal ke arah yang semakin buram. Seperti penyakit kronis, yang sudah mengakar, sudah menyebar ke semua organ dalam. Jika akarnya tak dipangkas, jangan harap Arsenal bisa berprestasi.

Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen