Nasional Bola

Menanam Perdamaian di Kawasan Joglosemar

Setelah lima hari dirawat di Rumah Sakit Santo Yusuf Bandung, Ricko Andrean menghembuskan napas terakhir. Pemuda 22 tahun tersebut menjadi korban salah sasaran. Ironisnya, Ricko, seorang Bobotoh, dikeroyok banyak orang karena membela seseorang yang disangka anggota The Jak. Seorang Bobotoh, melindungi The Jakmania.

Apabila kisah ironis tersebut benar adanya, maka pertanyaannya, apakah kemanusiaan sudah benar-benar menguap dari sepak bola? Masalah klasik ini, penyakit menahun, kronis, sudah terlalu lama dimaklumi sebagai bagian dari rivalitas. Dimaklumi, sebagai bumbu panasnya persaingan klub. Pemakluman yang bajingan betul.

Bajingan betul, karena nyawa bukan alat barter yang seimbang dengan loyalitas seorang suporter sepak bola. Anda berani mati untuk klub Anda? Bagaimana kalau saya tantang Anda berani hidup demi klub kecintaan? Berani hidup, berpikir jernih dan mendukung dengan hati yang lapang. Sebuah usaha memaklumi bahwa perdamaian juga bagian dari rivalitas sepak bola.

Cakra Wibawa, adik dari almarhum Rangga Cipta Nugraha, Bobotoh yang meninggal karena dikeroyok The Jak, menuturkan kepada Panditfootball bahwa permusuhan The Jak dan Bobotoh selayaknya berjalan 2×45 menit saja, tanpa harus ada perkelahian di antara kedua kubu suporter.

Loyalitas tidak boleh diterjemahkan dengan hati yang gelap. Mata harus terbuka, mengamati bahwa lawan pun juga manusia. Mereka dan Anda punya keluarga di rumah, yang akan mandi air mata ketika Anda mati di atas aspal panas, dengan batok kepala yang pecah dihantam batu atau dada yang remuk diinjak ratusan pasang kaki bersepatu.

Perdamaian yang digaungkan Cakra Wibawa dan keprihatinan dari peristiwa yang menimpa Ricko Andrean harus menjadi mercusuar penunjuk arah. Memberi petunjuk bahwa kehilangan orang yang dikasih itu sangat pahit. Memberi petunjuk, untuk semua suporter sepak bola di penjuru Nusantara, termasuk di kawasan panas, Joglosemar.

Previous
Page 1 / 3