Nasional Bola

Menanam Perdamaian di Kawasan Joglosemar

Kredit: Brajamusti

Kawasan Jogja, Solo, Semarang

Selama puluhan tahun, kawasan Jogja (Daerah Istimewa Yogyakarta), Solo, dan Semarang, terus menyimpan bara. Sesekali, bara itu dengan mudah membesar ketika di akhir minggu, sepak bola dihelat. Terutama ketika para klub di tiga kawasan itu saling berhadapan. Jauh sebelum hari pertandingan, nuansa kelam sudah terasa di sekitar stadion.

Ingatan masa kecil saya banyak diwarnai ujaran kebencian untuk Persis Solo. Saya seorang pendukung PSIM Yogyakarta yang dibesarkan di tengah lingkungan paling dekat dengan kantong suporter. Di dekat Stadion Mandala Krida, kegairahan menyambut laga panas dengan Persis dan tahun-tahun belakangan dengan PSS Sleman, terasa menguar.

Pembicaraan tak jauh dengan bagaimana cara menghajar suporter lawan. Sebuah pembicaraan yang kala itu terdengar begitu menarik. Beberapa kali juga saya bersinggungan langsung dengan suporter Persis Solo atau PSS Sleman. Beberapa pukulan saya mendarat di wajah mereka, pun satu dua tendangan mereka membikin punggung saya lebam dan bibir bawah pecah berdarah. Saling sapa dengan mesra.

Namun, seiring waktu, pun derasnya pengaruh politik di tengah suporter, membuat saya undur diri secara teratur dari rutinitas panas itu. Hingga kira-kira sudah delapan tahun, saya menjadi “suporter biasa”, netral, menonton dengan bapak saya, berbagi rokok dengan bapak dan sesekali bertukar salam dengan kawan tukang parkir. Perubahan ini membentuk cara pandang saya.

Saya pernah kehilangan kawan karena kerusuhan suporter. Tak elok saya ceritakan soal almarhum, yang meninggal di tengah jalur Joglosemar dan tak banyak yang tahu peristiwa itu. Beliau mengajarkan saya bahwa menonton sepak bola adalah menonton pertandingan, bukan merusaknya. Betul juga, ujaran kebencian dan aksi kekerasan justru merusak sepak bola itu sendiri.

Tak ada yang bisa dinikmati dari kesedihan yang mendalam, yang tergurat di wajah para orang tua yang anaknya mati karena sepak bola.

Saya juga mengenal salah satu suporter PSS Sleman, tidak begitu dekat, namun kami pernah terlibat diskusi yang cukup intens di Stadion Tridadi. Almarhum Eko Mondong, sosoknya masih melekat di hati saya sampai saat ini. Beliau sosok yang periang, dengan selera humor yang tinggi dan kreativitas yang mumpuni. Dan yang paling berkesan, beliau berpikiran terbuka.

Bahkan ketika tahu saya ingin bertemu dengan beliau. Sebagai suporter PSIM, yang pernah diingatkan tak boleh masuk ke Stadion Maguwoharjo, beliau menerima saya dengan ramah. Dirigen yang saya guyoni mirip vokalis Tipe-X ini tahu bahwa bibit kekerasan antara Sleman dan Jogja sudah terasa.

Pembicaraan kami singkat saja, tak ada 20 menit. Satu kalimat yang saya ingat dengan lamat-lamat adalah, “Lor karo kota sedulur. Gowo penak wae, mas.” (“Utara, Sleman, dan Kota, Jogja, adalah saudara. Bikin enak saja, mas.”) Demikian fragmen pembicaraan tentang damai yang perlu dirawat, yang bisa saya panggil ulang.

Sampai saat ini, ketika memutuskan menjadi “penonton biasa”, kalimat itu menjadi jimat saya. Bahkan, selama beberapa tahun terkahir, saya belajar menulis dan juga bekerja dengan salah satu pendiri Brigata Curva Sud. Saya menulis artikel soal PSIM untuk sebuah buku berjudul Sepak Bola 2.0, yang beliau gagas, seorang suporter PSS Sleman.

Perlu saya akui, saya rutin datang ke Stadion Mandala Krida, menonton PSS Sleman ketika mereka bermain di sana. Dan perlu Anda semua catat, Stadion Mandala selalu penuh. Tukang parkir bahagia, pedagang rokok tersenyum senang, dan Pak Kabul, pedagang asongan legendaris itu, bersuka ria dagangannya selalu ludes terjual.

Corak kebahagiaan itu tak akan kita temui jika kekerasan menjadi warna tunggal di tengah rivalitas.