Mari kita asumsikan data statistik yang tersedia sekarang ini sepenuhnya menentukan kemampuan seorang pemain atau bahkan kualitas sebuah tim. Maka kita dapatkan gambaran kurang lebih seperti empat paragraf berikut.
Uang dapat membeli kualitas. Kualitas dalam sepak bola ditentukan oleh tindakan seorang pemain yang dapat diukur dan dihitung. Gol yang dicetak, asis yang diberikan, umpan yang dibuat, tekel yang dilakukan, dan seterusnya. Semua yang biasa kita sebut sebagai data statistik.
Bursa transfer mencerminkan hal ini. Data-data statistik sangat mudah kita percayai sampai-sampai kita menganggap data-data tersebut adalah satu-satunya faktor yang secara signifikan menentukan harga. Gol, asis, akurasi umpan, bahkan tipuan dan trik dengan mudahnya mendongkrak mahar pemain.
Uang membeli kualitas, karena itu pemain sepak bola terbaik akan pergi ke klub terkaya. Gaji yang lebih tinggi, fasilitas yang lebih baik, dan kota yang lebih populer dan prestisius. Klub terkaya itu akan memenangkan semua gelar dan bergelimangan trofi. Sementara pemain-pemainnya akan mengakhiri karier dengan rangkaian medali-medali mengesankan.
Klub-klub besar dan kaya menang. Mereka menang karena didorong oleh superioritas ekonomi. Jutaan paun, euro dan dolar mengendap dalam rekening bank. Uang berbicara dan uang membeli kualitas.
Klub-klub kaya terus menang artinya semua usaha klub-klub yang tidak lebih kaya hanya sia-sia. Jika memang benar begitu, lalu apa serunya sepak bola? Apa asiknya sebuah permainan jika pemenangnya sudah dapat ditebak?
Untungnya, hal yang kita asumsikan di awal tidak sepenuhnya benar. Statistik yang tersedia sekarang belum dapat menggambarkan kualitas secara keseluruhan. Jangankan kualitas sebuah tim, kualitas seorang pemain saja belum.
Penyebabnya, data statistik yang tersedia kebanyakan adalah data tindakan pemain yang melibatkan bola atau “on the ball” yaitu saat pemain menguasai bola. Sementara itu, saat pemain tidak menguasai bola atau “off the ball” banyak data yang tidak tersedia.
Padahal dari 90 menit pertandingan sepak bola, seorang pemain hanya menghabiskan waktu kira-kira satu menit saja untuk menguasai bola. Chris Carling dalam Journal of Sports Sciences mengatakan bahwa rata-rata pemain menguasai bola hanya 53,4 detik setiap pertandingan. Data ini ia peroleh dari hasil analisis 30 pertandingan Ligue 1 musim 2007/2008 dan 2008/2009. Memang penelitian ini dilakukan sepuluh tahun lalu, namun masih sangat relevan.
Dari data yang dikemukakan Carling, dapat kita simpulkan bahwa statistik “on the ball” seperti yang banyak kita kenal saat ini hanya menggambarkan tidak lebih dari satu menit pemain tersebut di atas lapangan. Lalu masih percayakah Anda bahwa statistik menggambarkan kualitas pemain secara keseluruhan?
Statistik yang sekarang tersedia hanya memberikan sedikit gambaran tentang kemampuan seorang pemain ketika menguasai bola. Dalam hal ini berarti saat timnya berada dalam fase menyerang atau dalam fase transisi dari bertahan ke menyerang. Statistik ini cocok untuk menggambarkan betapa garangnya pemain seperti Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Robert Lewandowski dan sejumlah pemain elite lainnya ketika menguasai bola.
Sayangnya, dengan bumbu-bumbu statistik, membuat harga pemain-pemain tersebut melambung tinggi dan tidak akan terjangkau oleh klub-klub yang memiliki masalah finansial karena pemiliknya tidak sekaya Sheikh Mansour yang kekayaannnya bisa digunakan untuk bermain Football Manager di dunia nyata.
Namun, masih ada angin segar bagi klub-klub yang hanya bisa memimpikan memiliki pemain seperti Messi dan kolega. Karena tidak lengkapnya data statistik off the ball, mereka justru dapat memanfaatkannya dengan tidak banyak melibatkan penguasaan bola. Data statistik off the ball ini merupakan variabel yang tidak terkira. Dengan tidak banyak melibatkan bola, masih ada kemungkinan bagi mereka untuk memenangkan pertandingan. Siapa tahu saja pemain-pemain mereka ternyata lebih baik ketika tidak menguasai bola.
Situasi tim yang off the ball sendiri memang identik dengan fase bertahan. Dengan kata lain, klub-klub semenjana ini lebih disarankan untuk bermain bertahan. Itulah sebabnya ketika sebuah tim memiliki statistik yang kalah mentereng dari lawannya, mereka akan bermain lebih bertahan dan sudah lazim terjadi.
Lalu mengapa statistik off the ball jarang ditemukan? Karena pergerakan off the ball dari seorang pemain saat fase bertahan sulit diprediksi mengingat tindakan pemain saat tidak menguasai bola sangat bergantung pada pemain lawan yang menguasai bola. Beberapa tindakan dari pemain tersebut tidak banyak memberi efek pada dinamika permainan sehingga sulit dilihat. Pemain tersebut bergerak seperti dalam bayang-bayang.
Namun seiring berkembangnya analisis taktik, saat ini sudah ada beberapa perhitungan data statistik off the ball seperti jarak tempuh pemain atau jumlah sprint yang dilakukan oleh pemain tertentu. Sayangnya, tanpa konteks yang dibutuhkan, angka-angka ini tidak ada artinya.
Akan lebih berarti jika data yang diperoleh adalah jumlah sprint yang dilakukan untuk merebut bola ketika tim kehilangan penguasaan bola dan dengan begitu, data ini dapat mengidentifikasi pemain yang baik ketika melakukan counter-pressing misalnya. Atau jarak rata-rata antara bek kiri dan bek tengah kiri ketika fase bertahan yang bisa berguna untuk menentukan pemain yang cocok untuk menjaga kompaksi.
Di masa depan mungkin semua data statistik baik on the ball maupun off the ball akan dapat terekam seluruhnya. Dan saat itu terjadi, maka asumsi kita dan gambaran di awal tulisan ini bisa saja menjadi nyata. Kemudian pertanyaan yang sama kembali muncul, apa asyiknya sebuah permainan sepak bola jika pemenangnya sudah dapat ditebak dari catatan di atas kertas?
Lagipula ketika semua data dalam sepak bola sudah dapat terekam dan terprediksi dalam bentuk angka, bermain sepak bola tak ubahnya bermain kalkulator. Apa serunya?
Author: Andhika Gilang (@AndhikaGila_ng)
Mahasiswa yang ngampus di tribun stadion