Cerita

Krisis Identitas Menghantui TIRA-Persikabo

Satu ‘nama baru’ menghiasi belantika sepak bola Indonesia musim ini. Datang dari Bumi Pajajaran, PS TIRA kini bertranformasi usai merger dengan salah satu klub legendaris di era Divisi Utama, Persikabo Kabupaten Bogor. Namun krisis identitas menghantui TIRA-Persikabo, nama baru yang diusung dengan dalih menghargai historisitas kedua klub.

Semua bermula dari keinginan kembalinya Young Warriors bermarkas di stadion Pakansari usai sebelumnya pada musim 2018 sempat mengungsi ke stadion Sultan Agung di Bantul, DIY, sekaligus mengganti nama mereka dari PS TNI menjadi PS TIRA.

Krisis identitas yang menghantui klub ini sebenarnya sudah berjalan lama usai PSSI kembali diaktifkan FIFA beberapa tahun lalu. Ketika itu tak hanya PS TNI, ada sejumlah klub juga ikut berganti wajah.

Sebut saja Arema yang menanggalkan kata ‘Cronus’ di belakang nama klub, lahirnya dua wakil dari pulau Madura dan Bali serta Bhayangkara FC yang sukses menjadi klub korps pertama yang meraih gelar juara liga. Suka tidak suka, nama-nama di atas dijuluki sebagai klub siluman atau klub baru yang mengambil jalan pintas untuk tampil di kasta tertinggi.

Baca juga: PS TIRA Dan Tugas Berat Musim Depan

Namun nahas bagi TIRA-Persikabo atau disingkat TR-Kabo ini, karena hingga kini mereka masih gagal membangun klub yang benar-benar memiliki basis pendukung yang kuat di samping performa mumpuni di lapangan.

Sementara Arema FC, Madura United, Bali United dan Bhayangkara FC mampu nangkring di tujuh besar musim lalu, bahkan Young Warriors harus berjuang hingga menit-menit akhir untuk lepas dari jerat degradasi agar tak menanggung malu sang Ketua Umum federasi yang kebetulan adalah seorang purnawirawan TNI.

Kepindahan PS TIRA ke Bantul di 2018 jelas merupakan bunuh diri karena ternyata rakyat Yogyakarta tak dapat membantu para TNI seperti yang dicita-citakan di balik nama TIRA. Mereka jelas lebih memilih setia pada tiga klub yang berlaga di divisi bawah: PSIM Yogyakarta, PSS Sleman, dan Persiba Bantul daripada menonton PS TIRA.

Namun alih-alih berharap mendapat dukungan saat kembali ke Bogor, Young Warriors yang nekat merger dengan klub legendaris sekelas Persikabo yang justru harus menelan pil pahit.

Pasalnya pada pertandingan kontra Semen Padang di babak 32 besar Kratingdaeng Piala Indonesia 2018/2019, stadion Pakansari yang berkapasitas 30.000 penonton terlihat hampir kosong. Miris memang karena TR-Kabo gagal menarik minat Kabomania untuk mendukung mereka.

Bahkan muncul pernyataan boikot dari pihak Kabomania seperti tertulis di akun resmi Instagram mereka @kabomania2007, “Jangan karna hanya segelintir orang atau beberapa orang kalian memvonis bahwa elemen suporter Kabomania hadir untuk mendukung klub tersebut (TR-Kabo) kemarin.”

Kelompok suporter yang baru-baru ini merayakan hari ulang tahunnya ini pun menegaskan akan tetap setia mendukung tim asli kota Bogor meski tak bermain di kasta tertinggi. “Sekali lagi jika ada yang ingin mendukung (TR-Kabo) maka tanggalkanlah atribut dan ciri khas nyanyian elemen suporter Kabomania.”

Petaling Jaya City dan sederet klub siluman lainnya di Asia Tenggara

Tak hanya di Indonesia, krisis identitas seperti yang menghantui TR-Kabo juga dialami beberapa tim di liga-liga Asia Tenggara lainnya termasuk Malaysia dan Thailand. Beberapa waktu lalu publik Negeri Jiran dihebohkan dengan kemunculan salah satu ‘klub siluman’ yang akan berlaga di Liga Super Malaysia 2019 yakni Petaling Jaya City.

Petaling Jaya City atau PJ City merupakan usaha rebranding dari klub MISC-MIFA yang baru saja promosi ke kompetisi kasta tertinggi di Malaysia tersebut. Awalnya klub yang berdiri pada 2004 tersebut adalah klub yang menjadi wadah para pesepak bola beretnis India sesuai dengan namanya, Malaysian Indian Football Association.

Sepuluh tahun berselang MIFA bersama MISC (Malaysian Indian Sports Council) melebur menjadi satu dan mulai berkompetisi di kasta ketiga sepak bola Malaysia. Perubahan MISC-MIFA ke PJ City dikepalai oleh Datuk Seri Vijay Eswaran yang menjadi pemilik QI Group salah satu rekanan resmi klub sepak bola asal Inggris, Manchester City.

Hal inilah yang membuat mereka meluncurkan logo yang mirip dengan klub asal kota pelabuhan tersebut. Uniknya banyak fans baik di Malaysia maupun dari luar Malaysia mengolok-olok logo klub dan melabelinya sebagai penjiplak. PJ City akhirnya sedikit memodifikasi logo mereka jelang matchday kedua Liga Super Malaysia lusa.

Selain logo, beberapa penggemar juga kurang suka dengan alasan pergantian warna klub dari merah-biru ke biru muda khas The Citizens. Padahal PJ City sendiri bukan bagian dari City Football Group yang menaungi Manchester City, Melbourne City dan New York City.

Baca juga: Best XI Liga Super Malaysia 2018

Sementara itu di Thailand kemunculan BG Pathum United dan Samut Prakan City di musim 2019 ini juga menyita perhatian. Pergantian kedua klub tak hanya tentang nama tetapi juga lokasi homebase mereka per musim ini.

BG Pathum United sebelumnya bernama Bangkok Glass FC yang didirikan di 2006 sebagai klub semi-pro milik karyawan sebuah perusahaan manufaktur botol kaca. Klub yang memenangkan Piala FA Thailand di 2014 ini mengubah identitas mereka saat merayakan hari jadi ke-10 tahun.

Klub tersebut pindah dari Bangkok menuju Pathum Thani, praktis nama yang diusung mengandung unsur kedua daerah. BG merupakan singkatan Bangkok Glass sementara Pathum merepresentasikan homebase mereka sekarang. Sayang musim ini mereka terdegradasi ke Thai League 2 dan sedang berkutat dengan dukungan suporter.

Sementara itu Pattaya United yang awalnya didirikan oleh eks pemilik klub besar Chonburi, keluarga Khunpluem, resmi diambil alih oleh pebisnis Tanet Panichewa per musim ini. Klub tersebut lantas dipindahkan dari Pattaya ke Samut Prakan, sebuah provinsi yang dikenal memiliki kekuataan bisnis dan politik yang kuat di Thailand.

Gerak cepat pun dilakukan Panichewa untuk menarik minat penggemar, utamanya dengan proposal pembuatan stadion berkapasitas 32.000 kursi penonton. Kehadiran mereka mungkin terlihat bak oase di tengah keringnya aura sepak bola di provinsi tersebut, meski ternyata dukungan warga Samut Prakan belum terlihat.