Kolom Nasional

Apa Kabar Franco Hita?

Pertandingan final Copa Indonesia 2005, 19 November 2005. Partai puncak Copa Indonesia edisi perdana ini mempertemukan Arema Malang dengan Persija Jakarta. Hasil akhir pertandingan ini publik sepak bola Indonesia sudah mencatatkannya dalam sejarah. Arema menang dengan skor 4-3, dan berhasil membawa pulang gelar juara. Firman Utina muda menjadi bintang setelah mencetak hattrick pada pertandingan malam itu.

Cerita bisa jadi berakhir dengan jalan cerita yang berbeda andai Arema tidak menyamakan kedudukan setelah Persija unggul cepat melalui lesakan Adolfo Fatheca. Tim Singo Edan kemudian berhasil menyamakan kedudukan melalui sebuah gol indah dari penyerang asing asal Argentina, Franco Hita.

Menerima sodoran Erol Iba di sisi kanan pertahanan lawan, setelah satu sentuhan dengan dada, Hita kemudian menembak bola dari sudut sempit yang tidak mampu dihalau kiper Persija kala itu, Mukti Ali Raja. Sebuah gol spesial di partai yang begitu penting. Setelahnya, semangat bermain skuat Arema meningkat dan terus unggul hingga peluit panjang pertandingan berakhir dibunyikan.

Final tersebut kemudian melambungkan nama Franco Hita. Padahal sebelumnya ia didepak dari Persita Tangerang, lantaran gaya bermain dan perilakunya yang dianggap terlalu liar. Hita kemudian kembali membawa Arema menjadi kampiun Copa untuk kedua kalinya dalam dua edisi beruntun.

Sempat hijrah ke rival sekota, Persema, karier Franco sempat membaik ketika membela Persela Lamongan. Kemudian memperkuat tim peserta Liga Thailand, Chiangrai United. Sejak tahun 2013 lalu ia kembali ke tanah airnya, Argentina.

Sudah sekitar empat tahun sejak Franco masih beredar di Asia. Beruntung kami bisa berkesempatan untuk melakukan kontak dengannya melalui sambungan jarak jauh. Bisa jadi mengejutkan Anda terkait kabar terkini dari pencetak gol di partai final Copa Indonesia 2005 ini. Sekarang ia mengelola carwash atau tempat pencucian mobil di tempat tinggalnya saat ini di Cordoba, Argentina sana.

“Saya sekarang punya tempat cuci mobil di Argentina sini. Sudah berjalan beberapa tahun sejak saya meninggalkan Indonesia,” ujar Franco memulai obrolan.

Selain cuci mobil, saya juga punya ruang untuk disewakan bagi para pemilik mobil yang ingin menyimpan kendaraanya. Di sini (Argentina) cukup banyak orang punya rumah tidak punya garasi, atau tinggal di apartemen tapi tempat tersebut tidak punya lahan parkir. Jadi tempat saya menyediakan tempat parkir buat orang-orang tersebut.”

Ketika ditanya apakah sudah berhenti dari bermain sepak bola atau belum. Begini jawaban Franco, “Saya masih bermain bola. Itu olahraga yang saya cintai. Sampai sekarang saya masih bermain bola, kok. Saya bermain untuk tim Divisi Tiga Liga Argentina, Deportivo Colon. Jadi pagi sampai siang saya urus tempat cuci mobil. Lalu sore saya berangkat latihan bersama tim. Terkadang di hari pertandingan pun saya masih sempatkan untuk ke tempat cuci mobil untuk mengecek keadaan.”

Franco kemudian menceritakan bagaimana ia yang berasal dari Argentina kemudian bisa mendarat di Indonesia yang terpisah jarak puluhan ribu kilometer.

“Waktu itu saya masih bermain di Liga Chile bersama San Luis de Quolitta, dan Santiago Wanderers. Sempat kembali ke Argentina, kemudian ada kawan tawarkan saya buat bermain di Indonesia. Awalnya saya ragu, tapi akhirnya saya ambil karena penasaran. Tim pertama saya waktu pertama kali tiba di Indonesia adalah Persigo Gorontalo. Kalau tidak salah waktu itu mereka masih bermain di Divisi Satu.”

Franco kemudian mengungkapkan hal-hal yang ia ingat dari Indonesia. Termasuk para penggemar di tanah air yang menurutnya punya antusiasme yang luar biasa. Ia pun secara terang-terangan menyebutkan bahwa ia sangat merindukan Malang.

“Saya rindu Indonesia. Saya rindu pemandangannya, cuacanya, makanannya juga. Suporter di sana luar biasa. Rasanya stadion selalu penuh dalam setiap pertandingan. Orang-orang selalu datang untuk menonton tim mereka dalam setiap pekan. Luar biasa.”

“Jujur, saya sangat rindu sekali Malang. Saya cukup lama main di sana. Dua tahun bersama Arema, kemudian main untuk Persema. Sewaktu dilepas Arema (pada tahun 2006), sebenarnya banyak tawaran buat saya main di tim lain. Tetapi saya sudah terlanjur cinta kepada Malang.

“Tato singa di bahu saya pun memang kecintaan saya kepada Arema, tetapi maknanya adalah kecintaan saya kepada Malang secara khusus. Makanya waktu itu saya tidak masalah ketika dilepas ke Persema Malang. Suporter mereka juga luar biasa.”

Franco kemudian menceritakan gol mana yang paling ia ingat. Dan lawan paling sulit yang ia hadapi selama berkarier di Indonesia selama hampir 10 tahun.

“Saya cetak banyak gol ya di Indonesia? Hahaha. Tapi kalau ditanya yang paling berkesan tentu ketika final Copa 2005. Waktu itu saya bisa bawa tim juara. Terlebih lagi waktu itu ayah saya menonton pertandingan tersebut. Jadi rasanya bangga sekali.”

“Kalau soal lawan yang paling sulit saya hadapi, mungkin Leo Soputan. Bukan maksudnya saya tidak bisa lewati, tetapi melawan Leo mesti kerja lebih keras. Ia ngotot dan juga bisa main keras. Perlu lebih cerdik untuk berhadapan dengan dia.”

Mengakhiri obrolan, Franco kemudian mengungkapkan harapan yang ia pendam sejak ia meninggalkan Indonesia pada tahun 2013.

“Saya ingin sekali bermain lagi di Indonesia. Sempat ada tawaran dari salah satu klub buat bawa saya main di sana. Tetapi katanya federasi membatasi umur pemain sekarang ya? Sayang sekali, biar sudah 38 tahun, saya rasa saya masih tajam dan bugar. Karena keinginan terbesar saya adalah untuk bisa mengakhiri karier di Indoensia.”

Semoga bisa kembali ke Indonesia suatu hari nanti, Franco.

Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia