Siapa pemain Korea Selatan (Korsel) terbaik sepanjang masa? Sebagian besar mungkin akan menjawab Park Ji-sung. Namun, nama Lee Young-pyo tidak boleh kita lupakan sebagai salah satu pemain tersukses dari Negeri Ginseng tersebut.
Lee hari ini sedang merayakan hari lahirnya yang ke-41. Mantan pemain yang semasa aktif dikenal sebagai bek kiri tangguh ini lahir pada 23 April 1977 di Hongcheon, Provinsi Gangwon, di wilayah timur laut Korsel, cukup dekat dengan Korea Utara. Ia menghabiskan sebagian besar masa mudanya di klub Universitas Konkuk sebelum bergabung dengan Anyang LG Cheetah, klub yang saat ini sudah bubar.
Selama Lee bermain di klub tersebut, Anyang memenangkan K-League dan Piala Super Korea. Berkat keberhasilannya, ia masuk skuat untuk Piala Dunia 2002. Tentu saja, ajang tersebut akan sulit dilupakan oleh masyarakat Korsel, karena tim nasional mereka sanggup menembus semifinal.
Lee memang baru melakukan debutnya di Piala Dunia dalam pertandingan ketiga Korea melawan Portugal. Meski demikian, laga tersebut menjadi perkenalan yang manis bagi pemain berpostur 177 sentimeter ini. Dengan ciri khasnya yang meledak-ledak dan keterampilan olah bola mumpuni di sektor sayap kiri, para pemain belakang Portugal pun kewalahan.
Namun, penampilannya di perempat-final melawan Italia yang paling fenomenal. Umpannya kepada Ahn Jung-hwan berbuah gol kemenangan yang mengantarkan Korsel ke semifinal. Selama turnamen, Lee mengenakan nomor punggung 10 yang didamba-dambakan banyak pemain. Ahn Jung-hwan memang menjadi bintang utama di berbagai pemberitaan media dan pemain belakang Hong Myung-bo adalah pemain Korsel terbaik di Piala Dunia 2002, tetapi tidak diragukan lagi bahwa Lee Young-pyo adalah bagian penting skuat asuhan Guus Hiddink.
Ketika turnamen bersejarah bagi Korsel itu selesai, Hiddink menjadi tokoh penting yang memperkenalkan Lee di Eropa. Setelah mengambil alih PSV Eindhoven di Eredivisie Belanda, sang membawa Lee dan Park Ji-sung bersamanya. Ketika Park mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan permainan di Belanda pada musim pertamanya, Lee justru dengan cepat menjadi bagian penting di skuat utama PSV dan menjadi figur favorit penggemar.
Pada Liga Champions musim 2004/2005 ketika PSV menembus semifinal sebelum disingkirkan AC Milan dengan keunggulan agresivitas gol tandang, Lee mencuri perhatian. Di laga semifinal ketika PSV menang 3-1 itu, ia menyumbang asis kepada gol Park. Inilah puncak karier kedua pemain ini di Belanda. Musim tersebut juga menjadi musim terakhir mereka di PSV.
Kedua andalan Korsel ini lalu pergi ke Inggris untuk bergabung dengan dua klub berbeda. Lee menandatangani kontrak dengan klub London Utara, Tottenham Hotspur, sementara Park bergabung dengan Manchester United.
Di Spurs, Lee memang sulit mengulangi karier spektakuler di Belanda. Meski mengalami kemunduran ini, ia masih sanggup mencatatkan 70 penampilan untuk klub tersebut dalam tiga musim. Puncak prestasi Lee di Inggris adalah memenangi Piala Liga Inggris pada tahun 2008, yang merupakan trofi pertama Spurs selama bertahun-tahun.
Setelah itu, ia pindah ke klub raksasa Jerman, Borussia Dortmund, pada 2008. Tetapi Lee hanya bertahan semusim, sebelum pindah ke klub Arab Saudi, Al-Hilal. Meski sejak saat itu ia hilang dari pemberitaan di Eropa, ia masih sanggup memenangkan liga domestik dan Piala Pangeran Saudi.
Lee menutup kariernya bersama klub Kanada, Vancouver Whitecaps, pada usia 36 tahun. Ia menjadi inspirasi bagi para pemain muda Korsel, terutama dalam hal sukses di tim nasional dan perjalanan karier di Eropa. Selain dikenal sebagai pemain dengan bakat alami, Lee juga akan selalu disegani di negaranya karena sikapnya yang selalu menutup mata untuk menghayati lagu kebangsaan sebelum pertandingan tim nasional berlangsung.
Apakah Anda setuju jika Lee disebut sebagai pemain terbaik dari generasi 2002? Jawabnya masih ‘mungkin’, mengingat ada Park, Hong, dan Ahn. Namun, jika pertanyaan diubah, ‘apakah Lee adalah pemain dengan performa paling impresif?’ Jawabannya adalah ‘ya’.