Setelah mengalami masa kelam dalam beberapa tahun ke belakang, sepak bola Indonesia kini mulai menemui titik terang. Dicabutnya sanksi FIFA, dilanjutkan dengan terpilihnya ketua umum serta terbentuknya kepengurusan baru induk sepak bola nasional, menjadi angin segar kebangkitan industri olahraga terpopuler di dunia.
Satu per satu mulai kembali dibenahi. Diawali dengan kembalinya tim nasional berlaga di level internasional, hingga persiapan bergulirnya kompetisi domestik resmi yang sejatinya kita kenal dengan sebutan “Liga”, bukan “Turnamen”.
Liga 1 Indonesia, yang sekilas terdengar seperti nama kompetisi kasta pertama di Prancis, Ligue 1, hampir pasti dimulai bulan April nanti. Semua pihak melakukan persiapan. PSSI, badan penyelenggara liga, klub, hingga para suporter berbenah demi terciptanya sebuah kompetisi yang lebih baik.
Rasanya tak salah beranggapan bahwa kompetisi yang bahkan belum dimulai ini sudah lebih baik dari sebelumnya. Sebagai contoh, adanya prospek positif Liga 1 akan menjadi kompetisi profesional yang selama ini diidam-idamkan. Jika bukan karena prospek kompetisi yang cerah, rasanya mustahil minat seorang Michael Essien tertuju kemari.
Nama sebesar Essien yang notabene merupakan pemain yang pernah menggenggam trofi tertinggi Eropa bersama Chelsea. Belum lagi pengalamannya bermain di berbagai klub besar sekelas Real Madrid dan Lyon, hingga partisipasinya di turnamen akbar Piala Dunia bersama timnas Ghana.
Maka tak heran kehebohan akibat kehadiran Essien menyeruak tajam tatkala resmi bergabung ke Persib Bandung. Tim asuhan Djadjang Nurdjaman secara mengejutkan mengumumkan kedatangan gelandang 34 tahun, Selasa (14/3). Berita bahagia tersebut kemudian menginisiasi banyak tanggapan positif. Suara-suara bernada optimisme lantang menyebut Essien akan membawa kompetisi sepakbola Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi.
Ingat Marcus Bent?
Namun sebelum bicara lebih jauh mengenai Essien, rasanya kita tak boleh mengabaikan sejarah yang terjadi beberapa tahun ke belakang. Enam tahun silam, sepak bola Indonesia pernah dikejutkan oleh kehadiran seorang Marcus Bent.
Kakak Darren Bent yang merupakan mantan penyerang timnas Inggris kala itu menjadi pemain dengan kontrak termahal di liga dengan nilai mencapai 4 miliar rupiah per tahun. Perlu diketahui bahwa nilai kontrak tersebut setara dua kali lipat nilai kontrak Cristian ‘El Loco’ Gonzales, yang sudah terbukti sebagai predator gol terbaik di Indonesia.
Sayangnya, hasil di lapangan sama sekali tak memenuhi ekspektasi para penikmat sepak bola. Statistik mencatat Bent hanya mampu sumbangkan 4 gol dalam 11 laga bersama Naga Mekes. Selain statistik mengecewakan, Bent juga gagal mengemban peran lain. Selain mengangkat pamor kompetisi, ia sejatinya diharapkan mampu memberikan kontribusi tak kalah penting bagi tim, yaitu membina pemain muda. Bent nyatanya gagal menjadi panutan penyerang muda seperti Jajang Mulyana, yang kala itu menjadi duetnya di lini depan.
Petualangan penyerang kelahiran 19 Mei 1978 ini pun berakhir setelah manajemen Mitra Kukar memutus kontraknya di tahun 2012.
Essien = Bent 2.0?
Kehadiran Essien tentu menjadi angin segar bagi industri sepak bola tanah air. Ia diyakini akan menaikkan pamor kompetisi di kancah internasional, bahkan menjadi “pemancing” bagi pemain top lainnya untuk menjadikan klub-klub Indonesia sebagai destinasi berkarier. Namun tak menutup kemungkinan, Essien dapat menjadi Marcus Bent 2.0. Istilah tersebut merujuk pada “Web 2.0” yang menggambarkan generasi kedua World Wide Web atau yang kita kenal dengan www.
Ekspektasi tinggi publik Kota Kembang dan seluruh masyarakat Indonesia kini berada di pundak Essien. Jika nanti performanya mengecewakan, penikmat sepak bola nasional hanya akan menyaksikan generasi kedua dari gagalnya seorang Marcus Bent bersinar di Indonesia.
Terlebih, pemain berjuluk The Bison ini punya rentetan cedera panjang yang menjadi salah satu faktor utama penurunan performanya dalam beberapa tahun terakhir.
Tentunya, para Bobotoh maupun seluruh pecinta sepakbola tanah air lebih berharap Essien mampu bersinar dan benar-benar mengangkat derajat kompetisi kita. Ketimbang menjadi Bent 2.0, kita tentu bercita-cita melihatnya sebagai Essien 1.0 yang sukses menorehkan tinta emas di kancah sepak bola Indonesia sehingga dapat menelurkan Essien 2.0, 3.0 dan seterusnya.
Author: Reynaldi Manasse Parulian Siahaan (@reymanasse)
Seorang playmaker di dalam dan luar lapangan