“The ultimate measure of a man is not where he stands in moments of comfort and convenience, but where he stands at times of challenge and controversy.”
(Martin Luther King, Jr.)
Kontroversi Stefan Effenberg bukanlah sebuah ajang cari sensasi. Sebelum Zlatan Ibrahimovic berkelakar dengan kata-kata mutiara dan kesombongannya, Stefan Effenberg sudah memulainya terlebih dahulu gelandang yang pernah berseragam Bayern München dan Borussia Mönchengladbach, tidak lepas dari kontroversi selama kariernya.
Tak ayal julukan The Tiger pun melekat pada sosok Effenberg. Dia garang, punya postur tinggi tegap, dan punya suara lantang. Effenberg sering mengalami masalah dengan “lambe turah-nya”. Menentang dan tak mau mengalah juga menjadi wataknya.
Seringkali ia tak terima dan selalu menentang pada keputusan wasit yang menyebabkan ia hingga kini masih memegang rekor sebagai pengoleksi kartu terbanyak sepanjang sejarah Bundesliga, padahal posisi aslinya ialah gelandang serang.
Di luar lapangan, dia juga tidak malu dengan psywar dengan tim yang dianggapnya inferior. Dia juga pernah berseteru dengan rekan setimnya di klub dan timnas. Lothar Matthäus pernah menjadi korban keganasan mulut The Tiger yang mana bias ditemukan dalam otobiografinya yang kontroversial.
Dia menyebut Matthäus sebagai “mulut besar dan gampang menyerah” dalam bukunya, dan bahkan menyertakan sebuah bab berjudul “Apa yang Lothar Matthäus ketahui tentang sepak bola” yang hanya terdiri dari halaman kosong. Sekalipun Effenberg hanya memliki 35 caps untuk Jerman, Piala Dunia 1994 mungki jadi sebuah momen yang akan selalu diingat para pendukung tim nasional Jerman, ketika Effenberg digantikan keluar saat melawan Korea Selatan.
Penampilannya pada pertandingan itu memang dinilai sangat buruk , tak ayal saat ia ditarik keluar dan berjalan ke arah suporter Jerman yang selama pertandingan terus mengeluarkan sumpah serapah serta makian untuknya, ia mengacungkan jari tengah. Hal ini kemudian yang menyebabkan ia masuk daftar hitam skuat tim nasional Jerman.
Pada kesempatan lainnya, Effenberg berada dalam masalah pada tahun 2001 setelah dituduh melakukan penyerangan terhadap seorang wanita di sebuah klub malam di München. Dia akhirnya membayar ganti rugi 167.000 euro di luar pengadilan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Rasanya tak asing lagi bila ada celetukan yang berbunyi “Bertingkahlah seperti Effenberg”.
Menyebalkan namun jadi legenda
Adakah orang yang berani meragukan skill Effenberg? Mungkin banyak orang lupa kalau sepak bola Jerman pernah punya jenderal lapangan hijau macam ia. Punya kemampuan menggiring yang baik , visi bermain yang tak kalah prima, serta tandangan jarak jauh yang membuat lawan bergidik. “Ketika para pemain Bayern mencari tempat bersembunyi saat latihan, itu artinya Effenberg datang,” begitu gambaran mantan pelatih FC Hollywood, Ottmar Hitzfield, menggambarkan aura yang dimiliki Effenberg.
Effenberg muda mulai mencuat kariernya di tim muda Borrusia Mönchengladbach pada usia 18 tahun. Setahun bermain bersama tim muda Gladbach, ia dipromosikan ke tim senior. Tiga musim berkarier bersama tim senior Gladbach, Bayern München menaruh ketertarikan padanya.
Ternyata setelah dua musim berlalu, Bayern München merasa memulangkan kembali Lothar Matthäus dan melego Effenberg adalah keputusan yang tepat sehingga ia terpaksa dijual ke Fiorentina. Musim debutnya bersama La Viola pun malah harus menerima kenyataan bahwa timnya harus turun kasta ke Serie B.
Musim berikutnya, ia berhasil mengantarkan La Viola promosi kembali sebagai kapten. Kenyataan berkata lain, ketika berhasil mengantarkan promosi, ia justru malah di jual ke klub lamanya Gladbach.
Bersama klub lamanya ia mulai merajut asa kembali untuk bermain lebih baik. Ia mungkin sudah merasa lebih dari cukup hanya dengan bermain reguler di Gladbach. Babak baru dimulainya ketika Ottmar Hitzfeld menduduki jabatan pelatih Bayern München. Ia diberi kesempatan kedua oleh The Bavarians untuk kembali bahu-membahu bersama.
Usia Effenberg yang menunjukan ia sudah kepala tiga ketika di transfer kembali Bayern München awalnya membuat beberapa kalangan tak banyak menaruh harapan padanya. Effenberg justru sedang menapaki jalan menuju puncak kariernya. Ban kapten tak pernah luput dari lengan kirinya, seolah memberikan angin segar untuk Si Singa yang tak pernah menggaungkan aumannya.
Penunjukan dirinya sebagai kapten juga menjadi buah bibir ketika bahwa kenyataannya ia menyingkirkan nama Lothar Matthäus yang lebih “senior” dan juga Oliver Kahn yang tampil konsisten di bawah mistar München.
Bayern München langsung merasakan dampak kehadiran Effenberg di musim perdananya. Gelar Bundesliga dan Piala Super Jerman jadi hadiah perdananya, meskipun pada pagelaran final Liga Champions menghadapi Manchester United ia hampir saja mengangkat piala itu andai momen itu tak dirusak oleh dua gol pelik Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solskjaer. Musim berikutnya, Bayern dibawanya meraih semua gelar domestik, meskipun langkahnya di Liga Champions terhenti oleh Real Madrid di babak semifinal.
San Siro menjadi saksi sejarah seorang jenderal bengal yang akhirnya berhasil membawa pulang trofi Si Kuping Lebar ke kota München. Tak ayal, banyak sanjungan yang mengalir padanya. Dalam buku “Bayern: Creating a Global Superclub” yang ditulis oleh Uli Hesse pada bab “The Golden Age of Hollywood” menyebutkan bahwa kembalinya Effenberg ke Bayern merupakan sebuah jackpot dari sebuah perjudian.
“Effenberg bukanlah pahlawan, ia legenda. Pahlawan akan selalu diingat jasanya, tapi legenda tak akan pernah mati”
Author: Rashif Abitia (@rashif11)
Mahasiswa tingkat akhir yang belum mau berakhir. Sepak bola itu juga tentang ingatan dan ingatan itu seperti binatang buruan. Maka, ikatlah sepak bola dengan menulislkannya.