Nasional Bola

Elegi bagi Jafri Sastra

Ada masa di mana Jafri Sastra mengesankan semua orang. Publik sepak bola Minang bahkan sebenarnya menghargai dengan tinggi sosok pelatih asal Payakumbuh ini. Jafri sempat dianggap murid terbaik Suhatmam Imam, “guru” para pelatih asal Minang, bahkan melebihi Nil Maizar atau Indra Sjafri. Prestasi terakhirnya ketika berhasil membawa Mitra Kukar menjadi juara Piala Jenderal Sudirman pada tahun 2015 lalu menjadi salah satu acuan.

Yang membuat Jafri berbeda dengan kebanyakan para pelatih asal Minang adalah soal penyerangan. Meskipun menganut sistem yang pragmatis sama seperti kebanyakan pelatih asal Minang lainnya, biasanya tim yang ditangani Jafri juga bermain dengan apik. Transisi dari bertahan ke menyerang yang terjadi dengan merambat adalah salah satu ciri khas dari tim yang ditangani oleh Jafri Sastra.

Apa yang dilakukan oleh Jafri Sastra di Mitra Kukar dua tahun lalu adalah ciri khasnya. Bagaimana ia memainkan sepak bola dengan cara yang lebih efektif. Juga soal bagaimana ia memaksimalkan bakat-bakat muda. Masih segar dalam ingatan bagiamana pada turnamen tersebut bermunculan nama-nama seperti Yogi Rahadian, Septian David, dan tentunya Yanto Basna, yang kemudian mendapatkan gelar pemain terbaik pada turnamen tersebut.

Tapi yang terjadi setelah kesuksesan meraih gelar juara Piala Jenderal Sudirman tahun 2015 lalu rasanya mengenaskan. Jafri kemudian mendapatkan tawaran untuk menangani Persipura Jayapura. Pada awalnya ia cukup baik dalam melakukan pekerjaannya. Namun kemudian, banyak petaka terjadi. Terutama karena skema yang diusung oleh Jafri tidak sesuai dengan tim Mutirara Hitam. Bahkan, kompetisi Torabika Soccer Championship (TSC) 2016 kala itu baru setengah jalan, Jafri kemudian diberhentikan oleh Persipura.

Berlanjut ke kompetisi Liga 1 di musim selanjutnya, Jafri kembali ke Mitra Kukar dengan harapan bisa mencapai level yang sama seperti dua tahun sebelumnya. Putaran pertama sebenarnya dilalui dengan cukup baik, di mana Jafri berhasil membawa tim berada di peringkat delapan. Tetapi bencana kemudian muncul di paruh kedua. Jafri gagal mengangkat tim. Hingga akhirnya rentetan hasil buruk memaksa Jafri mundur dari pekerjaannya pada 1 Agustus 2017.

Jafri kemudian melanjutkan petualangannya di Celebest FC. Sayangnya, lagi-lagi pekerjaanya tidak berakhir dengan baik. Jafri gagal membawa tim asal Palu itu bertahan di Liga 2. Celebest FC mesti mendapati kenyataan bahwa mereka harus bermain di Liga 3 di musim kompetisi mendatang.

Jafri kemudian mendapatkan kepercayaan kembali untuk tahun 2018 ini. Ia ditunjuk sebagai pelatih baru PSPS Riau. Hal ini merupakan simbiosis mutualisme bagi kedua belah pihak. Meskipun Jafri mengaku merasa tertantang dan siap menaikkan prestasi tim, sebenarnya hal yang sama juga berlaku untuk Jafri. PSPS akan menjadi tempat baginya untuk membuktikan diri.

Menangani tim Liga 2, dan menemukan jalan kembali ke kompetisi level tertinggi, juga sudah dilakukan oleh beberapa pelatih lainnya musim lalu. Masih segar dalam ingatan bagaimana Alfredo Vera dan Djadjang Nurdjaman menemukan jalan kembali setelah menangani tim Liga 2 dan membawa kesebelasan yang mereka tangani promosi ke Liga 1. Apakah hal serupa akan terjadi kepada Jafri Sastra?

Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia