Manchester United (MU) yang selama tiga musim ke belakang menjadi bahan olokan dunia saat ditangani David Moyes dan Louis van Gaal (LvG), kembali memancarkan sinyal perlawanan di papan atas klasemen musim ini.
Tolong dipahami sebentar, papan atas, bukan empat besar, ya. Peringkat satu sampai enam boleh kita sepakati saja sebagai papan atas, demi menghargai upaya tim besar dari Manchester ini mengokupansi peringkat enam selama tiga bulan lebih.
Biar bagaimanapun, MU telah memasuki era baru di bawah kendali Jose Mourinho. Meski sempat tersendat di awal musim, tim berjuluk Setan Merah ini perlahan memperbaiki performa mereka dalam enam belas pertandingan terakhir dengan catatan mentereng: tiga belas kemenangan dan tiga kali hasil imbang. Tentu tidak mudah bagi Mou untuk mengembalikan performa United seperti era Sir Alex Ferguson setelah tiga tahun keterpurukan yang mereka derita.
Satu hal wajib yang Mou lakukan pada awal musim, setelah musim-musim memalukan, tentu saja mendatangkan pemain baru yang cocok dengan skema permainannya. Tak tanggung-tanggung, dua jempolan Eropa didatangkan pelatih berjuluk Special One dalam sekejap mata.
Tak lama setelah ia berhasil reuni dengan Zlatan Ibrahimovic, Mou kembali memulangkan si anak hilang, Paul Pogba yang memecahkan rekor transfer dunia.
Tapi bukan si anak hilang yang bersinar, melainkan cinta lama Mou yang kembali menjadi bintang. Zlatan Ibrahimovic kembali menunjukkan bahwa mulut besarnya memang tak asal keluar. Zlatan, yang sempat saling sindir dengan Eric Cantona perihal komentarnya saat awal-awal kedatangan di MU, membuktikan kualitasnya.
Seperti sesumbarnya sebagai pemain yang spesial, ia berhasil menjadi ujung tombak Setan Merah dan menyingkirkan kapten, sekaligus pujaan publik Old Trafford, Wayne Rooney ke bangku cadangan.
Dengan usia yang tak lagi muda, gelontoran 24 gol sepanjang musim ini telah membuktikan bagaimana dominasinya di Manchester United. Usia 35 tahun tidak menghalangi insting membunuhnya di depan gawang. Sekalipun Zlatan tak begitu banyak melakukan pergerakan, akan tetapi sentuhan magisnya mampu menciptakan peluang manis yang tak jarang berbuah gol.
Permainan elegan yang ia tunjukkan tak hanya membuat pemain kelahiran Malmo, Swedia ini rajin mencetak gol, tapi juga berhasil membuka banyak ruang bagi pemain lain yang berdiri bebas akibat pemain lawan terlalu berkonsentrasi pada pergerakannya.
Hal tersebut yang membuat eks pemain Internazionale Milan ini tak hanya rajin mencetak gol, tapi juga piawai memberi asis. Tercatat telah enam umpan berbuah gol yang ia ciptakan untuk tmnya. Dalam sekejap, Zlatan telah menjadi penguasa baru Old Trafford dengan jutaan pemuja di seluruh dunia.
Hampir semua gol yang diciptakan MU di semua ajang melibatkan Zlatan di dalamnya. Saya bahkan lupa, di pertandingan apa Ibra tidak mencetak gol atau setidaknya tidak memberi asis. Ini yang kemudian menjadi bukti bahwa MU memang terlalu bergantung pada pemain berdarah Bosnia tersebut.
Kenyataan ini pula yang tampaknya membuat Mou tak rela meninggalkannya di bangku cadangan, sekalipun timnya tengah berlaga di ajang “kelas dua” seperti Piala FA dan EFL Cup sekalipun. Asal MU bertanding, Zlatan pasti ada. Ia bahkan memangkas menit bermain Marcus Rashford dan mengirim Anthony Martial untuk berpindah ke sisi sebelah kiri, alih-alih sebagai penyerang tengah.
Pemain yang pernah membela tiga tim besar Italia (Juventus, Inter Milan, AC Milan) ini memang memiliki keistimewaan tersendiri. Seperti yang pernah diungkapkan Mou kala keduanya masih bekerja sama di Inter Milan, “Kelemahan Zlatan adalah ia tidak bisa mencetak gol dengan cara biasa.”
Keistimewaan ini nyatanya tak hanya berdampak pada permainan Zlatan sendiri, tetapi juga menyebar ke pemain lain. Seperti Henrikh Mkhitaryan yang sempat “hilang” di awal musim dan kini menjadi penyuplai bola utama pada lini serang MU.
Sebelum kehadiran Zlatan, Manchester United terlalu bergantung pada penjaga gawang mereka, David De Gea. Bagai pelipur lara para suporter United, ia menjadi satu-satunya pemain United yang tampil konsisten selama tiga tahun terakhir. Lewat banyak penyelamatan pentingnya pula, performa United tidak jelek-jelek betul di masa David Moyes dan Louis van Gaal. Walau Mou kemudian dengan sarkastik bilang, “kalau penjaga gawang Anda menjadi pemain terbaik dalam tiga tahun terakhir, jelas ada yang salah di tim Anda.”
Agak berbeda dengan karir Zlatan yang langsung menjadi idola seisi Old Trafford, kiprah mantan kiper Atletico Madrid ini sempat terombang-ambing pada awal kedatangannya. Perjudian Sir Alex Ferguson (manajer Man United ketika itu) menjadikannya suksesor Edwin Van der Sar yang pensiun tak berjalan mulus. Beberapa blunder elementer membuat De Gea beberapa kali berganti tempat dengan Anders Lindegaard.
Lambat laun, performa kiper tim nasional Spanyol ini kian membaik dan membuat posisinya makin tak tergoyahkan, hingga akhirnya ia mampu mempersembahkan gelar ke-20 bagi The Red Devils. Pensiunnya Fergie tak menurunkan performa De Gea di bawah mistar gawang. Walaupun capaian United setahun berselang turun drastis, De Gea justru semakin menonjolkan penampilan impresif dan mengamankan posisi Louis van Gaal selama dua musim pengabdian.
Dengan rataan kebobolan 0,96 gol/laga selama tiga musim beruntun sudah cukup membuktikan bahwa De Gea menjadi satu-satunya tembok kokoh pertahanan Setan Merah kala duet Chris Smalling dan Phil Jones kerap melakukan kesalahan sendiri.
Fenomenalnya De Gea yang jatuh bangun menjaga gawang MU yang sering dibombardir lawan, ditambah dengan daya serang timnya di era LvG yang kemudian menimbulkan anekdot baru di sepak bola, yakni hanya saling mengumpan ke pemain lain tanpa memberi ancaman, semakin menegaskan vitalnya peran pemain bertinggi badan 190 sentimeter ini.
Jika dilihat dari catatan di atas, David De Gea memang pantas menyandang sebagai pemain terbaik United sejauh ini, apalagi jika kita membandingkannya dengan statistik keseluruhan pemain MU yang lain. Tanpa De Gea, bukan tidak mungkin Setan Merah berada di papan bawah klasemen dan memperpendek masa bakti Louis van Gaal di Old Trafford.
Dan musim ini, beban David De Gea terasa lebih ringan rasanya karena kini ia diimbangi dengan kokohnya para pemain belakang. Dan yang paling penting adalah kontribusi besar seorang Zlatan Ibrahimovic yang membuat The Reds Devils tak hanya bergantung pada seorang kiper, tapi juga pada penyerang yang identik dengan gelar juara.
Tentu kita sepakat bahwa hanya De Gea yang selalu tampil konsisten selama ini. Entah ada di posisi berapa MU beberapa musim lalu jika bukan dia kipernya. Dan musim ini De Gea tak sendiri memikul beban tersebut, karena ada Zlatan yang menemani dan melengkapi penampilan impresifnya.
Mereka berdua yang membuat MU tetap menjaga asa untuk terus melaju di papan atas liga dan masih memiliki kesempatan merebut empat gelar di ajang Piala FA, Piala EFL, Liga Europa dan Liga Inggris (walau yang terakhir akan sangat berat perjuangannya)
Rasa-rasanya tak berlebihan jika saya melabeli MU sebagai tim yang separuh kekuatannya ada pada Zlatan dan De Gea. Seperti Arsenal dengan Alexis Sanchez, atau Liverpool dengan Sadio Mane.
Author: Wanda Syafii (@wandasyafii)
Kopites yang masih percaya timnya akan juara liga walau entah kapan. Sering bikin gaduh di wandasyafii.com