Pelatih asal Inggris faktanya tidak mampu menjadi raja di rumah sendiri sejauh ini. Di Liga Primer Inggris, para juru taktik didominasi oleh nama-nama asing. Bahkan mirisnya, lebih banyak pelatih yang sukses di daratan Inggris justru datang dari negeri tetangga, Skotlandia. Terutama setelah era industrialisasi sepak bola, semakin menipis kuantitas pelatih-pelatih asal Inggris di kasta tertinggi sepak bola Negeri Ratu Elizabeth.
Ada banyak faktor yang membuat pelatih-pelatih asal Inggris jumlahnya tidak terlalu banyak di kompetisi Liga Primer, karena kebanyakan pelatih-pelatih asal Inggris lebih memilih untuk berkerja di bidang pembinaan usia muda, atau jika bekerja di tim utama, hanya sebagai komando kedua, atau asisten pelatih kepala atau manajer.
Posisi pelatih utama atau manajer di klub-klub Liga Primer Inggris tidak begitu diminati oleh para pelatih asal Inggris sendiri. Alasan utama selain soal kesempatan, adalah soal tekanan besar yang ada ketika menjabat sebagai pelatih di kesebelasan Liga Primer Inggris, terutama kesebelasan-kesebelasan teratas.
Harry Redknapp sempat memberikan ekspektasi, tetapi yang bersangkutan nyatanya tidak memiliki level yang benar-benar memungkinkan untuk bertarung di pentas tertinggi. Hal tersebut juga terjadi pada mantan pelatih Southampton, Nigel Adkins. Sempat digadang-gadang juga akan melakukan hal hebat, tetapi juga gagal mencapai ekspektasi yang diberikan kepadanya. Kini harapan tersebut ada dalam diri Eddie Howe.
Pelatih dengan daya analisis tajam
Karier Eddie Howe sebagai pemain berjalan tidak terlalu panjang. Ia mesti pensiun dini pada usia 29 tahun karena cedera lutut yang ia alami tidak kunjung sembuh. Sebenarnya sebagai pemain, Howe juga bukan pemain yang begitu cemerlang. Kariernya lebih banyak dihabiskan menghangatkan bangku cadangan, termasuk ketika ia cedera, sehingga ia lebih banyak berada di pinggir lapangan.
Tetapi hal tersebut yang justru membuatnya memiliki sesuatu yang berbeda dengan kebanyakan pemain lain. Kemampuan analisis dan melihat pertandingan dari dimensi yang berbeda, sudah dimiliki oleh Howe sejak lama. Ia sudah mengamati pertandingan bahkan sejak masih bermain. Salah satu bukti terbaik terjadi di Liga Primer Inggris musim 2016/2017 ketika Bournemouth berhasil membalikkan keadaan, dan menang atas tim besar, Liverpool.
Saat itu Liverpool sudah unggul terlebih dahulu melalui Sadio Mane dan Divock Origi pada 25 menit pertama pertandingan. Emre Can kemudian berhasil membawa Liverpool menjauh. Howe melihat bahwa Liverpool memiliki celah di sektor pertahanan sebelah kiri karena James Milner saat itu belum terbiasa bermain di posisi tersebut. Howe kemudian memasukan sayap cepat asal Skotlandia, Ryan Fraser. Fraser kemudian terus membombardir pertahanan Liverpool terutama di sektor yang dihuni oleh Milner. Di akhir laga, Bournemouth kemudian berhasil meraih kemenangan.
Pertandingan melawan Liverpool musim lalu tersebut merupakan satu di antara banyak pertandingan yang membuktikan bahwa Howe memiliki daya pengamatan yang sangat bagus dalam sebuah pertandingan. Sebagai manajer, ia bisa bereaksi dalam momentum yang sesuai. Keberadaan Howe ini menjadi langka bukan saja karena ia merupakan pelatih berkebangsaan Inggris, tetapi soal karakter dan kesegaran dari usianya yang masih muda membuatnya berbeda dengan kebanyakan pelatih lain.
Di Amersham, Buckinghamshire, tepat pada hari ini, 29 November, merupakan hari lahir sang nakhoda Bournemouth ini. Ia jelas memiliki segala potensi untuk mencapai tahapan yang lebih baik, bahkan untuk menjadi pelatih tim nasional Inggris.
Selamat ulang tahun, Eddie Howe.
Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia