Suara Pembaca

Persik Kediri: Bring Back Our History

1950 menjadi tonggak awal mula Persik Kediri dengan segala ambisi dan tekat untuk berjaya lahir. Bupati Kediri pada waktu itu mempunyai cita-cita untuk membuat tim ini gagah di wilayah timur Jawa, kabupaten kecil yang jaraknya 140 kilometer dari keramaian ibu kota Jawa timur. Merancang mimpi sedemikian rupa, Persik yang awal mula mempunyai warna kebanggaan merah dan hitam ini, mempunyai mimpi berbicara lebih di Liga Perserikatan.

Tiga dekade tim ini mencari jati dirinya. Dengan beban tim ‘kemarin sore’ dari Jawa Timur, Persik mulai agak sedikit berbicara di awal tahun 1990-an. Walaupun dalam hal prestasi, sang Macan Putih masih kalah mentereng dengan saudara mudanya, Persedikab Kabupaten Kediri, yang tercatat dua kali mengikuti kompetisi Liga Indonesia.

Dan akhirnya, datanglah sang gila bola yang notabene adalah wali kota terpilih Kediri, Drs. H.A Maschut, yang menjadi idola baru Persik Mania. Di tangan dingin beliau, Persik perlahan menunjukkan aumannya. Merekrut mantan pelatih timnas Indonesia, Sinyo Aliandoe, adalah langkah nyata dan strategis untuk menangani tim ini. Di tangan dingin Sinyo, permainan modern mulai dibawanya. Filosofi sang macan mulai terlihat tanpa adanya penghambat.

Namun, seperti halnya pelatih top lain, Sinyo bukan Harry Potter yang sanggup menyihir dan bukan Bandung bondowoso yang bisa membangun 99 candi dalam semalam saja. Sinyo hanyalah pelatih biasa yang masih membutuhkan waktu untuk meracik tim ini. Sinyo hanya bertahan 12 bulan saja di Kota Tahu. Setelah Sinyo meninggalkan skuatnya, kursi manajerial beralih ke mantan asisten pelatih Sinyo Aliandoe di Persik , Jaya Hartono. Mantan pemain PSMS medan ini mengambil alih kursi nakhoda kepelatihan Persik.

Selain coach Jaya, H.A Maschut menyerahkan semua urusannya di luar maupun di dalam lapangan kepada menantunya, Iwan Budianto, yang notabene juga mantan manajer tim Arema Malang. Di tangan duo Iwan dan Jaya, Persik mulai berjaya. Macan Putih sukses mengangkat trofi pertamanya di Divisi I Liga Indonesia pada musim 2002. Dan otomatis, berkat hasil itu, Persik lolos ke Divisi Utama Liga Indonesia.

Seperti cerita Nottingham Forest di era lama Liga Inggris, ataupun cerita dongeng Leicester City dengan Claudio Ranieri yang langsung juara di musim pertama kepelatihannya, seperti itulah duo Iwan-Jaya. Persik suskes juara Divisi Utama Liga Indonesia di musim pertamanya pada tahun 2003.

Baca juga: Dongeng Legendaris Tim Macan Putih

Bak teror nuklir Korea Utara yang menebar ancaman ke seluruh dunia, Persik Kediri menebar teror ke seluruh tim di Indonesia kala itu. Persik menunjukkan bahwa mereka bukanlah tim yang hanya numpang lewat dan bukanlah tim yang hanya one season wonder saja. Berbeda dengan Leicester City yang langsung merosot di musim selanjutnya, Persik menunjukkan eksistensinya di Nusantara dan menunjukkan taringnya juga di level Asia dengan mewakili nama Indonesia di Liga Champions Asia 2004. Bak dongeng yang tak berhenti semalam, pada musim 2006, gelar liga pun mereka bawa pulang lagi ke Kediri. Dengan mengalahkan PSIS Semarang lewat skor 1-0 di partai final via satu gol yang dilesatkan sang legenda, Cristian Gonzales, Persik berjaya di bawah asuhan Daniel Roekito di tahun itu.

Tidak ada yang sempurna di dalam kehidupan, begitu pun cerita Persik. Degan aturan baru dari Pemerintah dan PSSI yang melarang tim memakai dana ABPD untuk mengarungi Liga Indonesia, membuat Macan Putih mulai terseok-seok diterjang bayang-bayang kehancuran. Persik mulai kehilangan sokongan dana dan ujungnya, beberapa penggawa tim hengkang ke beberapa tim di Nusantara yang lebih mandiri secara finansial. Hengkangnya pemain bintang seperti Cristian Gonzales, Ronald Fagundez, dan Danilo Fernando, membuat Persik seperti kapal tua yang siap karam.

Tak hanya ditinggal pemain-pemain bintangnya, pergantian pelatih dalam kurun waktu empat tahun juga penyebab utama Persik jeblok dan ada hal yang tidak beres di tim ini. Persik semakin mengalami penurunan performa di liga dan puncaknya harus tergusur ke Divisi Utama pada liga musim 2009/2010.

Kenangan saat jaya

Kenangan saat kejayaan Persik tak akan pernah dilupakan publik Kediri. Juara dua kali liga, juara 5 kali Piala Gubernur Jawa Timur dan 2 kali tampil di Liga Champions Asia, menunjukkan bahwa Persik layak berdiri sejajar dengan tim tradisional lainnya di Indonesia. Namun, apalah arti sejarah jika tidak dibarengi dengan konsistensi. Masalah kompleks berupa gangguan finansial, mampatnya regenerasi pemain muda, semakin membuat musibah Persik jadi cerita memilukan yang pelik.

Kini, tim Macan Putih bahkan dipaksa harus berjuang di play-off Liga 2 hanya sekadar untuk bertahan dan meniti masa jayanya dari nol lagi. Berjuang di Grup F play-off bersama PSIR Rembang, Yahukimo FC, dan Timah Babel, Persik justru tampil antiklimaks. Lawan-lawan yang secara komposisi tim dan kualitas seharusnya masih di bawah Persik, sukses bertahan di Liga 2 dengan mudah. Label juara dua kali Liga Indonesia ternyata hanya menjadi ‘pemanis’ saja. Persik akhirnya harus tergusur ke Liga 3 setelah pada pertandingan terakhir di play-off, kalah dari PSIR Rembang dengan skor 1-0. Otomatis per musim depan, nama Persik Kediri harus berjuang di Liga 3.

Baca juga: Pasang Surut Persik Kediri, dari Liga Champions Asia hingga

Memang, Liga 3 tidaklah tercela. Tapi untuk tim semacam Persik Kediri yang notabene adalah tim yang pernah akrab dengan trofi juara, Liga 3 sangatlah tidak pantas. Dengan ekspektasi di awal musim dan optimisme bahwa di akhir musim Persik akan lolos ke Liga 1, fakta bahwa kini Macan Putih degradasi ke Liga 3 membuat ekspektasi saya dan warga Kediri lainnya hanyalah sebuah optimisme yang ‘konyol’. Saya sendiri sebagai penggemar berat tim ini sejak berada di Divisi I menjadi sedih dan sangat-sangat kecewa.

Tapi, saya akan tetap mendukung tim ini, walau harus mulai dari Liga 3. Selamat berjuang kebanggaan, bring back our history!

Author: Rochman Faisal