Liverpool kembali menambah jumlah kemenangan, usai menjungkalkan Tottenham Hotspur di kandang lawan, dini hari tadi (12/1). Meski begitu, kemenangan ini juga diiringi setitik noda, karena The Reds kembali melakukannya dengan win ugly.
Win ugly, atau yang dalam bahasa Indonesia berarti menang dengan performa tidak bagus bahkan buruk, sering dilakukan Liverpool belakangan ini. Setidaknya di tiga pertandingan terakhir Liga Primer Inggris, The Reds meraup tiga poin dengan cara bermain yang tidak bagus-bagus amat.
Dimulai dari laga boxing day kontra Wolverhampton Wanderers, 29 Desember 2019. Armada Juergen Klopp yang bermain di kandang sukses mengalahkan tim tamu dengan skor 1-0, tapi akhir ceritanya bisa berbeda kalau Wolves dapat menyelesaikan peluang bersih yang didapatnya.
Wolves berpeluang mencetak tiga gol di Anfield saat itu. Pertama dari Pedro Neto, tapi golnya dianulir VAR. Kedua, adalah Diogo Jota yang mendapat peluang setelah mencuri bola dari Virgil van Dijk, tapi tendangannya bisa dimentahkan Alisson dengan mudah.
Lalu di menit akhir, lini belakang Liverpool kembali membuat kesalahan. Ruben Vinagre yang menang adu badan dengan Trent Alexander-Arnold berlari sendirian tanpa kawalan ke kotak penalti Liverpool. Beruntung bagi tuan rumah, Vinagre terburu-buru mengeksekusi, dan tendangannya melambung ke arah penonton.
Di pertandingan selanjutnya, win ugly diraih Liverpool lagi saat menjamu Sheffield United. Kali ini yang bermain ugly adalah lini serang Liverpool, karena dari 19 tembakan yang dilancarkan ke gawang Dean Henderson, hanya dua yang berbuah gol.
Tingkat kecolongan bola Liverpool di pertandingan ini juga lebih tinggi dibandingkan Sheffield. Data dari WhoScored menyebutkan, tuan rumah kehilangan bola sembilan kali dari penguasaannya, yang empat di antaranya dilakukan oleh Georginio Wijnaldum.
Kalau menang lawan Wolves dianggap ada bantuan dari Dewi Fortuna, dan menang tipis dari Sheffield dianggap wajar karena pertahanan lawan yang kokoh, kemenangan lawan Spurs adalah contoh termutakhir, yang menunjukkan Liverpool tidak harus selalu bermain cantik untuk menang.
Juergen Klopp boleh berbangga dengan tiga poin yang diraupnya di Tottenham Hotspur Stadium, tapi dia juga harus sadar, kemenangan ini diraih berkat dua peluang emas yang gagal dikonversi Son Heung-min dan Giovani Lo Celso.
Berbeda dengan paruh pertama
Win ugly yang diraih Liverpool di paruh kedua musim 2019/2020, berbeda jauh dengan kemenangan yang mereka dapat di paruh pertama. Saat itu, Jordan Henderson dan kolega identik dengan kemenangan skor besar serta permainan menghibur.
Pesta gol 4-1 lawan Norwich di pekan pertama, membantai Arsenal dan Manchester City 3-1, kemudian mempecundangi Everton dengan skor 5-2, adalah segelintir contoh kemenangan atraktif yang dicetak Liverpool saat itu.
Ini berbeda saat memasuki bulan Desember 2019. Juergen Klopp terlihat lebih mementingkan jumlah kemenangan yang diraih, ketimbang jumlah gol yang dicetak timnya. Mungkin juga karena faktor boxing day yang menguras fisik, bisa juga karena tim-tim yang dihadapi banyak dari peringkat 8 besar.
Namun demikian, cara Liverpool mengejar kemenangan belakangan ini menunjukkan mereka tidak peduli lagi apa kata orang. Mau main bagus atau jelek, yang penting tiga poin didapat, dan bisa mengakhiri paceklik gelar Liga Primer Inggris yang mereka derita selama 30 tahun.
Toh, di sepak bola sudah menjadi rahasia umum, kalau win ugly termasuk salah satu syarat tak tertulis untuk bisa menjadi juara.
Masih ingat Chelsea-nya Mourinho yang bergelimang trofi berkat taktik parkir bus?