Siapa sih yang tidak mau dan tidak suka bila melihat tim kesayangannya menang? Tentu tak ada, kan?
Tapi apabila tim kesayangan kita menang dengan cara tidak sportif, apakah kita masih akan bangga dengan pencapaian itu?
Persepsi ‘harus menang’ nampaknya sudah mendarah daging di masyarakat kita yang notabene gila bola. Tak sedikit pula pihak-pihak yang menuntut agar timnya harus menang, baik saat bermain kandang maupun tandang. Segala cara juga dapat mereka lakukan, misalnya dengan yel-yel suporter yang secara jelas mengungkapkan bahwa tim harus menang bagaimana pun caranya atau dengan iming-iming bonus besar dari manajemen.
Menang memang menjadi target utama dalam setiap pertandingan, terutama ketika berada dalam sebuah kompetisi. Namun, persepsi ‘harus menang’ dapat menjebak kita sebagai pencinta sepak bola dan mereka yang berada di tim untuk melakukan hal-hal tidak sportif.
Kita secara tidak sadar justru memberikan tekanan luar biasa pada anggota tim agar melakukan tindakan apapun asal mereka dapat mencapai kemenangan. Misalnya, dengan penyuapan, korupsi, kekerasan, bahkan pengaturan pertandingan. Dampak persepsi ini pun akan meluas, bukan hanya tentang integritas dan kesehatan sepak bola serta para pelakunya. Tapi juga tentang keamanan dan keselamatan mereka.
Atlet dan pelatih diberi hadiah karena mereka telah memenangkan kompetisi. Suporter akan semakin eksis jika tim kesayangan mereka menang, lalu suporter lainnya akan merasa inferior pada mereka. Penghargaan akan didapatkan jika mereka menang. Popularitas dan materi akann mengiringi pencapaian sukses mereka. Hingga kemudian mereka berpikir bahwa apapun yang terjadi, hal yang paling penting adalah menang.
Semakin sukses, makan akan semakin banyak pundi-pundi uang yang didapatkan.
Persepsi hampir mirip yang juga dapat menjadi tekanan, yakni “kamu tidak menang, maka kamu juga akan kehilangan pekerjaan”. Tak perlu disebutkan ada berapa pelatih yang menjadi korban keganasan persepsi ini, catatan digital nampaknya lebih mudah ditemukan.
Faktanya, ketika pelatih tidak dapat membuat timnya menang, maka akan selalu ada saja cemoohan bahkan ancaman terhadap mereka. Tak cuma pelatih, atlet pun akan mendapat perlakuan yang sama ketika bermain buruk dan dianggap menjadi biang kerok kekalahan timnya.
Artikel penelitian Over-emphasis on Winning, Host-to-win and Winning-at-all-cost syndrome in Modern Sports Competitions: Implications for Unsportsmanship Behaviours of Sports Participants mengupas persepsi ‘harus menang’ yang nampaknya sudah membudaya di sepak bola kita beserta contoh implikasi dari perilaku tidak sportif.
Contohnya suap dan korupsi sebagai dorongan kemenangan dengan cara apa pun yang biasanya diberikan pada wasit; kekerasan dan hooliganisme yang melibatkan atlet atau tim, bahkan suporter mereka dengan menghancurkan fasilitas olahraga dan menyebabkan bahaya bagi yang lain karena mereka tidak bisa memenangkan pertandingan tertentu; penggunaan atlet bayaran yang dipalsukan datanya atau illegal hanya demi meraih kemenangan; penggunaan obat-obatan terlarang atau narkoba demi meningkatkan performa atlet; match fixing (pengaturan pertandingan) untuk menghindari tim tertentu ketika babak penyisihan atau melakukan manipulasi pertandingan agar dapat memenangkan kompetisi demi keuntungan pihak tertentu; serta curang dalam mendaftarkan atlet yang usianya tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan operator atau federasi.
Sesuai dengan judul tayangan Mata Najwa Kamis (21/02) malam, yakni Darurat Sepak Bola, yang darurat memang sepak bola kita dan bukan hanya sekadar federasi. Oleh karena itu diperlukan edukasi dan sosialisasi yang berlanjut untuk membantu memberikan pemahaman yang tepat tentang perkembangan sepak bola modern.
Ada sedikit kalimat dari artikel di atas yang mungkin dapat mengubah persepsi kita menjadi lebih positif:
“Cita-cita dan filosofi Baron Pierre de Coubertin tentang Olimpiade yang menyatakan bahwa “Yang paling penting tidak menang tetapi ikut serta” harus ditanamkan ke setiap peserta olahraga melalui seminar, lokakarya, dan simposium.”
Sekolah, kampus, atau lembaga olahraga dapat mengadakan seminar atau lokakarya tentang persepsi ini. Bukan hanya untuk pemain, pelatih, maupun para manajemen klub, melainkan juga untuk suporter. Klub dan pengurus suporter dapat membuat ketentuan untuk mewajibkan anggota mereka agar mengikuti kegiatan semacam ini. Jadi, sudah adakah yang siap mengadakan seminar atau lokakarya semacam ini? Patut ditunggu!