Tepat pada tanggal 10 Juli 2016 di Stadion Saint-Denis, dihelat sebuah laga prestisius bertajuk final Piala Eropa 2016 yang mempertemukan dua kesebelasan top, Portugal dan Prancis.
Bermain di halaman rumahnya sendiri membuat Les Bleus lebih diunggulkan oleh banyak pihak akan keluar sebagai pemenang. Apalagi aksi-aksi yang Paul Pogba dan kolega perlihatkan sepanjang turnamen, cukup meyakinkan.
Di sisi lain, kelolosan Selecao das Quinas ke final diiringi oleh cibiran sebab Cristiano Ronaldo dan kawan-kawan memperlihatkan performa semenjana plus lebih gemar beroleh hasil seri daripada kemenangan.
Namun sial, usaha Prancis buat menggondol trofi Piala Eropa ketiga sepanjang sejarah kandas. Gol semata wayang pemain pengganti, Eder, di menit ke-109 babak perpanjangan waktu, sudah lebih dari cukup bagi Portugal untuk menyegel hasil positif dan comot titel perdana di turnamen sepak bola antar-negara Benua Biru paling bonafit itu.
Kekalahan tipis 0-1 tentu menghadirkan rasa kecewa yang teramat dalam bagi kubu tuan rumah. Begitu wasit Mark Clattenburg meniup peluit panjang, air mata tumpah di pipi para pemain dan suporter. Sesal dan sesak tak dapat memanfaatkan kesempatan yang ada jelas menggelayuti pikiran sekaligus batin. Malam itu, Les Bleus kudu puas dengan status pecundang.
Walau gagal jadi kampiun Piala Eropa 2016, federasi sepak bola Prancis (FFF), tetap mempertahankan Deschamps di bangku pelatih. Mereka merasa bahwa kegagalan Pogba dan kawan-kawan memenangi gelar tidak diakibatkan oleh kebodohan sang ahli strategi.
Asa bangkit demi meraup prestasi di kejuaraan mayor selanjutnya, Piala Dunia 2018, jadi misi agung yang dibebankan FFF kepada Deschamps. Hasil-hasil manis yang dituai Prancis di babak kualifikasi zona Eropa lantas menggugah FFF buat mengganjar sang pelatih dengan kontrak baru.
Benar saja, tepat di tanggal 31 Oktober 2017, ekstensi masa kerja sampai tahun 2020 diterima oleh Deschamps. Masa depan yang terjamin bikin lelaki kelahiran Bayonne itu dapat bekerja dengan lebih nyaman. Peduli setan bahwa cara bermain tim asuhannya yang cenderung pragmatis, acapkali dikritik habis.
Usai memastikan diri lolos ke Piala Dunia 2018 via jalur otomatis (juara Grup A di babak kualifikasi), hanya sedikit kalangan yang berani mendapuk Prancis sebagai kandidat juara, sejajar dengan Argentina, Brasil, Jerman ataupun Spanyol. Terlebih, Deschamps amat berhati-hati dalam memilih 23 orang yang dibawanya berangkat menuju Rusia.
Deschamps menekankan apabila pemain yang bisa membuat Les Bleus jadi sebuah unit nan kohesif merupakan sosok yang pantas dibawa ke Piala Dunia 2018. Alhasil, nama-nama seperti Karim Benzema, Layvin Kurzawa, Alexandre Lacazette, Anthony Martial hingga Adrien Rabiot, ia tinggalkan.
Dirinya lebih percaya kepada figur semisal Lucas Hernandez, Thomas Lemar, Kylian Mbappe, Steven Nzonzi, dan Benjamin Pavard meski pengalaman mereka di level internasional amat minim.
Apiknya, keputusan tersebut justru bermakna sangat penting buat Prancis sebab dengan nama-nama itu, Deschamps bisa meramu strategi yang tepat guna.
Pada fase penyisihan, Pogba dan kolega yang menghuni Grup C bersama Australia, Denmark, dan Peru, lolos ke fase berikutnya sebagai pemuncak meski permainan mereka dianggap bikin kantuk.
Rintangan dalam wujud Argentina, Uruguay, dan Belgia yang mereka jumpai secara beruntun di babak 16 besar, perempat-final serta semifinal, mampu dibasmi dengan gemilang sehingga Les Bleus mengunci satu tempat di partai final.
Diakui atau tidak, pembenahan bertahap yang dilakukan Deschamps selama dua tahun terakhir, utamanya yang terkait dengan materi pemain dan strategi, memperlihatkan hasilnya di Piala Dunia 2018.
Tanpa disangka-sangka, bocah-bocah ingusan layaknya Hernandez, Mbappe, dan Pavard, malah melejit sebagai sosok sentral yang bisa mengimbangi para pemain kunci seperti Griezmann, Hugo Lloris, dan Pogba.
Sementara pada aspek strategi, gaya main Prancis yang disebut-sebut membosankan, justru pekat dengan aroma efektivitas dan kekokohan. Mereka sangat tangguh dalam bertahan, tak jeri saat musuh lebih dominan menguasai bola, tapi begitu mahir ketika melancarkan serangan cepat nan berbahaya.
Dalam partai pamungkas yang dihelat nanti malam (15/7) waktu Indonesia, Deschamps beserta anak buahnya sudah ditunggu oleh Kroasia, kuda hitam yang tampil luar biasa di sepanjang turnamen.
Menumbangkan Luka Modric dan kawan-kawan yang saat ini ditangani Zlatko Dalic jelas bukan perkara sepele lantaran kualitas sang calon lawan sungguh eksepsional. Namun ambisi, hasrat dan mimpi Les Bleus guna mengukir prestasi, telah sampai di titik didih.
Tangis kesedihan di Piala Eropa 2016 wajib ditebus dengan tawa bahagia di Piala Dunia 2018. Jika dahulu dipaksa mengemban status pecundang, saatnya kini beroleh jubah adiluhung milik para pemenang.
Bisakah kamu, Prancis?