Pagi dini hari tadi, semua orang Prancis berbondong-bondong turun di jalanan. Ada rekaman video dan foto-foto di media sosial yang memperlihatkan orang-orang Paris berkumpul di dekat Arc de Triomphe, monumen kejayaan Prancis, untuk merayakan kejayaan timnas negara mereka di Piala Dunia 2018. Ya, Prancis berhasil masuk ke final setelah mengalahkan Belgia dengan skor tips 1-0 di partai semifinal. Keriuhan ini mungkin tak akan terjadi apabila tak ada sosok Didier Deschamps.
Deschamps barangkali bukanlah figur yang populer sebelum Piala Dunia 2018 dimulai. Ia tentu saja masih dihantui oleh kegagalan dari menjuarai Piala Eropa 2016 yang berlangsung di negaranya sendiri. Selain itu, pemanggilan pemain yang dilakukannya juga menimbulkan pertanyaan. Ia terus menerus meminggirkan Karim Benzema—skandalnya dengan Mathieu Valbuena membuatnya terasing—yang dianggap sebagai salah satu penyerang terbaik Prancis.
Deschamps juga tak memanggil nama-nama yang populer seperti Adrien Rabiot atau Alexandre Lacazette, dan lebih memercayakan Steven N’Zonzi dan Olivier Giroud ketimbang dua nama itu. Belum lagi membicarakan permainan Prancis yang, boleh dikatakan, tidak menghibur. Namun, Deschamps berhasil mematahkan semua keraguan tersebut, dan terlepas hasil apapun yang didapat Les Bleus di final Piala Dunia nanti, pelatih berusia 49 tahun ini layak diberikan pujian setinggi langit.
Belajar dari kesalahan
Ada beberapa alasan mengapa Deschamps patut diberi kredit. Yang pertama adalah ia mau belajar dari kesalahan. Tak perlu jauh-jauh berkaca ke belakang, di pertandingan pertama Prancis di Grup C melawan Australia, Antoine Griezmann dan kolega bermain begitu buruk. Meski pada akhirnya meraih kemenangan, permainan mereka tak memuaskan, tumpul di depan dan rapuh di belakang. Kala itu, Deschamps, memang sedikit melakukan perubahan dalam skemanya.
Biasa menggunakan skema 4-4-1-1, Deschamps menggunakan formasi 4-3-3 dengan Griezmann, Kylian Mbappe, dan Ousmane Dembele sebagai trisula di depan. Sayang, skema ini mungkin hanya bagus di gim FIFA. Keberadaan tiga penyerang justru membuat lini tengah Prancis kesulitan untuk berekspresi dan lini belakang mereka terekspos.
Untungnya, Deschamps sadar. Ia kembali menggunakan Giroud sebagai target man, dan menggunakan empat gelandang dan satu penyerang lubang (Griezmann) di laga-laga Prancis berikutnya. Hasilnya? Prancis berhasil masuk ke final.
Memiliki prinsip
Seorang pelatih jempolan adaah seorang yang memiliki prinsip. Hal ini berkaitan dengan dipinggirkannya Benzema dan sederetan pemain lain seperti Anthony Martial. Deschamps, sebelum putaran final berlangsung, mengatakan bahwa ia mengutamakan pemain yang mampu menciptakan kohesi dan menyatu dengan baik. Meski pilihan pemainnya sempat dikritik, prestasi Prancis-lah yang menjadi buktinya.
Selain itu, taktiknya yang sedikit lebih defensif juga dicecar. Menurut banyak orang, dengan materi timnas Prancis saat ini, mereka seharunsya bermain dengan terbuka dan ofensif. Deschamps pun sempat mencobanya, di laga pertama melawan Australia. Namun, seperti yang sudah dibahas di poin sebelumnya, ia kembali ke skema andalannya dan membuktikan bahwa itulah yang paling tepat bagi Prancis.
Penggunaan wide midfielder seperti Blaise Matuidi yang mobil membuat lini tengah Prancis lebih solid dan membuat Pogba lebih nyaman untuk menciptakan peluang bagi Mbappe, Griezmann, atau Giroud. Dan ya, taktik ini pun terbukti lebih menghasilkan bagi Prancis.
Percaya pada pemain muda
Memang, usia bukanlah masalah apabila memang kemampuannya sudah lebih baik. Namun, pemain muda tentunya tak akan berkembang apabila tak diberi kepercayaan. Deschamps mampu memberikan hal ini kepada pemain mudanya. Di usianya yang baru menginjak 19 tahun, Mbappe berhasil menjadi bintang di Rusia. Namun, tak hanya Mbappe.
Di lini belakang, duo bek sayap, Benjamin Pavard dan Lucas Hernandez menjadi bukti yang lebih sahih ketimbang Mbappe yang memang sudah tergolong sebagai megabintang. Pavard dan Lucas sebelumnya diprediksikan hanya akan menjadi pemain cadangan. Namun, keduanya berhasil membuktikan diri lebih baik ketimbang pemain yang lebih senior, dan sejauh ini mampu tampil memuaskan.
Lolos ke dua final turnamen besar berturut-turut
Seperti apapun prosesnya, filosofinya, atau taktiknya, tiap tim sepak bola dan pelatihnya akan dinilai dari hasil yang mereka rengkuh. Terlepas dari apa yang telah dilakukan Deschamps, keberhasilannya untuk menembus dua final turnamen besar secara berturut-turut adalah satu hal yang patut mendapatkan pujian. Piala Eropa dan Piala Dunia boleh dikatakan sebagai dua turnamen antarnegara yang paling banyak mendapatkan atensi di dunia, dan Deschamps berhasil membawa Prancis menembus final dua turnamen ini secara berturut-turut.
Tentu saja, Deschamps tak akan senang jika harus kembali menjadi juara dua. Namun, pujian tinggi tetap harus diberikan kepadanya, terlepas apa yang akan didapatkannya di partai pamungkas nanti.