Piala Dunia 2018

Menikmati Episode Baru Pesona Islandia di Piala Dunia 2018

Laga Argentina melawan Islandia yang berakhir imbang 1-1 tak hanya menyuguhkan drama berkualitas tinggi, tapi juga menerbangkan ingatan saya ke awal dekade 2010-an lalu. Saya memiliki kenangan berkesan ketika meliput dua pertandingan yang melibatkan dua tim ini ketika saya masih tinggal di Swiss.

Piala Dunia 2018, Argentina vs Islandia: Spirit Pasukan Viking yang Sukses Bungkam Lionel Messi

Pertandingan internasional pertama yang saya liput di luar negeri adalah laga persahabatan antara tuan rumah Swiss melawan Argentina pada 28 Februari 2012 yang berlangsung di kota Bern. Saya ingat ketika menerima e-mail konfirmasi bahwa saya diizinkan meliput laga itu, saya senang bukan kepalang. Pertandingan pertama yang saya liput langsung di stadion melibatkan beberapa nama kelas dunia, kesempatan yang cukup langka tentunya.

Sehari sebelum laga berlangsung, Stadion Stade de Suisse sudah penuh dengan penggila sepak bola untuk menyaksikan para pemain timnas Argentina melakukan uji lapangan. Namun, sesi yang dilakukan oleh tim nasional Argentina tertutup untuk umum. Para jurnalis, baik media cetak maupun elektronik, hanya diberi waktu lima belas menit untuk menyaksikan latihan tertutup tersebut.

Saya mengenali beberapa wajah familiar yang selama ini hanya bisa saya lihat di televisi, antara lain Javier Mascherano, Sergio Aguero, dan Gonzalo Higuain. Namun, tentu saja sosok yang menyita perhatian adalah pria dengan tinggi 170 sentimeter, sang megabintang, Lionel Andres Messi.

Sehari setelahnya, yaitu pada hari pertandingan, laga persahabatan itu nyaris tak menyisakan kursi kosong di stadion. Argentina mendominasi pertandingan dan menang 3-1, dengan trigol dari Messi. Kehebohan di kota Bern tak berhenti sampai di situ. Sehari setelah pertandingan, para penggila sepak bola berkumpul di depan hotel para pemain Argentina. Mereka ingin melihat sosok Messi dari dekat meski hanya sekilas.

Mengingat kota Bern adalah salah satu kota paling tenang di Swiss, hiruk-pikuk masyarakatnya menyambut kedatangan Messi dan kawan-kawan adalah pemandangan tak biasa. Setelah laga persahabatan tersebut, saya lalu berkesempatan menyaksikan tim nasional Swiss berlaga selama setahun ke depan. Salah satunya adalah ketika menghadapi Islandia setahun setelahnya.

Laga yang berlangsung pada 19 Februari 2014 itu cukup penting bagi Swiss. Jika menang, mereka akan lolos otomatis ke Piala Dunia 2014 yang dilaksanakan di Brasil. Islandia pada saat itu belumlah menjadi pembunuh raksasa seperti di Piala Eropa 2016, atau dengan kata lain masih dipandang sebelah mata oleh para lawan mereka di Benua Biru, termasuk tuan rumah Swiss.

Alih-alih menyamai antusiasme penonton ketika laga persahabatan melawan Argentina, Stade de Suisse di laga menjamu Islandia hanya terisi dua per tiga dari kapasitas total. Laga pun terlihat seakan dengan mudah dimenangkan Swiss yang unggul 4-1 hingga menit ke-55.

Secara tak terduga, Islandia mampu mengejar ketertinggalan, termasuk melalui gol penyama kedudukan pada injury time. Swiss akhirnya hanya bermain imbang 4-4 melawan Islandia. Selepas pertandingan, saya buru-buru ke ruang konferensi pers untuk mendengar keterangan para pelatih kedua tim.

Namun, ternyata tak satu pun pertanyaan diajukan kepada pelatih Islandia saat itu, Lars Lagerback. Pelatih asal Swedia itu bahkan sempat menunggu selama tiga sampai lima menit sebelum bertanya sambil mengangkat bahu, “That’s it? No questions?”. Setelah Lagerback meninggalkan ruang konferensi pers, barulah para jurnalis menghujani pertanyaan kepada pelatih Swiss saat itu, Ottmar Hitzfeld.

Hasil imbang 4-4 di Bern itu rupanya merupakan setitik percikan dari api kejutan Islandia yang baru mulai menyala. Laga tersebut menjadi bukti mulai berkembangnya sepak bola negara yang selama ini dikenal sebagai kampung halaman beberapa musisi eksentrik seperti Bjork dan Sigur Ros. Mereka sukses finis sebagai runner-up di bawah Swiss dan melaju ke play-off Piala Dunia 2014 sebelum ditaklukkan Kroasia.

Ternyata, kejutan di tahun 2014 itu baru merupakan pemanasan. Sisanya merupakan sejarah manis. Lagerback bersama asistennya, Heimir Hallgrimsson, sukses mempersembahkan debut turnamen bergengsi bagi Islandia di Piala Eropa 2016. Hallgrimsson lalu meneruskan tongkat estafet Lagerback untuk membawa tim dari ‘Negara Es dan Api’ ke Piala Dunia 2018.

Selain mencetak sejarah penampilan perdana mereka di Piala Dunia, Islandia pun tercatat sebagai negara berpopulasi terkecil yang pernah tampil di turnamen bergengsi ini. Dengan populasi hanya sekitar 350 ribu penduduk, mereka melewati rekor sebelumnya yang dipegang Trinidad & Tobago (sekitar 1 juta penduduk).

Seperti yang mereka lakukan dua tahun sebelumnya saat menyingkirkan Inggris di perdelapan-final Piala Eropa, Islandia kembali tampil spartan layaknya nenek moyang mereka, para pelaut Viking. Sepak bola bertahan yang mereka pertontonkan memang sempat dicibir Cristiano Ronaldo sebagai ‘mentalitas tim kecil’. Namun, strategi yang sukses meredam Portugal di fase grup Piala Eropa 2016 itu ternyata kembali manjur ketika menghadapi tim yang diperkuat pemain terbaik dunia lain, Lionel Messi.

Laga Islandia kontra Argentina di fase grup Piala Dunia 2018 pada tanggal 16 Juni 2018 membawa ingatan saya kembali ke pengalaman meliput pertandingan internasional di Swiss sekitar lima-enam tahun lalu. Kedua tim itu masih mendatangkan sensasi yang sama di kepala dan hati saya. Argentina sebagai salah satu tim juara bertabur bintang dengan si genius Messi sebagai andalan bertemu Islandia, tim yang pernah mempertontonkan langsung magisnya di depan mata saya.

Kali ini, saya sepakat dengan ribuan penonton netral lain bahwa Islandia-lah pemenang sesungguhnya di laga yang berakhir imbang 1-1 tersebut. Meski banyak orang menganggap hasil tersebut adalah kerugian Argentina, terutama Messi yang gagal mengeksekusi penalti, bagi saya pesona tetap milik Islandia.

Gylfi Sigurdsson sama sekali tak demam panggung meskipun sedang menjalani laga debut di kompetisi antar-negara tertinggi dunia. Mereka tampil disiplin dan sangat terorganisir. Alih-alih panik ketika Aguero mencetak gol perdananya di Piala Dunia ke gawang mereka, Islandia merespons cepat empat menit kemudian lewat serangan balik mematikan yang diselesaikan Alfred Finnbogason.

Kita juga harus bertepuk tangan melihat kepahlawanan kiper Hannes Por Halldorsson. Pria berusia 34 tahun yang kabarnya bekerja sambilan sebagai sutradara film pendek ini tak gentar menghadapi Messi di kotak penalti. Halldorsson dengan tenang menepis eksekusi sang megabintang yang berpenghasilan ratusan kali lipat darinya, serta beberapa peluang emas lain yang diperoleh Argentina.

Ketika peluit terakhir dibunyikan wasit, saya pun tanpa sadar bertepuk tangan. Saya menyaksikan laga pembuka Grup D Piala Dunia itu di televisi rumah saya di Indonesia. Cangkir yang kopinya telah habis saya seruput selama pertandingan menjadi saksi rasa puas saya saat itu. Puas karena disuguhi sajian drama penuh greget khas Piala Dunia, sekaligus puas telah berkunjung ke memori indah saya meliput kedua tim di Swiss beberapa tahun lalu.