Kenapa media sepak bola seperti Football Tribe Indonesia, sampai merasa perlu membuat editorial dengan judul di atas? Kenapa pula, kami merasa perlu mendukung Via Vallen terkait pelecehan seksual yang ia terima dari oknum pesepak bola asing di negara ini? Saya akan mencoba sedikit menjelaskan dua hal tersebut di editorial ini.
***
Sepak bola, selain membawa hiburan, juga menjadi panggung besar untuk menyuarakan banyak hal. Itu kenapa FIFA sejak dari dahulu kala, selalu melarang penyampaian muatan politis masuk ke lapangan hijau. Pertama, karena mereka tahu, membawa hal-hal politik ke dalam sepak bola akan memberi dampak yang signifikan karena populernya sepak bola di dunia. Kedua, FIFA, secara mulia (mungkin), ingin sepak bola hanya tentang sepak bola, sebuah cara untuk menjaga kemurnian olahraga ini.
Tapi, sepak bola berevolusi. Kini, ia tak hanya medium menyalurkan kebahagiaan menonton dua puluh dua orang memperebutkan satu bola demi beberapa biji gol, namun lebih daripada itu. Manusia semakin berkembang dengan pola pemikiran progresif mereka seiring zaman yang semakin maju, hingga muncul kemudian upaya advokasi melalui sepak bola terhadap isu sosial-budaya.
Sebagai contoh, timnas Republik Irlandia di pertandingan internasional FIFA baru-baru ini, memberi nuansa pelangi di kostum yang akan mereka pakai bertanding untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap kesetaraan hidup bagi para LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Simbol-simbol dan gesture seperti ini yang kemudian membuat sepak bola bisa membawa misi-misi kemanusiaan dengan kemasan advokasi yang kreatif. Tujuannya sederhana: memunculkan kesadaran bahwa di olahraga terpopuler di kolong langit ini, kamu bebas menjadi apapun dan siapapun untuk bisa dan boleh bermain sepak bola.
Dan berangkat dari bagaimana sepak bola berevolusi tak lagi hanya sebagai permainan dan roda ekonomi yang semakin kapitalis belaka, sepak bola, sialnya, masih tidak memberi dan menjadi tempat yang nyaman bagi perempuan.
Kembali ke tahun 2004, mantan presiden kontroversial FIFA, Sepp Blatter, mencetuskan ide tolol bahwa untuk mendongkrak euforia dan popularitas sepak bola perempuan, para pemain perempuan perlu menggunakan pakaian dan celana yang lebih ketat dan ‘feminim’ seperti di bola voli atau tenis.
Seakan belum cukup, Blatter juga menambahkan, masih di tahun yang sama, bahwa sepak bola perempuan perlu mengubah standar pakaian para pesepak bola perempuan karena mereka harus menonjolkan sisi cantik dari perempuan. Titik di mana kita kemudian sadar bagaimana sebagian besar orang masih melihat sepak bola perempuan dari seberapa cantik paras sang pemain, dibanding seberapa hebat dia bermain si kulit bundar.
14 tahun berlalu, hal picik yang ada di pikiran Blatter pada 2004, harus kamu dan kita sadari bersama, masih ada di sepak bola dunia, bahkan, di Indonesia. Ketika Deliana Fatmawati Kaban menyeruak ke permukaan sebagai wasit perempuan pertama di Indonesia yang berlisensi FIFA, dalam sekejap, namanya menjadi media darling. Ciri fisiknya sebagai perempuan ditonjolkan dalam balutan headline yang bombastis seperti, “Si cantik Deliana Fatmawati, wasit perempuan berlisensi FIFA dengan paras rupawan.”
Via Vallen dan mengapa kami perlu mendukungnya
Cerita soal Deliana adalah satu contoh, namun apa yang dialami Via Vallen adalah contoh lain dengan cerita yang jauh lebih membuat publik merasa jengkel dan marah. Via menggunggah sebuah unggahan di Instagram Stories-nya dan menjelaskan kekesalannya karena sebuah pelecehan dari oknum pesepak bola asing. Respons beragam muncul, dan anehnya, ketika Via sangat perlu dukungan atas apa yang telah ia lakukan, tak sedikit publik yang menilai tindakan Via sebagai sesuatu yang ‘alah cuma gitu doang..’
Pelecehan seksual memang masih menjadi topik yang rutin terjadi di Indonesia karena sebagian besar masyarakat ‘membiarkan’ ini menjadi sebuah ‘rutinitas’. Pembiaran yang kemudian dimaklumi sebagai hal yang biasa, akan berkembang pesat menjadi sebuah pemakluman. Ini yang kemudian membuat pelecehan seksual menjadi sesuatu yang jamak terjadi, termasuk di dunia sepak bola, terlebih, di Indonesia, negara dengan aura patriarki yang masih kuat membelenggu.
Apa kita tidak boleh boleh bersuara lantang ketika pelecehan seksual masih berupa catcalling atau godaan seksual di daring belaka? Atau pelecehan seksual baru boleh dianggap pelecehan yang nyata ketika sudah berwujud kontak fisik dalam pemerkosaan?
Ini bukan perkara Via dan statusnya sebagai salah satu biduanita papan atas Indonesia yang membuat kenapa kita perlu terbuka dan vokal dengan hal seperti ini. Justru ketika seorang figur publik sepopuler Via berani terbuka dengan hal ini, ini momentum untuk menyadarkan banyak orang pentingnya edukasi terhadap menghargai otoritas fisik manusia, baik perempuan dan laki-laki.
Via dan sepak bola sangat beririsan, bahkan memiliki relasi sangat dekat. Saat final Piala Presiden 2018 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Via Vallen adalah penyanyi yang diminta tampil menghibur untuk membuka pertandingan. Via juga sosok yang hadir di launching Go-Jek Liga 1 2018 di salah satu televisi swasta beberapa bulan lalu.
Kedekatan Via dengan sepak bola dan polemik yang menimpanya saat ini, kemudian rentan bergulir menjadi sebuah bola panas, dan tak jarang, akan menimbulkan trauma. Itulah kenapa para pelaku sepak bola; pemain, suporter, klub, bahkan media, perlu untuk menggaungkan dengan keras dan luas bahwa kami akan selalu bersama Via Vallen demi menunjukkan dengan jelas bahwa sepak bola Indonesia tidak berwajah seseram seperti apa yang sudah dialami Via beberapa hari lalu.
Maka dari itu, sangat disayangkan kenapa kemudian publik sampai perlu menyerang Via secara personal atas tindakan berani yang ia lakukan. Dukungan ini tak semata karena Via adalah sosok populer, tapi juga karena kami ingin semua perempuan yang terlibat di sepak bola; jurnalis, suporter, bahkan pengurus klub, tidak perlu merasa inferior dan was-was bekerja di lingkungan sepak bola Indonesia.
Dukungan itu perlu ada, tidak hanya di masa sekarang, namun juga secara konstan demi mewujudkan cita-cita luhur sepak bola sebagai olahraga untuk semua. Olahraga yang tak hanya populer dan menguntungkan roda perekonomian belaka, tapi juga olahraga yang ramah terhadap perempuan, terlepas fakta bahwa di Indonesia, sisi maskulinitas di sepak bola masih sangat tinggi.
Dan ya, kami bersama Via Vallen, juga bersama para perempuan hebat lain yang terlibat di sepak bola Indonesia baik sebagai suporter, jurnalis, bahkan pengurus klub. Perempuan berhak ada dan terlibat di sepak bola sesuai dengan pilihan dan panggilan hati mereka sendiri, tanpa perlu paksaan, tanpa perlu mengalami skeptisme, apalagi mengalami pelecehan seksual.