Piala Dunia 2018

Profil Jepang di Piala Dunia 2018: Dua Sisi Skuat Veteran

Sejak pertama kali lolos ke Piala Dunia pada 1998 di Prancis, Jepang tak pernah absen dari kejuaraan empat tahunan ini. Sebuah prestasi membanggakan dari salah satu wakil Asia tentunya, tapi itu juga diiringi hasil minor karena tak pernah melaju lebih jauh dari perdelapan-final. Lalu bagaimana potensi Jepang di Piala Dunia 2018?

Layaknya Korea Selatan yang sama-sama wakil dari Asia Timur, Jepang datang ke Rusia bermodalkan pemain-pemain di liga top Eropa, dan penggawa terbaik dari J1 League. Menariknya, skuat Jepang kali ini adalah skuat gabungan dua Piala Dunia, karena mayoritas terdiri dari anggota di Piala Dunia 2010 dan Piala Dunia 2014.

Eiji Kawashima, Yuto Nagatomo, Makoto Hasebe, Keisuke Honda, dan Shinji Okazaki adalah beberapa pemain yang ambil bagian dalam kesuksesan Jepang menembus babak 16 besar di Afrika Selatan, menyamai prestasi di Piala Dunia 2002. Kemudian di Piala Dunia 2014, yang sekarang masih jadi andalan di Piala Dunia 2018 adalah Maya Yoshida, duo Sakai (Gotoku dan Hiroki), dan Shinji Kagawa.

Bahkan dari beberapa nama tersebut, di Rusia nanti ada yang akan mencicipi Piala Dunia ketiganya sejak 2010, yaitu Eiji Kawashima (35 tahun), Yuto Nagatomo (31 tahun), Makoto Hasebe (34 tahun), Shinji Okazaki (32 tahun), dan Keisuke Honda (31 tahun). Deretan pemain veteran itu menempatkan Jepang sebagai salah satu tim dengan rataan usia tertinggi.

Prakiraan formasi

https://www.instagram.com/p/Bjb9fZYHik8/

Berkaca dari 23 pemain yang dibawa Akira Nishino ke Rusia, kemungkinan Jepang akan memakai formasi 4-2-3-1 dengan variasi 4-3-3, yang digunakan sejak fase kualifikasi. Hasebe dan Yamaguchi sebagai dobel pivot, kemudian Osako yang sendirian di depan akan disokong trio Honda – Usami – Haraguchi.

Akan tetapi meskipun pola 4-2-3-1 dengan variasi 4-3-3 berjasa besar meloloskan Jepang ke Piala Dunia 2018, Samurai Biru bukan tanpa skema cadangan. Jika strategi utama mentok atau untuk menyesuaikan dengan kekuatan lawan, mereka bisa menggunakan ideologi “sepak bola ala Jepang” dengan formasi 3-4-2-1, seperti yang sedang dikembangkan Nishino dan JFA.

Namun, formasi 3-4-2-1 ini masih punya banyak kekurangan, dan diyakini menjadi penyebab utama kekalahan 0-2 di kandang saat menjamu Ghana, 30 Mei lalu. Jepang saat itu kesulitan membongkar pertahanan Ghana, dan takluk akibat gol tendangan bebas Thomas Partey dan penalti Emmanuel Boateng.

Dua skema tersebut adalah yang paling pas dengan gaya bermain Jepang saat ini. Mengandalkan serangan balik melalui kedua sayap, mengokupansi sisi lapangan adalah keharusan. Oleh karenanya, minimal harus ada tiga pemain di area tersebut, yang terdiri dari satu bek sayap dan dua pemain lainnya, bisa satu penyerang sayap dan satu gelandang serang, atau satu gelandang serang dan satu penyerang tunggal.

Kekuatan

Secara individu, Jepang adalah kesebelasan yang diberkahi kemampuan individu mumpuni. Layaknya negara Asia Timur pada umumnya, pemain-pemain Jepang sangat cepat dan gesit, juga jago mendribel. Kelebihan lainnya, Jepang dikenal memiliki kohesi yang sangat kuat dalam timnya. Para pemainnya sudah bermain bersama dengan waktu yang cukup lama, sehingga sudah saling memahami karakter satu sama lain.

Poin itu terlihat dari susunan pemain yang dibawa Jepang ke Piala Dunia kali ini. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, skuat Nishino adalah gabungan materi pemain di Piala Dunia 2010 dan 2014. Artinya, Jepang datang ke Rusia dengan bekal pengalaman internasional yang memadai, bukan dengan satu gerbong pemain muda bau kencur.

Kelemahan

Jepang boleh berbangga dengan profil pemain-pemain mereka yang mayoritas berpengalaman di turnamen besar internasional, tapi secara tidak langsung kelebihan itu juga menjadi kelemahan mereka. Faktor usia, sangat sulit diakali di turnamen singkat bergengsi selangit seperti Piala Dunia.

Trio Honda – Kagawa – Okazaki sudah bukan lagi yang dulu. Puncak karier mereka telah lewat, dan bisa dibilang 2018 adalah awal dari penurunan karier mereka. Honda kini hanya bermain di Liga Meksiko bersama Pachuca, Kagawa kesulitan menembus tim inti Borussia Dortmund, dan Okazaki ikut tenggelam bersama Leicester City yang kembali ke habitatnya di papan tengah. Kasus serupa juga dialami Yuto Nagatomo.

Kekhawatiran ini sudah terlihat sejak fase kualifikasi. Di putaran ketiga Grup B Zona Asia, Jepang tidak lolos dengan hasil meyakinkan. Mereka memang jadi pemuncak klasemen, tapi mayoritas pertandingan dimenangi dengan skor tipis. Hanya kemenangan 4-0 lawan Thailand yang dimenangi dengan margin lebih dari dua gol.

Menghadapi sesama kontestan Piala Dunia, Arab Saudi dan Australia, Jepang memang sukses meraup poin penuh di kandang, tapi saat bertandang tak ada kemenangan yang diraih. Ini tentunya menjadi alarm bahaya, karena jika menghadapi sesama tim Asia saja kesulitan, bagaimana jika bertemu Polandia dengan taktik ala Eropa, Kolombia yang berteknik tinggi ala Amerika Latin, dan Senegal dengan kekuatan fisik khas Afrika?

 

Pemain kunci: Keisuke Honda

Walau tak lagi sedahsyat ketika merumput di CSKA Moskow dan tak lagi setenar ketika berseragam AC Milan, tapi kharisma Keisuke Honda sulit dipinggirkan dari skuat inti Jepang. Di Jepang, fenomena ini dikenal dengan istilah Name Value, yaitu ketika seseorang tetap diikutsertakan ke sebuah ajang karena popularitas dan jiwa kepemimpinannya.

Oleh sebab itu, kalaupun Honda tidak bersinar secara aksi di lapangan, ia bisa memberi dukungan moral pada pemain-pemain yang lebih muda seperti Takashi Usami (26 tahun) yang kemungkinan akan bertandem dengannya di sepertiga akhir lapangan.

Peluang di Piala Dunia

Grup H adalah grup yang tenang-tenang menghanyutkan. Tidak ada yang favorit di grup yang dihuni empat negara dari empat benua berbeda ini. Bagi Jepang, kuncinya adalah di dua pertandingan pertama, jika sanggup meraih minimal empat poin dari Kolombia dan Senegal, tekanan di laga terakhir saat melawan Polandia akan lebih ringan untuk melaju ke fase gugur.