Dulcius ex Asperis, begitu motto klan Ferguson, yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah “ada manis setelah kesukaran”. Motto tersebut setidaknya menjadi gambaran dalam karier seorang Sir Alex Ferguson, tentang bagaimana kejayaan yang ia raih tidak terjadi dalam sekejap. Semua dimulai dengan perjalanan getir dan penuh kerja keras. Salah satu momen besarnya adalah ketika ia berhasil membawa Aberdeen meraih gelar juara Piala Winners pada tahun 1983.
Sebelumnya sebagai pengetahuan, Piala Winners ini dahulu merupakan ajang kompetisi antarklub Eropa selain Piala Champions (kini Liga Champions). Pemenang dari Piala Winners ini akan bertanding dengan pemenang dari Piala Champions di Piala Super Eropa. Hingga akhirnya sejak tahun 1998, kompetisi ini kemudian digabung dengan Piala UEFA yang kemudian bertransformasi menjadi Liga Europa di masa sekarang.
Pada masanya, Piala Winners adalah kompetisi bergengsi selain Liga Champions. Piala Winners menjadi tempat bertemu khusus tim juara kompetisi domestik negara anggota UEFA, berbeda dengan Liga Champions yang juga mengikutsertakan tim-tim selain juara. Gelar di kompetisi ini adalah gelar Eropa perdana dalam karier gemilang seorang Sir Alex Ferguson.
Sir Alex saat itu masih menangani Aberdeen. Mereka merebut tiket berlaga di Piala Winners 1982/1983 setelah berhasil memenangkan Piala Skotlandia di musim sebelumnya. Di klub inilah Sir Alex memang sudah menunjukan potensi besarnya, saat ia berhasil membuat Aberdeen menjadi pesaing bagi dua kekuatan tradisional sepak bola Skotlandia, Celtic dan Rangers.
Skuat saat itu memang hebat, diisi oleh para pemain yang juga menjadi tulang punggung timnas Skotlandia seperti Alex McLeish, Gordon Stratchan, dan Eric Black. Pada babak pertama, Aberdeen yang ditangani oleh Sir Alex sudah menggila. Mereka berhasil menang skor agregat 11-1 atas tim perwakilan Swiss, FC Sion. Sir Alex membawa Aberdeen terus melaju jauh, bahkan mengalahkan tim raksasa Jerman, FC Bayern München, pada babak perempat-final.
Pada fase semifinal, Sir Alex dan Aberdeen berhasil mengatasi perlawanan tim asal Belgia, Waterschei Thor. Dan lawan yang sudah menunggu mereka di partai final bukanlah lawan sembarangan. Tim yang akan dihadapi oleh Sir Alex dan Aberdeen di partai final Piala Winners tahun 1983 adalah tim bertabur bintang, Real Madrid.
Real Madrid yang saat itu ditangani oleh Alfredo Di Stefano jelas lebih dijagokan. Tetapi daya kejut Sir Alex dan Aberdeen di kompetisi tersebut juga memang belum usai. Pada partai final yang digelar di Nya Ulevi Stadium, Gothenberg, Swedia, penyerang Aberdeen, Eric Black sudah membuat pendukung Los Blancos terkejut dengan gol yang berhasil ia cetak pada awal-awal pertandingan. Real kemudian berhasil menyamakan angka melalui lesakan dari Juanito.
Sir Alex memang benar-benar mengaplikasikan motto klan atau keluarganya tersebut dalam melatih. Sepanjang turnamen, mereka terus berjuang, dan perjuangan lebih keras dan rumit terjadi di partai final. Hingga akhirnya rasa manis kemenangan kemudian muncul setelah pemain pengganti, John Hewitt, mencetak gol kemenangan pada babak tambahan.
Trofi Piala Winners 1983 ini boleh jadi merupakan trofi paling penting dalam karier Sir Alex selain trofi Piala FA pada tahun 1990. Trofi ini menjadi gelar Eropa perdana Sir Alex, sekaligus membuat namanya mulai diperhitungkan di jagad sepak bola. Karena prestasi ini dilanjut dengan kesuksesan memenangkan Piala Super Eropa beberapa bulan kemudian, ia kemudian mendapatkan knighthood-nya hingga kemudian bergelar “Sir”.
Pun karena kesuksesan ini pulalah ia kemudian mendapatkan kesempatan untuk menjadi manajer Manchester United. Yang terjadi selanjutnya sudah tercatat dalam sejarah.