Cerita

James Milner dan Kualitas yang Kembali di Senja Karier

Semua terbius akan fenomena Mohamed Salah di Liverpool musim ini. Permainan apik dengan rententan gol-gol yang pemain asal Mesir itu ciptakan, membuat dirinya layak dilabeli pemain terbaik. Misalnya yang terbaru adalah pemain terbaik di Inggris versi Professional Footballer’s Association (PFA). Tak hanya itu, meledaknya Salah musim ini juga diikuti oleh dua tandemnya di lini depan. Sadio Mane dan Roberto Firmino juga menunjukkan performa gemilang musim ini dengan gol maupun asis yang dibuat.

Kita akui bahwa ketajaman trio Mane, Firmino, dan Salah begitu mengangkat eksistensi The Reds musim ini, terutama di Liga Champions di mana mereka mencapai babak final setelah absen hampir satu dekade lebih. Namun dibalik kegemilangan yang nampak dari mereka bertiga, ada nama lain di Liverpool yang diam-diam juga menorehkan pencapaian memesona. Dia adalah James Milner. Lalu, apakah hal yang menarik dari pemain berusia 32 tahun ini?

Taruh saja kalimat tak bersubjek terang seperti ini: “Telah tercipta rekor baru berupa catatan 9 asis dalam satu musim Liga Champions, oleh seorang pemain berposisi gelandang”. Pasti membaca kalimat semacam itu, orang akan mudah mengasosiasikannya dengan gelandang ahli pengumpan seperti Andres Iniesta, Luka Modric, atau Toni Kroos. Ternyata bukan. Sang gelandang tersebut adalah James Milner, yang selama ini telah dianggap habis masa jayanya.

Sejarah karier profesional Milner bermula di Leeds United pada musim 2002/2003. Di klub yang bermarkas di Yorkshire itu, sinar muda Milner sudah terlihat. Harian The Guardian pernah melabelinya dengan sebutan Magical Milner, ketika dirinya mencetak gol profesionalnya yang kedua ke gawang Chelsea. Gol itu sekaligus menghentikan catatan 11 kemenangan beruntun milik tim yang diasuh Claudio Ranieri kala itu.

Musim selanjutnya, Milner makin menjadi pilar penting bagi The Whites. Bersama Leeds, namanya mulai dikenal sebagai bakat muda potensial Inggris. Milner berposisi sebagai gelandang, baik itu di tengah, sisi kiri ataupun kanan. Kemampuan dalam mengumpan adalah atribut unggulan yang ia miliki. Dua musim bersama Leeds, Milner sebenarnya bisa membantu klub itu untuk mengembalikan kejayaan mereka.

Selepas kesuksesan mencapai semifinal Liga Champions 2000/2001, Leeds perlahan mengalami pernuruan akibat krisis keuangan yang mendera. Sejak saat itu, mereka mulai menjual satu persatu aset mereka seperti Rio Ferdinand, Jonathan Woodgate, Alan Smith, Harry Kewell, Mark Viduka, hingga Paul Robinson.

Baca juga: Akibat Polemik Rohingya, Rencana Tur Leeds United ke Myanmar Tuai Kecaman

Setelah terdegradasi ke Divisi Championship di musim 2003/2004, Leeds benar-benar habis. Padahal mereka masih diperkuat Alan Smith, Mark Viduka, Paul Robinson, Aaron Lennon, dan tentu James Milner. Mereka masih bisa merevolusi diri dan peluang kembali ke Premier League pun besar dengan pemain-pemain berkualitas seperti itu. Tetapi, kebutuhan finansial dan Leeds berada yang berada di kasta kedua membuat beberapa pemain hengkang. Milner yang loyal bersama klub profesional pertamanya itu, terpaksa harus pindah demi kebaikan bersama.

Milner pindah ke Newcastle dengan harga berkisar 5 juta paun untuk musim 2004/2005. Selain musim 2005/2006, Milner menjadi bagian penting The Magpies yang sedang menapaki poros besar papan atas. Selama tiga musim bermain untuk Newcastle, James Milner dan kolega sebenarnya bisa membuat klub itu menjadi kuda hitam Premier League.

Selain Milner, saat itu pemain-pemain bagus seperti Alan Shearer, Kieron Dyer, Jermain Jenas, Scott Parker, Damien Duff, Obafemi Martins, Michael Owen, hingga mantan rekan Milner seperti Alan Smith dan Mark Viduka, ikut hilir mudik memperkuat Newcastle. Namun, terlalu seringnya klub berganti pelatih membuat skuat yang seharusnya bagus, tak cukup ampuh menebar ancaman.

Lalu dengan mahar 12 juta paun, James Milner pun pindah ke Aston Villa pada musim 2008/2009. Dia pernah bermain di klub itu tiga musim sebelumnya, sebagai pinjaman dari buah transfer Nolberto Solano ke Newcastle.

Ketika kembali ke Aston Villa, Milner menggenapi generasi terbaik Aston Villa di era sepak bola modern. Saat itu The Villans diperkuat pemuda-pemuda Inggris berbahaya lainnya seperti Nigel Reo-Coker, Ashley Young, dan Gabriel Agbonlahor. Dipimpin oleh Garreth Barry yang dalam top performanya, Villa benar-benar berpotensi menyeruak ke papan atas. Posisi keenam ditempati mereka pada akhir musim 2008/2009 dan Milner mantap mengisi pos sayap kiri dalam formasi 4-4-2 andalan manajer mereka saat itu, Martin O’Neill.

Musim selanjutnya, posisi Milner berpindah ke tengah seiring perginya Gareth Barry ke Manchester City. Kapabilitas dalam memberi umpan terukur membuatnya tak kesulitan beradaptasi sebagai gelandang sentral yang harus mahir dalam memberi umpan berpresisi.

Sebenarnya posisi Barry digantikan oleh Reo-Coker, yang juga wakil kapten Aston Villa. Namun konflik dengan O’Neill membuat Reo-Coker tersisih ke bangku cadangan, dan Milner pun mengisi posisi Barry. Tempat Milner di sayap kiri diambil alih Stewart Downing, yang baru bergabung dari Middlesbrough musim itu.

Lalu saat bergabung ke Manchester City per musim 2010/2011, Milner menjadi bagian dari proyek ambisius Manchester City di bawah Sheikh Mansour. Meski tak selalu menjadi andalan utama The Citizens, Milner tetap punya andil dalam sejarah klub itu menjuarai kasta tertinggi sepak bola Inggris musim 2011/2012, yang sudah dinantikan selama 44 tahun. Total Milner beraksi di Premier League dengan seragam biru langit City sebanyak 147 kali dalam lima musim.

Meski cukup penting keberadaanya, ditambah kemampuan versatile yang tinggi, Milner nyatanya tidak kerasan di Manchester City dan pergi saat kontraknya habis diawal musim 2015/2016 ke Liverpool. Padahal, gaji yang Liverpool beri lebih rendah penawaran yang dilayangkan City. Alasan ingin bermain reguler dan berposisi sebagai gelandang tengah yang membuatnya menerima pinangan Liverpool.

Kebetulan, Liverpool membutuhkan pengganti Steven Gerrard yang pergi ke LA Galaxy. Memang secara teknis, Milner bukanlah pengganti Gerrard yang pas. Sebagai pemain berpengalaman, Milner dihadirkan lebih tepatnya untuk mengisi sisi mentalitas tim. Dia lalu dinobatkan sebagai wakil kapten sejak pertama datang.

Baca juga: James Milner, Raja Asis Asal Inggris di Liga Champions Musim Ini

Tentu tak sembarangan bagi klub besar seperti Liverpool, langsung menunjuk pemain baru sebagai wakil kapten tim. Di bawah asuhan Jürgen Klopp, Liverpool banyak mengandalkan pemain belum banyak pengalaman untuk misi berat restorasi kebesaran diri mereka dari masa lampau. Maka, adanya pemain senior kaya pengalaman dan mampu jadi panutan yang muda merupakan hal fundamental. Soal perfoma, meski banyak yang mengakui bahwa Milner yang “sesungguhnya” adalah saat bersama Aston Villa, namun di Liverpool inilah dia seakan hendak menunjukkan kembali permainan terbaiknya.

Dari segi taktik dan kebutuhan tim, dia justru semakin jadi team player. Meski berada di Liverpool demi bermain di lini tengah, dia tak kecewa dan tetap tampil baik meski Klopp menempatkannya mengisi pos bek kiri. Sedangkan ketika bermain di lini tengah, ia terbiasa mengisi pos gelandang tengah sebelah kiri.

Dia juga penting ketika barisan gelandang The Reds butuh rotasi atau ada pemain cedera. Bisa jadi dia akan mengisi pos bek kanan atau gelandang bertahan di kemudian hari, andai situasi atau Klopp sendiri yang menginginkan hal tersebut.

Sepertinya mereka yang dulu mengejek Milner kini mulai tertohok. Terlebih, torehan sembilan asis di Liga Champions pada usia 32 tahun (masih bisa bertambah di partai final), bukan perkara sembarangan. Apalagi orangnya adalah James Milner, yang dahulu sempat dinilai sebagai “pemain setengah gagal” atau perekrutan penuh keraguan, namun kini kualitasnya hendak kembali disaat senja kariernya.