Tak ada angin, tak ada hujan, melalui laman resminya Arsenal mengumumkan bahwa pelatih asal Prancis yang menukangi mereka selama dua dekade pamungkas, Arsene Wenger, bakal cabut begitu musim 2017/2018 selesai. Pengumuman itu sendiri dilengkapi dengan tanda pagar #MerciArsene yang punya arti, “Terima kasih, Arsene”.
Gara-gara pengumuman itu sendiri, linimasa saya riuh dengan berbagai komentar terkait ‘perceraian’ Wenger dan Arsenal, sepasang wujud yang selama ini identik satu sama lain layaknya duet ayah dan anak.
Ada yang merasa sedih dengan keputusan Wenger untuk meninggalkan Stadion Emirates, baik pendukung The Gunners sendiri maupun yang bukan. Pun begitu dengan mereka yang hatinya diliputi kegembiraan, baik suporter fanatik Arsenal ataupun penggemar dari kubu rival. Namun satu hal yang pasti, sore hingga malam hari kemarin tampak seperti harinya Wenger.
Terlepas dari apapun respons publik tentang usainya petualangan Wenger di London Utara, tapi kisah yang ia ukir selama 22 tahun pasti akan selalu diingat kendati tak semuanya terasa manis.
Baca juga: Era Arsene Wenger Pun Akhirnya Berakhir di Akhir Musim
Setidaknya, kita yang mendaku diri sebagai pencinta sepak bola, utamanya Liga Primer Inggris, tentu memahami jika di sepanjang periode tersebut, Wenger berjasa besar membangun sebuah tim yang kompetitif dan sanggup menyaingi kejayaan Manchester United di era Sir Alex Ferguson di saat tim-tim lain kerepotan melakukannya.
Sejak direkrut dari Nagoya Grampus Eight pada Oktober 1996 silam, lemari trofi The Gunners secara konsisten terisi. Mulai dari tiga gelar Liga Primer Inggris dan masing-masing tujuh Piala FA serta Community Shield. Praktis, Wenger cuma belum sanggup mengantar klub yang berdiri pada tahun 1886 itu mencaplok titel Piala Liga.
Bukannya Wenger juga masih nihil gelar di kejuaraan antarklub, Eropa?
Sama sekali tidak salah jika Tribes menanyakan hal tersebut, tapi mengingat Arsenal kini sudah menjejak babak semifinal Liga Europa 2017/2018 guna bertemu Atletico Madrid dalam dua leg buat memperebutkan tiket ke partai final, peluang Wenger untuk mengakhiri paceklik titel di Benua Biru masih terbuka lebar, bukan?
Wajar apabila pendukung The Gunners yang sempat mengkritik habis-habisan Wenger akibat performa semenjana Arsenal dalam beberapa musim pamungkas, sekarang berusaha abai dengan hal tersebut dan memupuk asa jika sang monsieur dapat mengakhiri perjalanan panjangnya dengan trofi Liga Europa.
Beranjak dari segala macam ucapan dan harapan perihal momen-momen terakhir Wenger bersama Arsenal di pengujung musim ini, kepergiannya dari klub yang pernah ia jadikan kampiun Liga Primer Inggris 2003/2004 dengan status tak terkalahkan itu seolah menjadi penanda bahwa era kepelatihan yang berlangsung lama dan panjang, akan semakin mustahil terjadi pada zaman sekarang. Lebih-lebih di kasta teratas lima liga top Eropa.
Sepanjang pengetahuan saya, cuma ada dua peramu strategi yang karier melatihnya pada satu klub memiliki durasi lebih panjang ketimbang Wenger-Arsenal di sepanjang era modern bareng klub yang menghuni lima liga top Eropa.
Mereka adalah Sir Alex Ferguson-Manchester United (26 tahun) dan Guy Roux-AJ Auxerre (44 tahun). Pada tahun 2016 lalu, situsweb resmi asosiasi sepak bola Eropa (UEFA) bahkan mencatut ketiganya sebagai The Unsackable Coaches.
Kepercayaan besar yang diberikan manajemen klub terhadap mereka, nyatanya berhasil mendatangkan gelar demi gelar meski dihantam banyak problem pada awal-awal melatih.
Ferguson sukses membawa United jadi klub paling sukses di Inggris lewat raihan tiga belas titel Liga Primer, sepuluh Community Shield, lima Piala FA, empat Piala Liga, dua trofi Liga Champions dan masing-masing sebiji silverware dari Piala Winners, Piala Super Eropa, Piala Interkontinental serta Piala Dunia Antarklub.
Sementara Roux mampu mengubah nasib Auxerre dari klub tanpa prestasi di Prancis menjadi salah satu kuda hitam usai memenangi masing-masing satu gelar Ligue 1, Ligue 2 dan Piala Intertoto berikut empat titel Piala Prancis.
Namun dinamika yang terjadi pada sepak bola masa kini memberi tekanan yang amat masif kepada setiap pelatih. Sedikit saja gagal mencapai target yang ditetapkan, semakin lazim kalau para penikmat sepak bola akan mendengar kabar pemecatan dari sosok tersebut.
Alibi semisal membangun fondasi sebuah tim yang butuh proses panjang agar konsisten meraup kesuksesan jadi suatu hal yang amat sulit diterima belakangan ini. Seolah-olah ada hukum tak tertulis jikalau keberhasilan berupa trofi juara wajib didapat dalam periode singkat dan tak ada pengampunan untuk setiap kegagalan.
Tak percaya? Silakan tengok deretan nama yang mengisi bangku pelatih di klub-klub sekelas AC Milan, Bayern München, Barcelona, Chelsea, Internazionale Milano, Juventus, Paris Saint-Germain, hingga Real Madrid dalam kurun satu setengah dasawarsa terakhir.
Adakah satu orang juru taktik yang karier kepelatihannya menembus satu dekade?
Berakhirnya era Wenger di Arsenal, bisa menjadi titik awal untuk sebuah kemustahilan bernama umur panjang periode kepelatihan seorang ahli strategi di satu klub yang sama.
Andai masih tetap terjadi sekalipun, sepertinya itu bukan dari Pep Guardiola-Manchester City, Jose Mourinho-Manchester United, Jürgen Klopp-Liverpool, Massimiliano Allegri-Juventus, Ernesto Valverde-Barcelona, ataupun Zinedine Zidane-Real Madrid.