Dengan dada sesak, hati terisak dan otak masih dilumuri gol salto serta penalti waktu ekstra babak kedua dari Cristiano Ronaldo, saya mencoba mengapresiasi kembali perjalanan panjang Juventus Football Club di belantika sepak bola Eropa.
Begitu memuncaknya rasa penasaran bercampur kesal dan gregetan atas kelesuan Si Nyonya Tua di altar Liga Champions membuat saya terus mencari cara agar tidak melulu ada dalam mode memaki-maki. Bahkan ketika kapten sekaligus idola sedari cilik dihadiahi kartu merah di saat yang paling vital dalam karier klubnya, kepala Anda harus tetap dingin.
Puluhan ulasan berseliweran, ratusan twit mondar-mandir, beragam analisis mengapung ke linimasa saya. Mereka mencoba membedah apa yang salah di tubuh tim asuhan Massimiliano Allegri. Sang kekasih Italia sanggup ke final dua kali dalam tiga tahun namun hasilnya nihil. Hasil akhir kala dua kali bersua Real Madrid semakin mengonfirmasi mitos itu: Juve belum bersiap menjadi Raja Eropa.
Memang, aksi mencetak tiga gol di Santigo Bernabeu (11/4) sungguh spektakuler, melebihi imaji terliar saya tentang laga tandang di Liga Champions Eropa. Namun, ketika menengok kembali laga di leg pertama, ada rasa sesal yang tersembul. Andai saja tiga gol Madrid bisa direduksi menjadi dua, mungkin nasib akan berkata lain. Andai…
Tapi sudahlah, saya tidak akan menambah garam ke luka ini. Ngapain? Wong saya sendiri sakit hati kok. Membahas wasit ganteng bernama Michel Oliver, yang memimpin di leg kedua juga tiada guna. Madrid layak untuk lolos dan untuk mereka, terutama Cristiano, saya ucapkan selamat.
Kini, sebagai Juventini yang mencoba budiman, ada baiknya saya mengajak Anda untuk memutar kembali sang waktu, berkelana di rimba sejarah dan statistik untuk berjalan-jalan menenangkan pikiran sembari mengembalikan kebanggaan. Cara spesifik yang saya pilih adalah menyusun sebelas pemain terbaik yang pernah dimiliki Juventus, tentu saja versi saya sendiri.
Formasi andalan jatuh ke 3-4-1-2. Sejauh yang saya tahu, ini adalah pola kesukaan Marcello Lippi di musim 1997/1998, di kala sosok legenda kaliber Zinedine Zidane masih berdiri di belakang duet kesayangan Negeri Pizza, Alessandro Del Piero dan Filippo Inzaghi. Selain paling klop dengan preferensi skuat pilihan saya, mencomot 3-4-1-2 adalah apresiasi saya pada skuat super milik Juve di era 1990-an yang berhasil menembus tiga final Liga Champions, namun hanya dua pemainnya yang saya sertakan di sebelas awal terbaik.
Inilah sebelas Juventino favorit saya, mitra penikmat calcio:
Gianluigi Buffon (2001-....)
Iya, saya tahu dan saya siap bagi Anda yang membaca ini, lalu terbayang kartu merah langsung akibat mengintimidasi si pengadil di laga terakhirnya di Eropa, itu hak Anda. Satu tahun terakhir, atau sejak final UCL di Cardiff, segala sesuatu memang (seperti) tidak berjalan menyenangkan bagi Gigi. Saya sampai mempertanyakan konsep keadilan di sepakbola. Namun kembali lagi, mengambil kuadran waktu sedemikian singkat untuk menakar pengabdian Gigi di Juventus yang sudah membentang sejak 2001, tentulah tidak terlalu bijak.
Saya yakinkan Anda, sambil berharap didebat dengan elegan, Gigi adalah kiper terbaik sepanjang sejarah setelah Lev Yashin. Masalah konsistensi dan bakat alami jangan dipertanyakan lagi. Di tubuh tinggi tegapnya, terkandung pertemuan antara refleks kelas satu, antisipasi nomor wahid, kewaspadaan di atas rata-rata dan loncatan selincah kucing yang bakal berusaha menjangkau bola di sudut sesulit apapun.
Namun, jika diminta satu alasan kenapa ia harus ada di daftar ini, tidak lain dan tidak bukan adalah berkat kesetiaan dan kualitas kepribadiannya. Bertahan di Juventuk untuk main di Serie-B setelah menjadi juara dunia bersama Italia adalah puncak pengabdian Gigi. Kerelaan ini bahkan mengaburkan catatan 300 kemenangan di Liga untuk Juventus dan torehan 1000 laga lebih atas nama dirinya di ranah profesional. Sah jika mengatakan Buffon adalah Maradona di posisi kiper. Pas, bukan? Buffon Maradona, Pele-nya Yashin.
Ciro Ferrara (1994-2005)
Saya menganggap keberadaan Ferrara sebagai jembatan. Iya, ia adalah jembatan lintas generasi antara angkatan Gaetano Scirea menuju Giorgio Chiellini dan kolega. Loyalis Lippi asal Napoli ini, jikalau tidak ada Franco Baresi atau Giuseppe Bergomi, merupakan bek tengah terbaik yang ditelurkan Italia di dekade 1990-an. Ingat, ia pernah merasakan era jaya Napoli bersama Maradona sebelum menyeberang ke Turin lho.
Jika Anda berharap Barzagli atau Montero mengisi slot di formasi ini, tenang saja, Ferrara bisa jadi paket komplet dalam satu badan. Di suatu kesempatan ia bisa terlihat seperti antagonis di film mafia: bengis, cerdik (untuk tidak menyebutnya licik), brutal, dan kasar. Deskripsi ini cocok untuk menggambarkan ingatan para rival tentang kawan lamanya di sentral pertahanan Juve, Montero.
Namun di saat yang lain, ada keanggunan ala Bonucci plus kecermatan membaca permainan lalu memberi gerakan antisipasi yang minimalis, persis yang dilakoni Barzagli di Juventus era baru. Pesona dan kharismanya menyiratkan pria cerdas dengan pembawaan tenang dan punya pengaruh kuat di kamar ganti. Kini saya berharap portofolio kepelatihannya perlahan bisa membaik, sebaik catatan prestasinya kala masih aktif bermain.
Gaetano Scirea (1974-1988)
Kerap disandingkan dengan Franz Beckenbauer dan Franco Baresi sebagai libero terbaik, Gai adalah Juventus sampai napas terakhir. Ia mangkat di usia muda karena kecelakaan saat sedang dinas ke Polandia, sebagai staf Juventus. Menyinggung namanya berarti siap-siap bicara dengan dada berdegup kencang dan keringat dingin membasahi jari (meminjam kata-kata Mahfud Ikhwan) karena ia adalah sosok suci yang nyaris tanpa cacat.
Alex Del Piero menjadikannya panutan. Baresi mengakui beberapa gaya bermain Gai coba ia duplikasi. Maradona pernah meminta tanda tangannya dan keberadaannya di Juventus membuat rekannya yang serupa tukang jagal, Claudio Gentile, seperti terampuni dosa-dosanya. Silakan cek kuota Anda, lalu buka beberapa video singkat di YouTube. Melihat bagaimana ia mendribel bola, Anda akan mengira kalau ia adalah gelandang serang.
Di atas kertas, selama membela Juve dan Gli Azzurri, ia berdiri seorang diri di depan penjaga gawang, tanpa rekan sejajar. Tiga bek lain “menguntit” sedikit di depannya. Tugas utamanya adalah memimpin lini belakang, benteng terakhir tim sebelum kiper dan penyapu bola yang lolos dari hadangan bek lain. Semua ini ia lakoni dengan tingkat elegansi yang setara trequartista. Hampir tidak ada yang bicara buruk tentangnya, baik kawan maupun lawan. Anda pikir semua bek Italia itu culas dan kotor? Silakan pikir ulang.
Giorgio Chiellini (2005-....)
Awalnya saya akan memberi jalan kepada Gentile. Namun, malam berkesan di Wembley (7/3/2018) saat Juve mengempaskan Tottenham Hotspur untuk maju ke delapan besar, mengenyahkan semua keraguan. Aksinya saat mengintersep sodoran Son Heung-min untuk Harry Kane membuat saya bersorak. Ia lantas merayakan itu layaknya gol kemenangan menit akhir di final Piala Dunia.
Chiello adalah tipe bek ortodoks yang gemar “mengincar” tubuh sang rival. Ia tipe orang yang Anda paling hindari jika harus tanding sebelas lawan sebelas. Ia akan menghentikan Anda dengan segala cara, legal maupun ilegal, dengan semua anggota badan yang bisa digerakkan. Tanyakan saja hal ini pada Zlatan Ibrahimovic maupun para predator kotak penalti generasi lebih segar macam Kane atau Kylian Mbappe.
Sebuah dosa jika tidak mengikutsertakan anggota dari trio BBC yang telah mengukir enam Scudetto beruntun. Barzagli mungkin yang paling cerdas, Bonucci pandai menginisiasi serangan, namun perkara “kejantanan” dan daya juang, Chiellini mengungguli dua karibnya. Atas semua cucuran darah, gulungan perban dan selebrasi gol ala King Kong yang menghiasi perjalanan kariernya, Chiellini harus terlibat di sini.
Arturo Vidal (2011-2015)
Barangkali ini bakal mendapat banyak resistensi. Tapi tak apa, saya tetap yakin pada si mohawk bertato asal Cile. Era saat Juve mulai mendominasi lagi Italia adalah saat-saat di mana saya menempuh bangku kuliah dan mulai rajin ikut nonton bareng bersama komunitas Juventus Club Indonesia chapter Yogyakarta. Vidal bersama Pirlo dan Marchisio lalu Pogba kemudian, berperan besar dalam membentuk “kesombongan” masa muda saya.
Trio MVP (Marchisio-Vidal-Pirlo) beredar tanpa tanding di jagat Serie-A. Melengkapi kekokohan BBC di lini belakang, MVP membuat Juventus tak tersentuh lagi. Vidal, mirip seperti Gattuso di Milan dan Italia, bertugas sebagai tameng Pirlo. Tapi jangan salah, tameng satu ini bukan sekadar tukang pukul tanpa atribut. Buktinya, dalam satu musim liga (2012/2013) ia pernah menjadi pencetak gol terbanyak untuk Juve. (Apa kabar, Alessandro Matri?)
Jika diloncat ke 2018, perannya kini diambil alih Sami Khedira. Ia gemar menjejak setiap jengkal lapangan. Il Guerrero bisa dengan heroik merebut bola di kotak enam belas sendiri, lalu beberapa detik kemudian bergentayangan di area penalti lawan, dan terlibat arus operan tim yang berujung ke gol. Daya jelajahnya sangat tinggi, itu kenapa saya menempatkan di sisi kanan luar. Tidak masalah, baterainya tidak akan habis dalam 90 menit.
Andrea Pirlo (2011-2015)
Paul Scholes dan Xavi Hernandez. Hanya dua nama ini yang pantas disandingkan dengan si genius bermuka lesu dan datar sekelas Pirlo. Jelas saja, tiga tim mendapat faedah maksimal dari jerih payahnya meminta bola ke bek lalu mendistribusikannya ke segala lini bak pemimpin orkestra. Ini masalah sudut pandang, namun buat saya Juventus adalah pengambil manfaat terbesar dari bakat Sang Arsitek, dibanding Italia dan AC Milan.
Dalam dua musim yang sendu Juve selalu berakhir di tangga ke tujuh kelasemen Serie-A. Lalu datang Pirlo, setelah kalah bersaing dengan “buruh kasar” bernama Mark van Bommel di Milan, mengisi lini tengah Juventus yang baru mendapat arsitek anyar muka lama, Antonio Conte. Paduan mereka mengangkat La Fidanzata d’Italia dari lembah nista dan kembali ke titel Jawara Italia, plus tak terkalahkan di musim perdana.
Visi bermain menjadi kekuatan utama Pirlo. Ia selalu bisa melihat celah untuk mengumpan, bahkan ketika rekannya belum sadar akan diberi umpan. Koleksi asis sepanjang kariernya mungkin kalah dari Xavi atau Scholes, namun ia punya kekuatan lain: tendangan bebas. Tak perlu banyak dibahas jika Juninho Pernambucano saja sudah melempar sanjungan. Gelandang pengatur ritme jempolan dan eksekutor bola mati berkualitas dalam balutan sikap cuek dan cool. Mau minta apa lagi?
Marco Tardelli (1975-1985)
Bersama Cabrini dan Scirea, Tardelli menasbihkan diri sebagai juara di empat kompetisi bikinan UEFA yakni UEFA Cup, European Cup, European Cup Winner’s Cup, dan European Super Cup. Hanya tiga nama yang punya privilese mencamtumkan itu semua di riwayat hidup mereka. Tiga orang ini sudah pasti sosok spesial yang sanggup bertahan melawan sang waktu dan cukup beruntung aktif saat Juventus sedang jaya-jayanya.
Tambahkan daftar di atas dengan gelar PD, Anda akan menemukan salah satu gelandang bertahan dengan gelar paling komplet (Xabi Alonso dan Sergio Busquets adalah contoh lain). Jangan lupakan selebrasi gol-nya yang ikonik di final Piala Dunia 1982. Ada hasrat membara dan letupan emosi yang begitu murni di balik teriakan dan gelengan kepalanya. Ia sadar bahwa mencetak gol adalah kemewahan buat seorang jangkar. Ia memberi itu di panggung tertinggi.
Beberapa tahun lalu, saat trio MVP masih merajalela, Marchisio kerap disanding-sandingkan dengan Tardelli. Marchisio itu bocah asli Turin, sejak bocah sudah masuk akademi Juventus dan namanya senantiasa harum di kalangan tifosi. Ini untuk menegaskan posisi Tardelli di kawah sejarah Juventus. Karena bermain di satu era, kalau ada Michel Platini, Tardelli harus ada di sisinya untuk memberikan proteksi dan pelayanan bintang lima.
Antonio Cabrini (1976-1989)
Jika Milan punya Paolo Maldini sebagai penguasa sisi kiri, Juve memiliki Antonio Cabrini. Jelas bukan nama yang sepadan untuk menandingi Paolo, tapi untuk pencapaian di tim nasional, Cabrini bisa membusungkan dada. Ia mencapai titik tertinggi dalam karier di Spanyol 1982, menemani Dino Zoff, Scirea dan Gentile sebagai laskar lini pertahanan Zebra Turin penakluk dunia di bawah Enzo Bearzot.
Empat tahun sebelumnya di Argentina, gelar pemain muda terbaik berhasil ia klaim. Lantas, kenapa membahas capaian di timnas? Ya sederhana saja. Pemanggilan (tetap) ke timnas adalah buah dari performa konsisten di klub. Di rentang akhir 1970-an hingga pertengahan 1980-an, Cabrini adalah pilar tak tergantikan di tangan Giovanni Trapattoni, pelatih yang diakui sebagai salah satu yang tersukses di Juventus.
Saya membayangkan tim impian ini ketika ada dalam mode bertahan, akan mengembangkan diri ke 5-3-2. Spesifikasi tentang Cabrini, berdasar hasil selancar saya di dunia maya, menyiratkan kemampuan beliau yang sama kuat, baik ketika harus berjibaku mengawal area lebar lapangan atau kala bermanuver menyisir pinggir area musuh. Selain itu, catatan 33 gol selama 13 musim berbaju Bianconeri, tidak terlalu buruk untuk ukuran bek sayap.
Michel Platini (1982-1987)
Le Roi (The King) tidak perlu diperkenalkan panjang lebar. Tiga puluh enam tahun yang lalu, publik barangkali sibuk meributkan siapa yang lebih hebat antara ia dan Maradona, sama seperti sekarang saat berbicara tentang Cristiano dan Messi. Maradona hampir sendirian membawa Argentina juara di 1986, sementara Platini bisa menorehkan hal serupa dua tahun sebelumnya di kandang sendiri pada gelaran Piala Eropa. Selain Garrincha di Piala Dunia 1962, dua penampilan tersebut adalah performa individual terbaik di sebuah turnamen internasional.
Tandem sehati Platini di Juventus ada dua, Zbigniew Boniek dan Paolo Rossi. Lalu jangan lupakan para pilar Italia di Piala Dunia 1982 yang tiga orang di antaranya ada di daftar ini. Bersama-sama, mereka mengantar Juve ke trofi Piala Eropa pertama, menyudahi perlawanan jagoan kelas berat saat itu, Liverpool-nya Kenny Dalglish. Namun sayang, tragedi Heysel mengurangi kemegahan momen langka itu.
Seorang gelandang serang elegan dengan fisik biasa namun visi supranatural, Platini punya insting mencetak gol yang banyak dimimpikan mayoritas penyerang di Eropa. Belum lagi sihir tendangan bebasnya, saya yakin Del Piero rela berjam-jam belajar dari video kompilasi free-kick Sang Raja. Tanpa ragu lagi saya katakan dialah pemain terbesar dan paling berbakat yang pernah berbaju hitam-putih ala Juve.
Alessandro Del Piero (1993-2012)
Sosok ini, saking melekatnya dengan merek Juventus, akan mampu membuat bulu roma Juventini bergidik hanya dengan juluran lidah. Segala yang ia lakukan di lapangan terasa begitu halus dan mulus. Ale bahkan terlihat elegan saat sedang simulasi menyelam (baca: diving). Sebelum dibekap cedera parah tahun 1998, ia bersama Francesco Totti adalah nama terdepan di kolong Italia yang dinominasikan sebagai pemangku singgasana milik Roberto Baggio.
Del Piero pernah merasakan ketatnya bersaing dengan Ronaldo Luiz, Gabriel Batistuta, Andriy Shevchenko, dan Zlatan. Ia menjamin Italia tak kekurangan stok attacante berbakat walau serbuan legiun asing selalu meramaikan kontestasi. Pernah menjadi pencetak gol terbanyak di Serie-B dan Serie-A secara beruntun, lalu tetap setia mengomandoi skuat Juventus rasa KW Thailand, hingga akhirnya Conte berlabuh dan......... menyingkirkannya.
Oke, itu bukan salah Conte semata, sih. Lupakan. Saat ia berjalan mengelilingi J-Stadium di laga terakhir musim 2011/2012, orang-orang sudah tidak peduli dengan partai di depan muka. Air mata tumpah, hati patah, perasaan remuk-redam, dan sumpah serapah ke manajemen Juve sempat ramai lalu-lalang. Apapun itu, ADP akan selalu menjadi bendera Bianconeri, ke manapun ia melamar pekerjaan di masa depan.
John Charles (1957-1962)
Generasi modern memuja Phillip Lahm dan Javier Zanetti sebagai ikon pemain bersih, rapi (tampilan dan permainan), sopan, rendah hati dan jarang mengasari lawan. Mereka memang melawan kebiasaan, paradoks dalam arti positif. Namun, John Charles, legenda Leeds United dan Juventus, membawa makna gentle ke level yang tak pernah diulang dan itu ia lakukan sekitar empat hingga lima dekade yang lampau.
Charles tak pernah sekalipun diberi hadiah kartu sepanjang kariernya. Jika ini tidak cukup membuat Anda menaruh respek, coba telaah histori berikut: ia bisa bermain sebagai bek tengah dengan sama bagusnya seperti ia menjadi penyerang. Di Leeds ia main di depan hidung kiper sebelum dijajal sebagai penyerang. Lalu, lima musim di Juventus, 108 gol ia lesakkan hanya dalam 155 laga. Tidak jauh dari rasio satu gol per laga, bro.
Bersama Scirea, Charles akan menjamin jiwa sportivitas masih menyala di Juventus. Saya harus mengatakan ini, maklum, karena Calciopoli menempatkan Juve pada posisi sulit dan selalu salah di matamu (non-Juventini yang kritis ^_^) saban bertanding tiap pekan, lalu bibir wasit bekerja meniup peluit selepas sebuah insiden. Dari perspektif ini, keberadaan Charles di skuat impian saya adalah wajib hukumnya.