Cerita

Sepak Bola yang Merekahkan Senyum Palestina

Setiap kali menyaksikan berita di televisi atau membacanya via surat kabar maupun media daring perihal Palestina, rasa pilu jadi suatu keniscayaan yang seketika menyodok relung hati terdalam.

Selama berpuluh-puluh tahun, negara yang terletak di kawasan Timur Tengah ini lekat dengan konflik dengan sang tetangga, Israel. Bau anyir darah dari nyawa-nyawa yang melayang akibat dentuman peluru, pekik tangis keluarga akibat kehilangan orang terkasih, dan gedung-gedung yang hancur lebur menjadi cerita yang senantiasa berulang.

Perang memang masih berkecamuk dan tak ada yang tahu pasti kapan akan selesai. Namun setidaknya, ada rekahan senyum yang mulai mengepak dari Palestina dan hal itu berasal dari sepak bola.

Layaknya negara-negara di Benua Asia lainnya, masyarakat Palestina juga sangat menggemari sepak bola. Nahasnya, situasi kurang kondusif di negara mereka membuat perkembangan sepak bola berlangsung sulit.

Walau federasi sepak bola Palestina (PFA) sudah didirikan sejak tahun 1928, mereka baru resmi tergabung sebagai anggota organisasi sepak bola dunia (FIFA) per tahun 1998.

Semenjak momen itu pula, Palestina mulai aktif berkiprah di ajang internasional dengan rutin mengikuti babak kualifikasi Piala Asia dan Piala Dunia serta turun di Kejuaraan Sepak Bola Asia Barat. Sebelum itu, Palestina hanya beraksi di beberapa kompetisi regional saja macam Arab Nations Cup ataupun Pan Arab Games.

Dengan kondisi seadanya, Palestina memang kerepotan untuk membangun sebuah tim yang kompetitif. Keterbatasan sumber daya pemain merupakan salah satu penyebabnya. Selain itu, mereka juga tak bisa menyelenggarakan sebuah laga internasional di wilayahnya sendiri akibat ketiadaan stadion representatif plus situasi yang tidak aman.

Walau demikian, asa untuk membangun sekaligus mengembangkan Palestina sebagai tim yang lebih baik, terus diupayakan. Kurangnya sumber daya pemain dari negeri sendiri ‘diakali’ dengan merekrut pemain dari Amerika Latin (khususnya Cile) sebab di sana ada cukup banyak komunitas Palestina.

Jangan kaget bila skuat Palestina pada awal 2000-an banyak diisi nama-nama khas Latin seperti Edgardo Abdala, Pablo Abdala, Francisco Atura, Roberto Bishara, Hernan Madrid, sampai Alejandro Naif.

Keadaan serupa bahkan masih berlanjut sampai sekarang dengan adanya nama-nama semisal Jonathan Cantillana, Matias Jadue, Yashir Pinto, dan Pablo Tamburrini.

Sementara untuk stadion representatif guna menghelat partai kandang, Palestina akhirnya memiliki itu setelah dibantu FIFA lewat program FIFA’s Goal. Kandang yang dibangun, diberi nama Stadion Internasional Faisal Al-Husseini dan mulai dipergunakan di tahun 2008 itu punya kapasitas 12.500 tempat duduk itu berlokasi di Al-Ram, Tepi Barat.

Alon-alon asal kelakon adalah sebuah pepatah Jawa, tapi rasa-rasanya tepat bila disematkan kepada Palestina. Di tengah keterbatasan dan kesulitan yang ada, mereka tetap serius menggarap sepak bolanya guna menjadi lebih baik. Alhasil, catatan-catatan manis pun mulai bisa diukir kendati diperoleh sedikit demi sedikit.

Pada tahun 2014 silam, Palestina sukses merengkuh status kampiun di ajang AFC Challenge Cup. Kejuaraan ini sendiri dibentuk oleh federasi sepak bola Asia (AFC) untuk negara-negara yang sedang getol mengembangkan sepak bolanya seperti Afganistan, Bhutan, Mongolia, Nepal, Palestina, sampai Timor Leste. Walau sekarang AFC Challenge Cup sudah tidak diselenggarakan lagi, tapi AFC menghadirkan AFC Solidarity Cup sebagai penggantinya.

Usai memenangi AFC Challenge Cup empat tahun silam, Palestina melanjutkan tren apiknya dengan lolos ke Piala Asia 2015 di Australia. Momen tersebut adalah debut mereka pada turnamen sepak bola antarnegara paling akbar di Benua Kuning. Meskipun rontok langsung di fase penyisihan grup, Palestina tetap gembira dengan pencapaian tersebut.

Terbaru, Palestina yang kini ditukangi oleh bekas penggawa tim nasional Bolivia era 1990-an, Julio Cesar Baldivieso, sukses mencuri satu tempat di Piala Asia 2019. Pada babak kualifikasi yang lalu, mereka berhasil finis di peringkat dua Grup D alias mengekori Oman yang jadi kampiun grup.

Bagi negeri yang porak-poranda akibat perang, capaian-capaian positif di atas tentu sangat berarti. Setidaknya, Palestina bisa membuktikan kapasitasnya secara paripurna.

Segala kesulitan yang ada, dihadapi mereka dengan cara yang brilian. Keseriusan ditingkatkan seiring waktu, kontinuitas menjadi hal wajib dan profesionalitas dijunjung tinggi. Sangat pantas bila Palestina mendapatkan apa yang selama ini mereka perjuangkan dengan gigih.

Berdasarkan peringkat dunia FIFA per Maret 2018, Palestina pun bertengger di posisi 73 dunia. Namun bila dikerucutkan pada negara-negara di zona Asia saja, Palestina ada di posisi 8 atau di atas Uni Emirat Arab, Qatar dan juara Piala Asia 2007, Irak. Fantastis, bukan?

Jangan terkejut pula andai dalam beberapa waktu ke depan, Palestina bisa segera menyusul tim-tim raksasa Asia macam Arab Saudi, Iran, Jepang, dan Korea Selatan untuk menjadi negara kesekian dari Benua Kuning yang berpartisipasi di ajang sekelas Piala Dunia.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional